Sedang tidak memiliki pretense apa-apa. Tanpa sengaja mengingatmu saat menyaksikan tayangan di you tube. Keyword yang saya masukkan adalah Utada Hikaru First Love. Teringat perkataan teman tentang kedalaman makna yang tersirat dalam tiap bait lagunya. Sejujurnya, saya tidak tahu menahu mengenai gambaran video klip-nya.
Setelah memilih, ternyata yang saya pilih adalah kompilasi adegan dari serial korea Princess Hour dengan latar suara ya lagu First Love milik si Utada Hikaru itu.
Mungkin sangat match dengan suasana hati yang sendu. Kompilasi scene di film itu begitu indah. Sekedar catatan, saya bukanlah orang yang bisa dikategorikan sebagai penggemar serial korea, namun untuk Princess Hour, saya memiliki catatan tersendiri. Entah mengapa, saya suka sekali dengan jalan cerita yang dimiliki. Konflik yang ada begitu dinamis dan menggugah rasa ingin tahu. Tsaah..
Alhasil, serial ini menjadi satu-satunya hingga saat ini menjadi tayangan yang saya tonton hingga akhir episodenya.
Selama ini, setiap ada serial baru yang tayang (biasanya di Indosiar) saya ikut-ikutan heboh kena demam koreanisme. Namun euphoria ini biasanya tidak bertahan lama. Sampai di pertengahan kisah rasa penasaran sudah tidak terpatik dengan kencang.
Kembali ke awal, jadi dalam tayangan itu ada scene dimana si putra mahkota, Sin, memakaikan sepatu Chekiong yang terlepas. Deg.
Entahlah, adegan sederhana itu mematik kembali ingatan saya pada batu (silahkan senyum-senyum jika kamu membaca ini). Entah batu mengingat dengan baik atau tidak, namun dulu dia beberapa kali melakukan adegan serupa. Yup, memakaikan sepatu di kaki saya. Bukan sepatu balerina yang manis tentu saja, karena sepatu model itu tentu saya tidak memilikinya.
Saat kami akan pergi bersama, dia akan memakaikan sepatu converse merah motif batik di kaki saya. Mungkin sekilas seperti adegan menye-menye gombal cap kadal. Toh, saya tetap perempuan yang senang dikadali, ha..ha..ha..(tertawa miris)
Pernah juga satu kali, sandal yang saya kenakan putus, dan kami harus mencari sandal jepit. Beberapa warung disambangi, sampai di warung kelima baru menemukan sandal jepit dengan warna dan ukuran yang pas. Si batu tanpa sungkan mengganti sandal saya yang putus dengan sandal jepit baru itu. Setiap adegan penggantian sandal itu disaksikan oleh ibu-ibu penjaga warung. Saya sampai risih sendiri melihatnya.
Memori yang saya pikir tidak akan terlalu membekas dan lupa begitu saja ternyata masih bersemanyam dengan nyaman di lipatan ingatan ini. Sial.
Bukannya saya menyesali kisah yang terjalin lalu kandas ini. Bagaimanapun saya mensyukuri. Seperti yang dikatakan seorang teman, yang mengaku senang kisah saya berakhir. Dasar.
Pasti ada pembelajaran yang bisa saya petik. Setidaknya saya pernah merasa bahagia menjalaninya.
Adios. Hanya kata itu yang bisa saya sematkan di pintu keluar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H