Crazy rich! Istilah ini kembali ramai dibicarakan di media. Salah dua dari sekian banyak crazy rich Indonesia yang saat ini begitu terkenal adalah Doni Salmanan dan Indra Kenz. Nama mereka wira-wiri di media dengan berbagai ceritanya. Cerita terakhir adalah keduanya terkena kasus sebagai pelaku penipuan berkedok investasi.
Penipuan berkedok investasi seperti cerita seri yang tidak pernah kehabisan episode. Satu kasus tenggelam, entah selesai atau tidak, kasus baru timbul. Berbagai investasi bodong tersebut memiliki kesamaan yaitu menawarkan return atau keuntungan yang tinggi.
Tidak bisa disangkal lagi, banyak orang ingin menjadi kaya. Banyak cara pun dapat dilakukan. Kita pasti pernah membaca cerita, bagaimana pengusaha merintis usaha dari nol dengan susah payah.
Perjuangan mereka butuh puluhan bahkan belasan tahun, dan baru membawa mereka pada sebutan orang kaya. Ada pula orang yang tidak perlu seperti itu, karena lahir dari keluarga atau orang tua kaya.
Berbeda lagi jika kita beruntung mendapat lotere, mungkin itulah waktu kita mendadak kaya. Namun tidak sedikit orang ingin menjadi kaya selain dari lotere yang tidak pasti, salah satunya dengan menerima tawaran menggiurkan dari investasi (yang ternyata adalah bodong).
Lalu bagaimana supaya kita tidak menjadi korban investasi bodong? Selain kita perlu melengkapi diri dengan literasi keuangan yang memadai, paling tidak ada 3 hal minimal yang perlu ditelaah dengan logika sederhana sebelum menerima sebuah tawaran investasi.
1. Keamanan
Peranan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) dalam pengawasan investasi bodong ini sangat krusial. Sebagian besar penawaran investasi ilegal bukan oleh Lembaga Jasa Keuangan yang terdaftar dan diawasi oleh OJK (Sumber: ojk.go.id).
Jika aspek legalitasnya tidak dalam pengawasan OJK, kita perlu bertanya pada diri kita sendiri, siapa yang akan menjamin keamanan dana investasi kita pada produk tersebut?
2. Kewajaran
Jika sebuah produk investasi menjanjikan keuntungan tetap misalnya 10% per bulan, artinya 120% dalam setahun. Dalam banyak kasus yang saya baca bahkan ada yang mencapai sekitar 30% per bulan. Wow! Jika keuntungan saja sedemikian besar, tidak terbayangkan besarnya omset usahanya.
Padahal omzet ini masih harus dikurangi beban operasional. Laba usaha di perusahaan pun ada yang dibagi kepada investor, namun ada bagian laba yang ditahan untuk operasional.
Selain itu, kita perlu lihat juga operasional perusahaan. Usaha sebesar apa yang mampu menghasilkan laba dan omzet sebesar itu. Kita dapat membandingkannya dengan perusahaan-perusahaan besar yang ada. Setelah itu kembali kita dapat menanyakan, apakah keuntungan 10% per bulan masuk akal?
3. Waktu
Pengembalian investasi yang relatif sangat cepat merupakan hal yang patut diwaspadai. Sebuah usaha umumnya dibangun tidak serta merta menjadi besar dalam hitungan hari atau bulan.
Dalam banyak kisah sukses para pengusaha, rata-rata mereka baru menikmati keuntungan di tahun kedua atau bahkan setelahnya. Pada awal usaha, mereka pasti berharap laba.
Namun jika merugi, mereka berharap tidak banyak, bahkan mencapai impas adalah hal baik. Sehingga jika ada tawaran investasi yang menjanjikan pengembalian modal dalam hitungan hari atau bulan, bukankah kita perlu curiga?
Dalam banyak kasus investasi bodong, mereka menggunakan skema Ponzi, sehingga pengembalian modal yang cepat dan besar diperoleh dari perputaran dana dari investor lain. Semacam gali lobang tutup lobang.
Crazy rich tidak terjadi secara crazy! Menjadi makmur membutuhkan proses, perilaku dan mindset yang benar. Jika kita tidak mau memilih masuk akal dalam berinvestasi dan kemudian mengalami penipuan, kita bukan mendadak bodong lho, tapi “sengaja” bodong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H