Mohon tunggu...
Endang Setiyaningsih
Endang Setiyaningsih Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Saya seorang pendidik dan seorang ibu yang sangat suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Maafkan Aku, Ibu...

2 Agustus 2012   04:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:19 1699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku gadis belia. Usiaku baru 16 tahun. Tapi cerita hidupku yang akan aku ceritakan ini, mungkin akan membuat anda tercengang. Aku sudah menikah. Anda pasti terkejut? Gadis seusiaku seharusnya masih suka bersenang-senang bersama teman-teman sekolah. Ah.. aku ceritakan ini supaya kamu tidak mengalami kesalahan yang pernah aku lakukan. Aku ingin berbagi kisah hidupku karena aku tak mau kawan kawan sebayaku melakukan perbuatan tolol seperti yang pernah aku lakukan.

Semua berawal sebuah HP yang diberikan oleh orangtuaku kepadaku. Aku keranjingan mengirim SMS. Aku senang sekali pada telpon telpon salah sambung yang sering berlanjut menjadi pertemanan dalam SMS. Aku main SMS dimanapun aku berada. Di rumah, di Sekolah, di kelas ketika guru sedang mengajar, di angkot ketika pulang pergi sekolah, dimana saja. Prestasi belajarku menurun. Padahal sebelumnya aku selalu berada di posisi sepuluh besar di kelas. Aku mulai berteman dengan teman teman gaul yang sering mengajakku untuk mencoba coba sesuatu yang baru, seperti merokok, minum minuman beralkohol bahkan merokok ganja. Semua itu kulakukan karena ingin coba –coba dan mengikuti teman temanku.

Reputasiku di sekolah sudah mulai buram. Kelas satu yang penuh nilai bagus, aku tinggalkan dalam kenangan. Happy yang manis dan pinter sudah berubah dengan Happy yang sering dipanggil guru BK. Tertangkap sedang merokok di belakang kelas, sedang jajan di jam pelajaran, Bolos dan sebagainya. Aku melakukan semuanya begitu saja. Aku senang bergaul seperti itu. Aku mencari sesuatu yang selama ini belum pernah aku rasakan. Sesuatu yang baru selalu menarik perhatianku. Termasuk cowok. Ya, aku pun mulai mengenal istilah pacaran.

Pacar pertamaku adalah teman sekolahku, namanya Saddy. Dia sudah berusia 3 tahun di atasku. Mungkin dulu dia sempat tidak naik kelas. Saddy memperkenalkan aku pada dunia baru lebih indah lagi di masa remajaku. Cinta. Ya, cinta itu ternyata indah dan nikmat rasanya. Pokoknya berjuta rasanya. Hal ini juga yang membuatku dipanggil guru BK untuk yang kesekian kalinya. Aku ketahuan berciuman di belakang kelas. Jadi pemanggilan demi pemanggilan, nasihat demi nasihat hanya berlau bersama angin. Terbang bersama debu jalanan yang menyesakkan dada. Apalagi guru yang memanggilku itu hanya mengerutu dan mengomel saja atas tingkah burukku. Bukan itu yang aku butuhkan.  Apapun yang kau katakan selama kau menganggapku siswa penuh masalah yang hanya memenuhi buku kasus saja, maka selama itu pula aku tak akan mendengar nasehatmu. Aku juga manusia Pak, Aku berpikir, aku butuh dihargai. Aku bukan sampah yang kau ancam ancam akan kau keluarkan dari sekolah jika aku tak segera memperbaiki kelakuanku.

Kelas dua berlalu dalam diam, aku naik kelas dengan nilai pas-pasan. Bukannya insyaf, tapi aku malah semakin banyak ulah. Aku berteman dengan biangmya keributan di sekolah. Dari dia juga aku mendapatkan lintingan ganja. Sampailah pada puncak permasalahan. Aku hampir di depak dari sekolah tiga bulan menjelang Ujian. Tapi Tuhan masih memanjakanku dengan berbagai kenikmatan. Aku berhasil bertahan, sekolah memberi kebijakan dan memberikan aku kesempatan kedua.

Aku sama sekali tak konsen belajar. Aku semakin sering main ke tampat pacarku yang ketiga. Aku sebetulnya menyadari bahwa aku segera akan menghadapi Ujian Nasional, tetapi aku tak ambil pusing. Aku sering diajak main ke rumah cowokku. Keadaan di rumhnya selalu sepi sehingga kami leluasa untuk bermesraan. Sampai pada suatu ketika aku lepas kontrol. Aku kehilangan keperawananku di sebuah siang hari yang sepi. Aku tak menyadari kenapa semua bisa terjadi. Aku terpukul. Aku masih punya masa depan yang panjang. Tapi.... kenapa aku bisa dengan tololnya menyerahkan kehormatanku untuk orang yang bukan suamiku.

Aku goyah. Aku merasa tak berharga lagi. Dunia yang sebelumnya buram dalam pandanganku semakin tampak kelabu di mataku. Dunia seolah berhenti berputar, dan aku termangu dalam tubuh dan jiwa yang kotor. Aku adalah gadis ternoda yang tak punya masa depan lagi, sehingga satu satunya yang harus aku lakukan adalah menjaga hubunganku dengan pacarku supaya dia tidak meninggalkan aku karena aku telah diperawaninya. Aku harus minta tanggungjawabnya. Aku terus terganggu dengan kesalahan yang sudah aku lakukan. Hanya dia yang mau denganku. Hanya dia. Laki laki lain akan memandangku hina. Hidupku sudah berhenti semenjak itu. Tak ada lagi bayangan seragam abu-abu berkelebat di benakku. Aku mau menikah saja. Itu jalan terbaik.

Aku semakin malas belajar sementara ujian di depan mata. Aku masih tak berhenti merutuk pada diri sendiri kenapa aku bisa melakukannya perbuatan terkutuk itu. Bagaimana seandainya pacarku itu tak mau bertanggungjawab atas perbuatannya. Bagaimana aku menghadapi kehidupan ini. Sedangkan aku sudah kotor, dan tak suci lagi.

Pada suatu hari, karena semakin kalut dengan pikiran yang ada di kepalaku. Aku tak mau pulang dari rumah pacarku. Selama tiga hari aku menginap di rumah pacarku. Aku tahu ibuku datang ke rumah pacarku untuk mencariku, tetapi pacarku dan aku berkeras untuk tak memberitahukan kepadanya. Akhirnya apa yang aku harapkan terjadi. Keluarga pacarku akan menikahkan kami berdua. Aku tak bahagia mendengarnya. Aku cuma senang saja. Setidaknya aku merasa aman dengan ketidakperawananku yang setengah mati aku sesali.

Sudah seperti dugaanku. Orangtuaku tidak menerima lamaran keluarga suamiku. Kata mereka ibuku marah sekali. Hatiku seperti teriris ketika melihat amanat ibuku. Aku bisa merasakan sakit hatinya. Aku anak gadis pertamanya, meninggalkan rumah dalam keadaan seperti ini, maka wajar bila ibuku memberi amanat Tante Miranda, wakil dari ibuku yang menghadiri pernikahanku. Tante Miranda menampar wajah suamiku di depan semua tamu. Aku tidak sakit hati. Aku hanya menitikkan airmata mata, mendengar bahwa tamparan itu adalah amanat dari ibuku. Duh Ibu, Happy terima semua ini. Happy memang tak pantas hidup bersama Ibu lagi. Happy kotor, maka biarkan Happy menebus semua kesalahan Happy bersama suami Happy.

Pernikahan itu ternyata bukan solusi. Aku tinggal bersama keluarga suami. Aku tidak mendapat tempat juga di hati mereka. Aku diperlakukan tak ubahnya seperti pembantu rumah tangga. Aku mengerjakan seluruh pekerjaan rumah, dari mencuci, masak, bersih-bersih sampai menggosok. Pada awalnya aku bertahan, tetapi lama lama aku tak kuasa menahan beban. Tubuhku semakin kurus karena kurang makan. Keluarga suamiku bukan keluarga yang kecukupan, semua makanan yang aku masak seringkali habis sebelum aku sempat menikmatinya. Badanku semakin lemah. Tetapi tak satupun yang bisa aku lakukan.

Mengapa seluruh hidupku menjadi begini nista. Ibu, aku rindu, Ayah aku rindu padamu. Setiap kali mengingat mereka, hanya airmata yang menetes di pipi. Aku didera perasaan bersalah yang amat sangat. Aku seringkali menatap keluargaku dari ujung jalan. Aku melihat mereka sehat saja sudah cukup membuatku nyaman. Aku ingin sekali memeluk mereka. Tapi aku tak bisa. Aku ingin pulang Ibu... Tapi aku takut kalian tak menerimaku. Puteri kalian yang telah mempermalukan kalian begitu rupa.

Hari berganti, minggu berjalan dan bulan pun berlari. Aku semakin tertekan dengan semua keadaan. Aku semakin lemah. Aku tahu aku sakit, tetapi waktu aku minta suamiku untuk mengantarku pergi berobat, suamiku hanya mengantarku ke bidan. Tak ada pengecekan ini dan itu yang biasa dilakukan di kedokteran. Aku tahun aku sakit, tapi aku tak berdaya. Hingga suatu saat suamiku mengajakku untuk menjalankan kewajiban aku tak sanggup, bukan kasihan yang kudapatkan tapi tamparan dan makian. Ya Tuhan... apakah ini cobaan, apakah ini ganjaran atas zina yang telah aku lakukan?. Aku sudah tak bisa melihat harapan, bahkan aku sudah kehilangan orientasi. Bahkan sudah tak sanggup merasakan sakit hati ketika suamiku menyuruh aku pergi. Dia bilang sudah menceraikan aku. Aku sudah tak sanggup menangis. Bahkan aku tertawa melihat nasib dan hidup mempermainkan si pendosa ini. Sampai pada suatu hari suamiku mengatakan akan mengantarkan aku pulang. Mungkin dia tak mau mengurusku dan hanya menganggap aku menjadi beban.

Aku melangkah pelan di halaman depan rumahku. Aku kembali padamu Ibu, Bapak....Seaat aku tak sanggup berkata-kata dadaku sesak karena airmata dan pelukan. Teriakan ibuku melihat keadaanku membuatku semakin pucat dan kehilangan kesadaran..Maafkan Happy Bu, Maafkan Happy, kataku lemah. Aku tak sanggup melihat ekspresi wajahmu Ibu. Aku berdosa  Bapak.. Aku tak pantas untuk berada di antara kalian...

Bapak dan Ibuku menerimaku. Bahkan mereka menyayangiku luar biasa. Mereka menciumku, memelukku,  mereka memberiku makanan yang selama ini kurang aku terima dengan layak. Aku dibawa ke dokter, tetapi setelah obat habispun kondisiku tak mengalami perubahan. Aku merasakan kasih sayang Bapak Ibuku sungguh luar biasa. Aku sungguh tak menyangka mereka akan menerimaku kembali menjadi anak mereka. Aku sudah terlalu banyak membuat dosa. Dalam hati aku berjanji, kalau memang diberi kesempatan aku akan membuat mereka selalu tersenyum. Tak pernah bermuram karena tingkah yang aku lakukan. Mereka bilang, mereka akan menyekolahkan aku lagi. Aku merasa berada di dunia lagi. Karena kemarin.. aku merasa sudah mati. Aku merasa punya masa depan lagi.

Ibu,... engkau sungguh wanita yang benar-benar berhati mulia. Kau maafkan aku yang telah begitu banyak membuat malu dirimu. Dalam kelemahanku, ada senyumku bahagia. Pelukan dan belaian Bapakku membuat nafasku menjadi sedikit lebih nyaman dari sebelumnya. Setidaknya aku bisa merasakan kasih mereka dalam sakitku. Wajah marah mereka ketika aku berlaku menjadi puteri durhaka, masih kuingat dengan sangat jelas. Wajah yang mencerminkan sakit hati yang tiada tara itu sekarang tak ada lagi. Mereka mencintaiku. Masih mencintaiku. Aku mulai melihat cahaya. Indah.

Beberapa hari aku bersama mereka, keaadaanku semakin lemah. Tapi aku merasa aku seolah sudah sembuh. Aku ceria, aku akan sekolah lagi. Aku... tersenyum aku membayangkan keindahan yang kurasakan apabila aku sembuh nanti.......Aku merasa melayang karena bahagia, tubuhku ringan...Sampai akhirnya aku terbangun dari lelapku. Tetapi aku tak tahu dimana keberadaanku. Semuanya berwarna putih, bersih... Aku melihat Bapak dan ibuku sedang berada di samping tempat tidurku, menatapku dengan senyuman yang dipaksakan. Ternyata aku sedang berada di Rumah Sakit.

Aku menatap mereka tanpa bisa bicara. Aku membuka mulutku untuk menyapa ,mereka tapi kelu. Aku mau minta maaf Bapak, Ibu, aku belum sempat mengucapkannya.

Aku mencoba bicara, Ya Tuhaan. Aku tak sanggup lagi memgeluarkan kata kata. Kenapa mulutku kelu dan sulit untuk kugerakkan. Aku belum sempat mengucapkan permohonan maafku pada orangtuaku. Aku mencoba sekuat tenaga untuk menggerakkan bibirku tetapi seluruh usahaku sia-sia. Akhirnya aku hanya bisa meneteskan airmata. Airmata itu mengalir dari ujung kedua mataku. Kulihat orangtuaku terkejut melihatku menangis tanpa suara. Untuk pertama kali aku melihat, Bapak dan ibuku beruurai airmata juga, mulut mereka bergerak gerak, tapi aku tak sanggup mendengar apa yang mereka ucapkan. Mereka mengenggam tanganku, aku terus menitikkan airmata. Ibu membawa tanganku ke dadanya, mencium telapak tanganku. Dalam uraian airmatanya dia mengukir sebuah senyum, Oh ibu... mungkin ibu berusaha menyampaikan bahwa dia menyayangiku. Dia berusaha tersenyum dalam sedihnya, mungkin itu tanda bahwa dia memaafkanku. Setidaknya itu yang bisa aku terjemahkan. Aku sudah tak bisa mendengar, aku sudah tak bisa berkata kata, tetapi mataku masih bisa menatap kabur terhalang airmataku yang terus jatuh tanda penyesalanku. Maafkan aku ibu...

Aku tak bisa bergerak lagi. Aku tuli. Aku buta. Tapi aku melihat mereka. Semua menangis. Mengelilingi aku. Ibuku menjerit jerit. Happy, Ibu memaafkanmu Nak... Ibu memaafkanmu. Semakin Ibuku meratap memanggil manggil namaku. Aku diam. Aku beku. Aku mendengar suara suara dzikir dan Surat Yaasin di baca di sekitarku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun