Ketahanan pangan lokal yang berkelanjutan merupakan topik yang semakin mendesak dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan pertumbuhan populasi. Namun menurut saya, membangun ketahanan pangan bukan sekadar tentang budi daya bibit unggul, tata ruang, dan inovasi teknologi. Lebih dari itu, keberhasilan dalam mencapai ketahanan pangan yang sesungguhnya terletak pada kesungguhan sekelompok masyarakat untuk mengupayakan pendidikan yang baik bagi generasi penerusnya.
Anda perlu mendengar tentang satu desa bernama Desa Purbatua. Desa kecil berpagar Bukit Barisan di sudut Sumatera Utara, tempat saya dilahirkan. Di Desa Purbatua, masyarakat desa memiliki tradisi pertanian yang kaya ragamnya juga kaya dalam caranya.Â
Sebelum mengenal Padi, Gadong atau Suhat adalah makanan utama bagi mereka. Terdapat dua jenis gadong yang mereka tanam di kebun dan pekarangan, yaitu Gadong Hau/Atirha yang kita kenal sebagai Singkong dan Gadong Julur/Gadong Incir atau yang kita kenal sebagai Ubi Rambat. Selain itu mereka juga memenuhi kolam mereka dengan tanaman Talas atau yang disebut sebagai Suhat. yang menjadi sumber karbohidrat dan kalori yang penting untuk mereka konsumsi.Â
Gadong Hau, Gadong Incir, dan Suhat menjadi umbi-umbian yang memiliki peranan vital sebagai cadangan pangan ketika hasil padi dan jagung tidak mencukupi di musim-musim tertentu.Â
Pangan sederhana ini mungkin menempati urutan belakang dari daftar pangan lokal yang dikenal oleh generasi muda kita. Terutama di tengah gempuran jajanan ala Korea, Jepang, India dan Eropa. Namun tidak demikian bagi masyarakat Desa Purbatua.Â
Kecintaan terhadap pangan lokal ini menjadikan mereka sangat arif dalam mengatur dan mengolah berbagai ragam jenis tanaman lain secara mendalam dan genuine. Meskipun Eme (Padi) mendapat tempat istimewa sebagai tanaman utama, sehingga ia menempati lumbung rumah setiap keluarga, namun di sampingnya ada jenis umbi-umbian yang mendapat tempat tersendiri bagi para-para/bubungan setiap rumah di desa tersebut.
Hampir di seluruh kepulauan Indonesia, tanaman Padi dianggap sebagai tanaman mulia, terkhusus bagi masyarakat batak, Eme/Padi bahkan dianggap tondi atau perwujudan dari roh manusia. Maka tahapan upacara dalam menanam Padi akan diawali dengan Marsungkun, yaitu musyawarah untuk menentukan bibit, menentukan waktu pengolahan tanah, dan hari baik untuk bercocok tanam, kemudian diikuti dengan Mangengge Boni atau merendam bibit, dan akhirnya Manabur Boni atau menaburkan benih di persemaian.Â
Pemaparan tersebut saya sertakan untuk mendapatkan gambaran bahwa cara menghasilkan pangan bukan sekadar gerak ekonomi bagi masyarakat di sana namun ada doa dan harapan yang besar di dalam setiap aktivitas pertanian. Posisi Padi bagi masyarakat Desa Purbatua, adalah ujung tombak pendidikan. Padi yang dikumpulkan di dalam lumbung, kelak akan dikeluarkan, dijemur dan dijual untuk membiayai perkuliahan anak-anak mereka di kota.
Namun sebelumnya mari kita lihat, bagaimana kondisi masyarakat Desa Purbatua. Masyarakat di Desa Purbatua bukan komunitas tani yang kaya. Seperti kebanyakan desa lainnya, Desa Purbatua selama berpuluh tahun lamanya masih sering menghadapi tantangan ekonomi yang serius. Kemiskinan merupakan masalah yang kompleks, dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti keterbatasan akses terhadap sumber daya, infrastruktur yang minim, dan kurangnya peluang kerja.Â
Banyak keluarga bergantung pada pertanian tradisional dengan hasil yang tidak selalu mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Meski mereka menghasilkan padi berkualitas, namun mereka kerap mengkonsumsi umbi-umbian dan sayuran buah dari kebun untuk sumber energi mereka sehari-hari. Meski harus berbagi hasil bumi, Padi untuk sekolah, umbi-umbian untuk dimakan sehari-hari, hebatnya, masyarakat Desa Purbatua memiliki cita-cita besar untuk memberikan pendidikan tinggi kepada anak-anak mereka.Â