Hari pertama kita melalui dengan senyum. Bahagia menyeruak tak tentu rimba. Ada kegelisahan, tapi hanya sedikit. Dia malu-malu bersembunyi diantara punggungmu. Ada juga secarik kegelisahan yang kusimpan rapi dalam saku celanaku. Aku tak mau menghiraukannya. Bahagia yang membuncah mampu menyimpan rapat gelisah ternyata. Kemudian putaran hari berjalan dengan pasti. Bahagia yang kita rasakan pun timbul tenggelam. Sekali waktu dia merajai hari. Meski tak jarang dia menghilang dan baru datang usai kita memanggilnya begitu keras. Seharusnya kita mulai sadar, saat bahagia tak lagi mudah diundang, seharusnya kita mulai belajar untuk melepaskannya. Tapi ternyata kita bukan orang yang pandai belajar. 365 hari kemudian datang. Aku rasa saat itu kita memaksakan kebahagiaan. Tak peduli yang terjadi di belakang, hari itu kita harus bahagia. Kamu mengorbankan satu hari kerja. Aku mengorbankan setengah harinya. Ingatanku masih segar, bagaimana hari itu sejak pagi aku gelisah. Mencari laci kreativitas dari dasar jiwa terdalam. Entah dia hilang atau memang tak kutemukan sejak awal. Usai menyelesaikan tanggung jawab yang cuma secuil, aku menggunting, merangkai dan menyatukan. Sebuah potongan kenangan, harapan juga asa. Semua kukemas dengan apa adanya. Kukayuh sepeda, menuju sebuah toko foto copy. Menjilid rangkaian buku orange sederhana. Mengapa orange? Karena warna itu sarat dengan semangat. Sarat dengan keceriaan. Meski tak jarang manipulatif. Kenanganku mulai buram. Kabur. Tak ada lagi yang aku ingat tentang peristiwa 365 hari silam. Aku justru lebih fasih mengingat 365 hari yang pertama. Hari ini, 365 hari berikutnya. Setelah momen buku orange. Apa yang terjadi? Kita menjalani legenda pribadi masing-masing. Tidak di satu jalan, bersisian mungkin. Sesekali aku masih mengenang. Awalnya mengenang dengan sakit. Namun kini sudah tidak sakit lagi. Jika ditanya, bagaimana rasanya? Aku tidak tahu, apa nama rasa yang saat ini bersemayam. Datar. Aku bisa tersenyum mengingat potongan-potongan kenangan tentang kita, tapi sakitnya sudah tidak terasa. Hm..mungkin aku telah berhasil membayar dengan lunas, hutang bahagia bersamamu dengan kesedihan selama lebih kurang sembilan bulan ini. Pemujaanku padamu, kucukupkan sampai di sini. Tidak ada lagi mimpi buruk. Tidak ada lagi caci maki. Juga tidak ada lagi harapan. Semua lunas tak bersisa. Jika nanti, sengaja atau tidak kita bertatap muka. Aku akan menawarkan persahabatan yang hangat. Lenganku terbuka. Menawarkan pelukan hangat. Tenang saja, jangan khawatir. Pelukan ini sama dengan yang kuberikan pada teman-temanku tercinta. Teman-teman yang membantuku tegar berdiri usai kau mematahkan kakiku. Tidak ada sedikitpun dendam. Aku menyayangimu, hanya karena aku mengenalmu, tidak lebih. foto indah di bawah aku ambil di sini blog aku ada di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H