“Pretend inferiority and encourage his arrogance.”
― Sun Tzi, The Art of War
Mengingat perang Vietnam, seringkali terbesit dalam pikiran kita bahwa keunggulan Vietnam (Viet Minh) sebagai sebuah negara kecil yang dapat menghadapi negara super power seperti Amerika Serikat adalah yang paling berkesan (1 Nov 1955 – 30 Apr 1975). Tak dipungkiri jika hal tersebut masih menyisakan aib bagi AS, karena dengan getir harus menerima kekalahannya dengan tabah. Nampaknya AS tidak belajar dari pengalaman, sebab pada realitanya kemenangan Vietnam dalam lika liku peperangan Indochina ini bukanlah untuk yang pertama kalinya, dikarenakan sebelum menghadapi AS, Vietnam telah lebih dulu mengalahkan Prancis dalam pertempuran yang disebut juga sebagai perang Dien Bien Phu (13 Maret – 7 Mei 1954).
Dalam membahas kemenangan atas peperangan tentunya tak luput dari pembicaraan penting mengenai strategi. Persepsi mengenai strategi ini memiliki berbagai penafsiran berbeda, namun pada hakikatnya ialah suatu upaya ataupun kiat-kiat cara yang dilakukan dalam mencapai tujuan tertentu. Perkembangan zaman tentunya mengantarkan kita pada kedinamisan pola pikir, walaupun demikian suatu hal yang semakin canggih ini tetap tidak bisa menghilangkan ekstitensi keindahan pada pemikiran klasik. Penilaian tersebut bukanlah tanpa alasan, sebab halnya pemikiran klasik adalah bak potongan puzzle yang digabungkan agar dapat membentuk suatu pemikiran baru, hal inilah yang dimaksud sebagai penyempurnaan.
Keabadian The Art of War dapat dikonfirmasi oleh fakta bahwa baik Qin Shihuang maupun Mao Zedong menggunakan strategi Sun Tzi untuk mengalahkan musuh-musuh mereka (Griffith, 1963); Yang pertama pada tahun 221 SM untuk menjadi kaisar pertama Cina dan yang terakhir lebih dari dua ribu tahun kemudian, pada tahun 1949, untuk menjadi Ketua pertama Republik Rakyat. Selain Qin Shihuang dan Mao, para pemimpin Asia lainnya yang telah menerapkan prinsip-prinsip Sun Tzi termasuk Isoroku Yamamoto dalam penaklukan Malaya, Vo Nguyen Giap selama pertempuran Dien Bien Phu dan para pemimpin Viet cong selama Perang Vietnam (LOI & TEO , 1998). Di Barat, tulisan-tulisan Sun Tzi telah (diterjemahkan sejak lebih dari dua ratus tahun yang lalu oleh seorang misionaris Perancis) yang mempengaruhi Napoleon, Perang Dunia II staf umum Jerman serta komando tinggi Badai Gurun (Sawyer, 1994).
Pemikiran klasik yang hadir dalam buku “The Art Of War” yang dikenal juga sebagai “Strategi Perang Sun Tzi” adalah salah satu dari berbagai macam strategi militer yang masih relevan menjadi patokan hingga saat ini (Fawzia & Wardhani , 2020). Sun Tzi yang telah banyak menginspirasi banyak orang dengan berbagai filosofis strategis inilah yang menjadi patokkan penulis dalam mengkaji korelasi antara kemenangan Vietnam dalam pertempuran Dien Bien Phu dengan bagaimana jika memakai kacamata persepsi strategi militer klasik milik “The Art Of War” tersebut yang lalu dicerminkan dalam pengimplementasian strategi yang telah digencarkan oleh Viet Minh itu sendiri dalam menghadapi Prancis pada kala itu.
“Knowing the enemy enables you to take the offensive, knowing yourself enables you to stand on the defensive.” ― Sun Tzi, The Art of War
Perang Indochina merupakan sebuah titik nyala dari adanya Perang Dingin yang menyematkan Prancis yang berjuang untuk bangkit Kembali dalam menentang kemerdekaan Vietnam. Pada akhir 1953 Prancis mendirikan pangkalan di Dien Bien Phu, hal tersebut adalah upaya terakhir yang mereka lakukan untuk memikat Viet Minh ke dalam pertempuran klimaks. Namun naas, sebab pada akhirnya strategi mereka menjadi bumerang untuknya sendiri, dan Vietnam nyatanya memberikan kekalahan telak pada Prancis dalam Pertempuran Dien Bien Phu. Tentunya hal ini menggeser keseimbangan kekuatan di Indochina dan meletakkan alasan dasar bagi Masuknya Amerika dalam skala penuh ke dalam Perang Vietnam sepuluh tahun kemudian (Johnsen, 2019).
Pertempuran Dien Bien Phu ataupun (Chiến dịch iện Biên Ph) adalah bab terakhir dari Perang Indochina Pertama antara Prancis dan Viet Minh. Kronologi terjadinya perang ini bermula dari Viet Minh yang dipimpin oleh Jenderal Vo Nguyen Giap, tengah memiliki ambisi besar untuk mencapai Laos. Mengetahui hal ini, Prancis mulai merencanakan strategi untuk menghentikan pawai mereka dengan mendirikan pangkalan pertahanan di Dien Bien Phu, yakni sebuah daerah di Vietnam utara. Di sebuah desa terpencil di barat laut Vietnam yang berbatasan dengan Laos dengan menggunakan strategi lapangan terbang, Prancis berharap dapat memikat Viet Minh menjadi penentu pertempuran sehingga dapat memusnahkan mereka dengan menggunakan kekuatan udara dan artileri yang unggul. Operasi ini disebut sebagai “Operasi Caster”. Melalui operasi besar ini, Prancis memperkirakan tentara Viet Minh akan dengan mudah terprovokasi sehingga dapat dihancurkan dalam sekejap. Meski lokasinya sangat terbuka untuk serangan artileri, medan di sekitar pangkalan membuat perwira militer Prancis yakin akan mampu mengalahkan pasukan Vo Nguyen Giap dengan mudah. Prancis dengan dukungan dari Amerika Serikat yang telah bersedia membayar sekitar 80% biaya perang, serta mendapatkan bantuan lainnya dari pemerintahan Eisenhower yang juga diam-diam memasok garnisun dengan pesawat militer yang disamarkan sebagai pesawat sipil, juga pilot Amerika menerbangkan banyak DND dan jalur suplai bahan bakar, tentunya cukup merasa diuntungkan.