Orang-orang tua di zaman dahulu, khususnya di Jawa Tengah, tempat asal saya, banyak yang memberi nama bagi anak-anak mereka sekedar kata yang disematkan untuk menandai dan memudahkan memanggil. Pilihan nama yang singkat dianggap paling pas untuk diberikan pada anak-anak mereka. Maka tak heran jika nama-nama yang diberikan cukup singkat, hanya sekedarnya saja.
Perkembangan Pemberian Nama
Di masa-masa sampai dengan sekitar tahun 70-an, nama-nama seperti Tukijo, Tukiman, Parsiman, Paino, Paijo, Kartiman, Karman, dan lain-lain nama sejenis umum diberikan untuk anak laki-laki. Untuk anak-anak perempuan ada nama-nama semacam Paijem, Rantiyem, Jayem, Parijem, Sarinah, Karsilah. Atau, ada juga penganut nama berawalan "Su" seperti Suhadi, Suparno, Sunarto, untuk anak-anak laki-laki dan Suginah, Sukasih, Sumarni, Suwarni, untuk anak-anak perempuan.
Ada juga nama-nama yang disematkan dengan menyesuaikan kondisi saat kelahiran anak tersebut seperti Tugino untuk anak yang lahir pada hari Sabtu Legi (Setu Legi Ono), Waras atau Slamet karena pada saat lahir seperti tak hendak selamat namun Alhamdulillah masih mendapat pertolongan dari yang maha kuasa hingga bisa selamat dan hidup sehat.
Seiring perkembangan zaman, pemberian nama bagi anak-anak yang baru lahir mengalami pergeseran. Memasuki tahun 80-an, nama-nama anak mulai lebih bervariasi. Orang tidak lagi hanya menyematkan satu kata saja untuk memberi nama bagi anak-anak mereka. Di era ini, nama yang cukup populer berkembang menjadi dua kata seperti Eka Widyastuti, Dwi Kurniawan, Tri Setyawati, Arif Budiman, Nur Rohman, Sri Sunarsih dan lain-lain.
Di era awal tahun 90-an, nama-nama anak semakin bertambah panjang lagi. Banyak orang tua yang memberi nama anak hingga tiga kata atau lebih. Misalnya saja Dwi Arini Hartati, Dina Dyah Agustina, Winda Ratna Kumala, Nur Rahmat Junianto, Bayu Damar Nusantara, Satria Aji Hutomo, Surya Darma Panuntun.
Menjelang akhir tahun 90-an dan memasuki tahun 2000-an, nama-nama anak yang semakin panjang dengan nuansa Bahasa Arab mulai bermunculan. Misalnya saja Muhammad Dany Azzam Ardian, Salsabila Isma Nur Karisma, Nabila Fatin Nur Zahro, Aufika Rahmani Nur Fadillah, dan masih banyak lagi nama sejenis yang lain.
Di tahun-tahun belakangan, nama anak semakin beragam dan juga semakin sulit dilafalkan. Bahkan belum lama kemarin sempat viral nama seorang anak yang mencapai 19 kata. Sungguh tak terbayangkan betapa sulitnya orang lain untuk bisa menyebutkan nama lengkap dari anak tersebut. Belum lagi ternyata nama yang terlalu panjang tersebut juga bermasalah di sistem Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil sehingga belum bisa diterbitkan akte kelahiran bagi anak tersebut.
Hakikat Sebuah Nama
Bagi sebagian besar orang, memberi nama bagi anak-anak mereka perlu pemikiran mendalam karena ada doa yang tersemat dalam sebuah nama. Mungkin benar adanya jika meyakini ucapan adalah doa, maka setiap nama tersebut terucap, doa sesuai makna nama tersebut pun terucap.Â
Namun, perlu kita cermati di dalam kehidupan nyata, banyak ditemui seorang penjahat menyandang nama dengan makna yang sangat bagus, bahkan mengutip nama seorang nabi. Tapi toh tidak menjamin sikap dan kehidupannya menjadi baik-baik saja.
Jadi, jika menginginkan sikap santun atau kehidupan yang baik bagi anak-anak, terlalu naif jika hanya mengandalkan pada nama yang disematkan. Hal yang lebih penting justru pola asuh dan contoh perilaku yang ditunjukkan oleh orang tua masing-masing.
Hak Anak Atas Sebuah Nama
Sesungguhnya, nama adalah hak anak yang menjadi kewajiban orang tua untuk memberikannya. Sah-sah saja jika orang tua ingin memberikan nama dengan makna yang baik, pun jika tanpa makna bukan hal yang salah. Namun, alangkah lebih baik jika nama yang diberikan memudahkan anak dan orang lain untuk melafalkan dan menuliskan.
Jika nama adalah doa, tentunya orang tua ingin agar dengan menyandang nama tersebut kehidupan anaknya selalu dilingkupi kemudahan, kebahagiaan dan kebaikan. Namun, jika menengok beberapa kejadian yang terjadi, sungguh tidak singkron antara tujuan dan nama yang tersemat.Â
Sejak awal nama anak sudah bermasalah dengan administrasi karena tidak sesuai dengan sistem. Nantinya anak akan bersekolah, sangat mungkin akan bermasalah lagi dengan sistem. Wah ... kalau sudah seperti ini apa mungkin anak akan bahagia?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H