Mohon tunggu...
Endah Sayekti
Endah Sayekti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hallo teman, selamat datang di Blog ku. Tidak banyak mungkin hasil tulisanku tapi semoga bisa tetap selalu menghasilkan tulisan baru ya di sini, salam kenal semua.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Nyadran: Tradisi Memuliakan Leluhur dan Pelestarian Trah

6 November 2024   22:12 Diperbarui: 7 November 2024   01:24 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Endah Sayekti dan Nadiya 'Isy Karima

Nyadran atau Sadranan adalah sebuah tradisi yang berasal dari Masyarakat Jawa, terutama di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Tradisi ini merupakan bentuk penghormatan dan doa kepada leluhur yang telah meninggal dunia. Kata "Nyadran" sendiri berasal dari Bahasa Sansekerta, "sraddha" yang berarti keyakinan atau kepercayaan. Secara mendasar, Nyadran memiliki makna sebagai ungkapan Syukur dan penghormatan kepada leluhur. Melalui ritual Nyadran, Masyarakat Jawa berharap mendapatkan berkah dan perlindungan dari para leluhur. Selain itu, Nyadran juga berfungsi untuk melestariakan nilai-nilai budaya yang turun temurun, menjaga kelestarian lingkungan jika ritual juga melakukan pembersihan pada lingkungan sekitar makam, dan mempererat hubungan sosial terutama dalam lingkup keluarga yaitu trah.

Sejarah Nyadran

Asal-usul tradisi Nyadran sangat erat kaitannya dengan sejarah perkembangan budaya Jawa. Beberapa ahli berpendapat bahwa akar tradisi Nyadran dapat ditelusuri hingga zaman Hindu-Buddha. Ritual-ritual penghormatan kepada leluhur sudah ada sejak zaman Kerajaan Hindu-Buddha di Jawa. Hal yang membawa adanya tradisi Nyadran adalah konsep reinkarnasi dan karma dalam agama Hindu-Buddha yang kemudian mempengaruhi kepercayaan Masyarakat Jawa akan kehidupan setelah kematian. Kegiatan ritual yang dilakukanpun mengikuti bagaimana agama Hindu-Buddha dalam melaksanakan nyadran, yaitu dengan melakukan persembahan kepada dewa-dewa.

Seiring berjalannya waktu, ketika Islam mulai memasuki wilayah Jawa, tradisi Nyadran tidak terpunahkan sebab bentuk persembahan yang tidak sejalan dengan ajaran agama Islam. Justru tradisi Nyadran bertahan dengan beberapa perubahan dalam prosesi ritual pelaksaaannya. Setelah ajaran Islam meluas, tradisi Nyadran terpengaruhi yang kemudian mengalami akulturasi. Unsur-unsurmIslam seperti doa dan zikir dimasukkan ke dalam prosesi ritual Nyadran. Konsep mengenai pemahaman hari kiamat dan surga pada agama Islam juga memberikan nuansa baru dalam makna Nyadran. Sampai kini, tradisi Nyadran terus berkembang dan menyesuaikan dengan perubahan zaman. Namun, inti dari tradisi, yaitu penghormatan kepada leluhur tetap dipertahankan.

Prosesi dan Ritual Nyadran

Tradisi Nyadran dilaksanakan pada bulan Ruwah (dalam kalender Jawa) atau bulan Sya'ban (dalam kalender hijriyah), Ketika menjelang bulan Ramadan. Pelaksanaan Nyadran tidak selalu dilakukan pada waktu yang bersamaan. Tradisi Nyadran dilaksanakan sesuai dengan ketentuan waktu pada setiap trah keluarga masing-masing. Meski dilakukan dalam bulan Ruwah atau Sya'ban, waktu pelaksanaan tradisi Nyadran kembali ke masing-masing keluarga. Prosesi dan ritual Nyadran Masyarakat Jawa pada umumnya melaksanakan kegiatan Nyadran dengan berbagai susunan kegiatan tambahan. Sejak Islam menguasai, ritual Nyadran tidak lagi sama dengan ritual pada zaman Hindu-Buddha. Kegiatan utama dalam Nyadran adalah doa dan dzikir yang dipersembahkan kepada leluhur dan sanak keluarga yang telah meninggal.

Prosesi dan ritual Nyadran yang paling sederhana biasanya dimulai dengan kumpul Bersama keluarga dan trah untuk berdzikir dan mengirimkan doa kepada leluhur-leluhur keluarga dan trah. Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan kenduri atau makan Bersama. Umumnya anggota keluarga akan membawa makanan sendiri-sendiri dengan model makanan tradisonal seperti ayam ingkung, sambal goreng ati, urap sayur dengan lauk rempah, tempe, tahu bacem, dan lain sebagainya. Semua makanan yang telah dibawa akan dikumpulkan menjadi satu dan dimakan Bersama-sama atau dibagikan kepada anggota keluarga secara acak untuk dibawa pulang dan mengonsumsinya di rumah.

Tradisi Nyadran tidak selalu dilaksanakan dengan sederhana. Namun, bisa juga dilaksanakan dengan meriah. Keputusan terkait susunan kegiatan kembali kepada keluarga dan trah masing-masing. Ritual Nyadran yang meriah biasanya susunan kegiatan lebih beragam. Seperti, membersihkan lingkungan makam keluarga dan trah, melakukan kirab di lingkungan sekitar, doa Bersama, dan diakhiri dengan tasyakuran berupa makan Bersama. Jika keluarga dan trah mampu mengadakan kegiatan yang lebih, tradisi dapat diimbuhi dengan hiburan sebagai penutup dan meringankan suasana dalam perkumpulan keluarga dan trah.

Nyadran sebagai Sarana Pelestarian Trah

Organisasi sosial trah adalah hubungan sanak saudara yang diperhitungkan dengan mengambil salah satu nenek moyang tertentu sebagai pangkal perhitungannya. Trah yang artinya keturunan berasal kata truh yang artinya hujan. Hujan selalu menetes ke bawah sehingga trah pun dimaksudkan sebagai garis keturunan yang dihitung dari atas ke bawah (Sairin, 1991:3). Trah juga sering dianggap sama dengan alur waris, yaitu bentuk kelompok kekerabatan yang terdiri dari semua kerabat sampai tujuh turunan sejauh masih dikenal tempat tinggalnya. Tugas terpenting dari anggota alur waris adalah memelihara makam leluhur (Kodiran, 1981:335). Oleh sebab itu tradisi Nyadran sangat berperan penting dalam pelestarian trah, dan pelestarian makam para leluhur.

Nyadran merupakan sebuah tradisi ritual yang telah mengakar dalam Masyarakat Jawa, tidak hanya sekadar ritual tahunan. Lebih dari itu, tradisi Nyadran berperan penting dalam melestarikan trah atau garis keturunan suatu keluarga. Efek positif dari tradisi Nyadran selain mendoakan para leluhur, Nyadran juga meningkatkan kualitas kebersamaan antara anggota keluarga dalam suatu trah. Hal ini diwujudkan dalam rangkaian kegiatan ritual Nyadran. Banyak nilai sosial pada kegiatan Nyadran yang meningkatkan tali silahturahmi dan mempererat kekeluargaan. Seperti, memperkuat ikatan keluarga dengan mengenang leluhur, anggota keluarga dapat saling mengingat akan asal-usul keluarganya masing-masing. Serta, menjaga tradisi lisan melalui cerita-cerita mengenai leluhur, sejarah keluarga, dan nilai-nilai luhur seringkali diwariskan secara lisan Ketika berkumpul dalam ritual Nyadran.

Nyadran bukan hanya sekadar ritual tahunan, tetapi juga merupakan warisan budaya yang sangat berharga. Dengan melestarikan tradisi Nyadran, Masyarakat tidak hanya menghormati leluhur, namun juga menjaga identitas trah keluarganya. Tradisi Nyadran sangat kaya akan makna dan nilai luhur. Dalam memahami Nyadran, perlu dilihat dari berbagai perspektif, baik budaya maupun agama. Dengan demikian, Masyarakat dapat menghargai keberagaman tradisi dan melestarikan budaya serta agama yang terkandung di dalamnya. Tidak ada kebakuan dalam tradisi Nyadran, setiap tempat akan memiliki beragam bentuk kegiatan Sadranan yang berbeda-beda. Akan tetapi pada intinya memiliki kandungan nilai yang sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun