Sebagai ibu saya cukup mencermati tayangan televisi karena banyak tontonan yang tidak mendidik muncul di jam-jam prime time. Perlu pendampingan agar anak-anak tidak menonton acara yang menurut saya kurang baik atau belum saatnya ditonton oleh anak-anak. Memang benar setiap tontonan tentu ada penikmatnya, tinggal kita sebagai konsumen lah yang harus pintar-pintar memilih yang sesuai.Â
Sepenggal Kisah Artis SJ
Salah satu hal yang membuat saya cukup tergelitik dan terpikir berhari-hari untuk kemudian akhirnya saya tuliskan yaitu tayangan penyambutan atas bebasnya seorang artis dari rutan berinisial SJ. Di dalam tayangan tersebut, artis yang bersangkutan disambut bak pahlawan yang baru pulang dari medan perang.Â
Penuh kebanggaan dan kebahagiaan, bahkan dilengkapi pula dengan pengalungan bunga. Sungguh ironis jika mengingat kasus yang menjerat artis tersebut hingga harus mendekam di balik jeruji besi.Â
Pada awalnya dia dijerat kasus pencabulan dan diganjar hukuman 5 tahun penjara, namun hukumannya bertambah 3 tahun menjadi 8 tahun karena terbukti berusaha menyuap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Rohadi, sebesar Rp 250 juta (Kompas.com)
Boikot/Cancel Culture Mengemuka
Setelah dunia pertelevisian dihebohkan dengan selebrasi penyambutan artis SJ, muncul petisi boikot terhadap artis SJ yang hingga saat ini sudah mencapai 400 ribu lebih.Â
Jumlah ini mungkin tidak sebanding dengan jumlah total penduduk ndonesia yang mencapai ratusan juta, namun tidak bisa juga dikatakan sedikit.Â
Perlu ada perhatian dan kepedulian terhadap hasil petisi, apalagi jika mengingat kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur dan kasus penyuapan yang sudah dilakukan.Â
Apalagi opsi boikot ini juga didukung oleh KPAI yang notabene merupakan lembaga perlindungan terhadap hak-hak anak. Alasan untuk melindungi perasaan korban agar tidak lagi melihat pelaku di televisi menjadi alasan yang paling banyak dikemukan oleh para pendukung boikot ini.Â