Mohon tunggu...
Endah Raharjo
Endah Raharjo Mohon Tunggu... -

~...~

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Satu Kali Dua Meter

19 April 2012   14:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:25 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13348531341530471596

"Nggak! Nggak bisa!" bantah Lastri. "Aku mau bilang Roy Codet kalau Pak RT sudah kasih ijin." Perempuan itu sering mendengar omongan orang tentang Roy Codet. Ia miris juga. Laki-laki itu semena-mena terhadap orang yang mencoba menentang aturannya. Tapi ketika aturan itu menghalangi mimpinya, Lastri tidak mau menyerah begitu saja. Ia ingin Darto bisa punya sepeda motor, mengantarnya kemana saja dirinya dan anak perempuannya pergi. Darto juga bisa memboncengkan bapaknya jalan-jalan keliling kota. Sudah lebih tiga tahun suaminya tidak bisa keluar kampung, tidak ada angkutan umum yang mau berhenti begitu melihat ada orang berkursi roda mencegat di pinggir jalan. Mau naik taksi sudah pasti tidak punya biaya.

Lastri tak mau mimpinya buyar gara-gara preman bernama Roy Codet. Ia berlari keluar rumah dengan wajah marah. Diman khawatir sekali. Darto disuruh menyusul emaknya.

Di antara suara radio, televisi, teriakan anak-anak dan tangisan bayi, Darto mendengar emaknya dan Roy Codet adu mulut di depan rumah gundik Roy Codet. Di dekat sungai. Dibantu beberapa tetangganya takut-takut Darto mencoba menghentikan Lastri. Namun perempuan itu seperti sudah kehilangan akal sehatnya. Suaranya lantang menantang. Saking marahnya tangan berotot Roy Codet terangkat, terayun kuat, lalu mendarat di rahang Lastri. Perempuan itu terpental ke belakang, mengaduh panjang. Darto mencoba melindungi emaknya.

Roy Codet mendekat, menarik paksa tubuh Darto yang telungkup di atas tubuh emaknya. Sekuat tenaga Roy Codet melempar tubuh kurus itu ke samping. Terdengar suara benturan keras. Kepala Darto menghantam batu besar yang biasa dipakai duduk anak-anak kecil sehabis bermain-main di kali. Suasana berubah senyap. Tubuh Darto tergeletak tidak bergerak. Lastri merangkak mendekati tubuh anaknya. Dilihatnya darah segar mengalir dari bawah kepalanya, pelan-pelan merembes ke tanah. Lastri melolong panjang, gemanya terbawa aliran sungai hingga ke ujung kampung.

**

Wajah Lastri membeku. Pipinya lebam biru. Dengan sorot penuh duka matanya tak berkedip memandangi lubang satu kali dua meter yang tengah ditimbun tanah oleh para tetangga yang mengubur jenazah Darto.

***

Baca cerita lainnya di sini dan di sini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun