Mohon tunggu...
Endahing N.I. Pustakasari
Endahing N.I. Pustakasari Mohon Tunggu... Human Resources - Mental Health Practitioner | Counselor di YKBI Jakarta | Founder JedaLega Community

Pembelajar sampai akhir hayat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dari Sepetak Gubug, Menembus Keterbatasan akan Pengabdian Tanpa Batas Toreh Makna Hidup menuju Masyarakat Sehat di Pelosok Negeri

27 Oktober 2024   21:43 Diperbarui: 27 Oktober 2024   22:00 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koleksi Foto Yatno membawa obat-obatan dan perlengkapan pengabdian

"Melakukan apa yang tidak akan dilakukan orang lain, dengan cara yang tidak dapat dilakukan orang lain, terlepas dari semua yang kita alami; adalah menjadi seorang perawat." -- Rawsi Williams

            Ungkapan seorang pengacara kondang Amerika Serikat sekaligus berprofesi sebagai perawat di atas berhasil membuatku mengernyitkan dahi sembari menyelami maknanya, kok bisa? Bukankah profesi kesehatan yang lain juga begitu? tanya prasangka batinku. Karena, posisiku juga sebagai tenaga kesehatan mental merasa agak risih apabila muncul dikotomi atau pembedaan profesi. Nyatanya memang setiap profesi kesehatan memiliki keunikan masing-masing dalam setiap tugas keprofesiannya, beban tugas dan tanggungjawab juga berbeda.

            Tak menunggu waktu lama, prasangkaku terjawab oleh seorang sosok paruh baya dengan semangat membara yang kukenal dalam sebuah program pengabdian masyarakat di daerah tapal batas negeri paling selatan negeri ini, Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Melihat beliau membawa perlengkapan kesehatan begitu banyak di bandara tanpa bantuan laki-laki lain, hanya dibantu sang istri tercinta berprofesi seorang perawat.

Tak cukup sampai disitu, decak kagumku semakin membuncah tatkala melihat beliau melakukan tindakan khitan gratis bagi puluhan warga lokal dari pukul delapan pagi hingga malam hari, lagi-lagi sendirian, meski dibantu asistennya sang istri dan dokter muda. Kala itu kupikir beliau merupakan seorang dokter senior, karena kami belum berkenalan secara intens, sebab selain berada pada divisi yang berbeda, aku menggawangi divisi pendidikan, sedangkan beliau divisi kesehatan.

Aku hanya tahu namanya saja, pak Yatno, begitu panggilan akrab kami. Salut masih berlanjut saat beliau melakukan pelatihan pertolongan pertama bagi warga lokal. Hmm, siapa beliau sebenarnya?

            Disela waktu luang, kami membaur penuh makna selayaknya kawan kolaborasi yang sudah lama kenal. Dari situ, aku tahu, ternyata beliau bernama Ns. Suyatno, S.Kep.MPH berprofesi sebagai seorang perawat dengan skill beliau yang multi-talented. Ibarat tertampar oleh realita bahwa kita tidak boleh meremehkan profesi apapun.

            Pelbagai pertanyaan terlontar padanya seolah aku haus menggali motif dan motivasi beliau sehingga bersedia mengabdi tanpa batas, tanpa dibayar malah merogoh kantong pribadi yang nilainya seringkali melebihi batas estimasi awal, rela meninggalkan zona nyaman sejenak untuk bersusah payah berkunjung ke pelosok negeri demi berkontribusi dalam pelayanan kesehatan masyarakat di daerah tertinggal. Kok mau? Untuk apa? Biar apa?

            Dengan ciri khas pak Yatno, tersenyum kadang diselingi kekehan tawa bijak merespon lontaran pertanyaan yang bertubi-tubi, ia bercerita bahwa semua berawal dari rumah gubug di sebuah desa Babadan Lor, Kecamatan Balerejo, Madiun, Jawa Timur, tempat ia dilahirkan dan dibesarkan dengan cinta kasih, kepercayaan, daya juang, optimisme meski dalam keterbatasan hidup, serta doa restu keluarga yang melangit tiada henti.

            Di era 1985-an, sang Yatno remaja melihat kondisi masyarakat yang tinggal di desa masih memprihatinkan, terlebih soal pelayanan kesehatan yang tidak merata bahkan terkesan buruk. Setelah ia lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP), memilih untuk meneruskan pendidikan di sekolah kesehatan pada tahun 1987, yakni sekolah keperawatan di Ngawi selama tiga tahun hingga lulus pada tahun 1991. Usulan saudaranya pada tahun 1988 kepada Yatno remaja untuk menempuh sekolah perawat sebab banyak dibutuhkan menguatkan Yatno remaja menyelesaikan pendidikannya, dimana kala itu masih menggunakan NIM sehingga SPKD tingkat II Ngawi.

Yatno remaja ingin memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat dengan memilih pendidikan keperawatan. Pasca menempuh pendidikan, ia bekerja di RS Mardi Rahayu Jawa Tengah selama tujuh tahun di unit Instalasi Gawat Darurat hingga ditugaskan di kamar operasi menjadi 'tukang bius'.

            Sekilas tarik mundur waktu kala Yatno remaja menuntut ilmu keperawatan, tak semudah membalikkan telapak tangan. Ada saja tantangan dan hambatan yang harus dialaminya. Yatno remaja masuk ke sekolah keperawatan bermodal ratusan rupiah dengan biaya SPP lima belas ribu rupiah dimana nominal tersebut terbilang besar pada zaman itu, apalagi bagi Yatno remaja yang berasal dari keluarga kurang mampu. Pernah beberapa kali, Yatno remaja menunggak bayar SPP karena tidak adanya biaya untuk sekolah. Di rumah ia hanya tinggal bersama Ibu dan neneknya saja. Emosi Yatno remaja bercampur aduk saat itu. Senang sebab dapat melanjutkan pendidikan, sedih sebab kesulitan dalam biaya pendidikan. Untuk makan saja kesulitan bagi keluarganya, namun hal itu tak menyurutkan niat dan langkah Yatno remaja untuk terus sekolah, tekad untuk membahagiakan orangtua juga kuat.

            Getir nasib dilahirkan dalam keluarga tak mampu justru menjadi bensin penggerak perjuangan Yatno remaja. Ayam berkokok menjadi alarm Yatno remaja berangkat ke sekolah. Setiap pukul lima pagi seiring fajar menyingsing, Yatno remaja mengayuh sepeda ontel sejauh 35 kilometer selama 1,5 jam dari rumah ke sekolahnya di Sekolah Perawat Kesehatan di Ngawi. Peluh menetes ke seragam berwarna serba putih itu di setiap kayuhannya melewati sawah hijau kekuningan menghiasi hari-hari Yatno remaja di jalan.

(Dok. pribadi Yatno)
(Dok. pribadi Yatno)

            Suatu saat Yatno remaja menunggak membayar SPP selama tiga bulan berturut-turut. Terpaksa Yatno remaja diskors dari sekolah, akhirnya ia pulang ke rumah menjalani hari-hari bukan lagi sebagai siswa keperawatan. Sebagai anak petani, ia membantu pekerjaan mengolah sawah. Tepat sebulan Yatno remaja berada di rumah, hari itu tiba-tiba keluarganya dikejutkan oleh kedatangan kepala sekolah dan wali kelas ke rumah dengan menaiki ambulans. Sontak orang serumah heboh. Tujuan kepala sekolah dan wali kelas untuk memastikan apakah benar Yatno remaja berasal dari keluarga tidak mampu?! Sungguh sebuah keputusan yang bijak bagi seorang pemimpin sekolah dan pengayom siswa untuk peduli dengan nasib dan masa depan pendidikan anak didiknya.

            Kepala sekolah dan wali kelas memandang sekitar rumah Yatno remaja, ternyata siswa yang diskors tinggal di sebuah rumah berdinding gedek. Akhirnya, mereka meminta Yatno remaja untuk melanjutkan sekolah dengan syarat Yatno remaja ikut bantu-bantu di rumah wali kelas dengan mengerjakan pekerjaan domestik. Sebuah hall umrah pada zaman itu, bukan bermaksud untuk mengeksploitasi Yatno remaja untuk bekerja di bawah umur, melainkan untuk mendidiknya menjadi sosok bertanggungjawab dan bekerja keras, bahwa untuk menuntut ilmu pun dibutuhkan pengorbanan.

            Yatno remaja pun mengamini permintaan wali kelasnya tersebut, baginya apapun akan dijalani demi menuntaskan pendidikannya sehingga ia bisa segera mengabdi untuk masyarakat. Ia jalani dengan tabah dan semangat. Saat pagi, ia bersekolah, sorenya membantuk pekerjaan dometik di rumah wali kelasnya seperti mencuci dan masak. Setahun kemudian, Yatno remaha diminta untuk menjadi asisten seorang dokter gigi di poliklinik. Tetap sama, pagi ia bersekolah, sorenya, ia bantu-bantu di poliklinik, ia lakukan sampai lulus. Didukung orangtua dan kolega yang turut membantu Yatno remaja untuk membayar uang SPP hingga lulus. Yatno remaja sangat berterimakasih atas bantuan wali kelas, petugas Tata Usaha, dan dokter Hendro, panggilan bagi Yatno remaja kepada dokter gigi itu.

            Kembali ke masa depan, dari rumah gubuk itulah mental Yatno remaja terbentuk. Merasa senasib sepenanggungan, jiwa tanggungjawab sosialnya diasah dari kesulitannya selama menuntut ilmu. Baginya, semua orang berhak mendapatkan akses kesehatan yang layak agar tidak ada yang tertinggal di belakang atau merasa didiskriminasi. Ia melihat masyarakat yang tinggal di daerah pelosok harus menempuh jarak yang jauh dan waktu yang begitu lama ke pusat kesehatan masyarakat terdekat sambil menahan rasa sakit, apalagi kalau ada kasus darurat dengan kondisi pasien yang kritis. Seperti ibu melahirkan yang memiliki masalah pendarahan yang kemudian harus dirujuk ke rumah sakit tingkat kabupaten dimana peralatan medisnya lebih lengkap. Seringkali jarak yang jauh dan memakan waktu yang lama membuat pasien tidak selamat, sehingga menyumbang angka kematian ibu atau bayi. Belum lagi pasien dengan kasus kesehatan yang lain. Yatno tidak ingin melihat hal seperti itu lagi.

(Sumber : ATB Indonesia)
(Sumber : ATB Indonesia)

            Beranjak dewasa, Yatno memulai karir sebagai perawat yang merupakan bagian dari tenaga kesehatan. Ia bekerja di rumah sakit, klinik dan pertambangan dengan harapan, ia bisa turut 'menyentuh' lapisan masyarakat yang masih kesulitan dalam akses pelayanan kesehatan di daerah pelosok Nusantara, meskipun telah tersedia rumah sakit atau puskesmas pembantu di daerah tersebut. Yatno ingin berkontribusi dalam menembus keterbatasan dalam sektor akses layanan kesehatan, dengan berkolaborasi bersama dokter, bidan dan perawat di wilayah Indonesia Timur khususnya wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar)

            Bermodal pengalaman kerja di dunia kesehatan sejak tahun 1991, Yatno awalnya ingin bekerja di rumah sakit swasta sebab bisa memberikan pelayanan dan tindakan keperawatan secara maksimal, berbeda dengan rumah sakit negeri kala itu, beliau praktik di rumah sakit di Jawa Timur dengan fasilitas yang minim, sehingga memilih bekerja di RS swasta. Bekerja di RS selama tujuh tahun semakin melatih Yatno meningkatkan kapasitas dirinya. Kemudian, ia bekerja di sektor pertambangan, sebab melihat mereka memberikan pelayanan terhadap karyawan dan program CSR (Corporate Social Responsibility)  yang memberikan pelayanan kepada masyarakat lokal sekitar yang membutuhkan. Ia berkeliling daerah Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Papua mengantongi pengalaman agar lebih bersemangat untuk mengabdi.

Bagi Yatno, banyak hal yang bisa dilakukan dalam pengabdian, tantangannya dituntut memberikan pelayanan kesehatan secara maksimal, aktif, cepat dan tepat, semua tentang memberikan pelayanan kesehatan secara humanis. Saat mendapati seorang pasien, Yatno menimbang bahwa kenapa tidak memberikan pelayanan kesehatan kepada keluarga juga sebagai caregiver, mengkombinasikan dengan cara komunikasi terapeutik kepada pasien maupun keluarganya.

Tantangan lain yang dihadapinya selama ini juga mengenai fasilitas yang tidak sesuai dengan jenis penyakitnya, beberapa penyakit yang memerlukan obat dan tindakan yang membutuhkan rujukan ke RS yang lebih besar, apalagi pada saat di suatu hal, beberapa daerah agak lumayan membutuhkan ikhtiar lebih besar.

Selama pengabdian, terpatri pengalaman paling berkesan dalam memoarnya, suatu ketika ada seorang bayi yang dinyatakan sudah meninggal oleh dokter kandungan, lalu sang ibu mendatangi RS dan kontrol di fasilitas bidan dan dokter ke RS, usia sang Ibu kala itu sudah cukup berumur, oleh dokter kandungan dilakukan tindakan seksio, ada bidan untuk menangani bayinya karena sudah meninggal, setelah ditidurkan, bayinya diangkat, ditidurkan pada suatu alat. Kemudian, Yatno melakukan RJP atau CPR sambil dipasang selang, RJP tidak sampai tiga menit yang menentukan nasib si bayi, di tengah kondisi menegangkan itu, pecahlah tangis si bayi pada akhirnya mencairkan ketegangan. Semua berucap syukur, padahal dari kamar depan sampai ruang operasi bayi itu telah dinyatakan telah meninggal oleh dokter kandungan, aman yang diciptakan oleh siapapun. Itulah takdir atas kuasa Tuhan melampaui segalanya.

Pernah juga, kala itu ada kasus anak usia dua tahun tenggelam di kolam renang dalam kondisi mengapung, pertolongan cek nadi tidak ada, Yatno melakukan RJP pinggir kolam sampai tiga menit anak itu mulai batuk dan sadarkan diri, beliau melakukan bantuan pernafasan. Menurut Yatno, apabila menangani kasus emergency baik itu di perjalanan, bahkan saat tragedi tsunami di Aceh tahun 2004 silam, Yatno berangkat sendiri menjadi relawan untuk memberikan bantuan kepada masyarakat.

Koleksi Foto Yatno membawa obat-obatan dan perlengkapan pengabdian
Koleksi Foto Yatno membawa obat-obatan dan perlengkapan pengabdian

Menjaga semangat pengabdian tidaklah mudah, seringkali semangat naik turun. Untuk menjaga semangat pengabdian tanpa batas, Yatno memegang teguh mottonya yakni masih selama bisa mampu secara pribadi, materi dan non materi, maka ia tetap bisa melakukan pengabdian. Sebab, ia masih melihat saudara-saudara di daerah Indonesia Timur khususnya daerah 3T , mereka beberapa kali jauh dari pusat kesehatan, kalua toh memerlukan rumah sakit membutuhkan beberapa jam apalagi berada di kepulauan, sehingga membuatnya memberikan pelayanan kesehatan secara baik dengan kolaborasi dengan daerah masing-masing. Idealnya memang kunjungan perlu lebih rutin oleh pihak dinas kesehatan tingkat kota ataupun kabupaten di daerah terpencil atau wilayah kepulauan, mereka sangat diperlukan untuk hal-hal seperti itu, ternyata masih ada. Walaupun di desa sudah ada bidan atau perawat, menurutnya mungkin sudah diwakili oleh pustu, barangkali ada kasus yang membutuhkan tindakan lebih lanjut maka dilakukan rujukan ke pusat layanan kesehatan setingkat kota atau kabupaten.

Selama ini, Yatno tidak pernah mendapatkan stigma dalam dunia perawat, justru pasien bangga kepadanya dan kolega sesame perawat, karena dibutuhkan di tengah-tengah masyarakat. Mungkin hanya dengan promosi kesehatan itu sangat bermanfaat dengan mereka, itulah yang membuat masyarakat yang bangga dengan perawat.

Bagi Yatno, merasa senang, sukses dan bahagia tatkala penting kita punya waktu dan Ikhlas, apapun yang bisa kita lakukan baik secara materi maupun non materi untuk mereka yang terbaik untuk masyarakat maka itulah yang kita lakukan untuk mereka, mungkin dengan hal kecil yang mungkin tidak terlihat atau kita bisa melakukan dengan hal yang besar khususnya bagi mereka yang tinggal di daerah 3T atau kepulauan. Apabila kita mulai dari hal-hal kecil maka kehidupan kita sendiri bisa bermanfaat bagi orang lain . Kebahagiaan kita adalah kebahaginan mereka, mereka bahagia dan senang, maka kita juga ikut bahagia dan senang.

Uniknya memberikan pengobatan dan perawatan bagi orang lain, terkadang kita harus bisa mengeluarkan uang sendiri, di luar ekspektasi kita bahwa yang tadinya kecil, ternyata juga banyak, karena memang tujuannnya pengabdian, dan kita ikhlas maka berapapun nilainya maka kita tetap berikan kepada mereka. Yatno berpesan bahwa apabila jadi tenaga kesehatan, melakukan tindakan pertolongan di jalan atau di rumah, seperti ada kasus tabrakan di rumah, maka kita bisa ikut menolong sesuai basic keilmuan dan skill kita. Pengabdian dengan naik perahu, ombak tinggi, kengerian sendiri, saat melakukan yang terbaik, maka Allah akan memberikan jalan keselamatan bagi semua relawan.

Dari cerita Yatno, saya teringat sebuah ungkapan seorang pelopor dunia keperawatan, Florence Nightingale mengatakan "Keperawatan adalah seni: dan jika ingin menjadikannya sebuah seni, dibutuhkan pengabdian yang eksklusif dan persiapan yang keras, seperti halnya pekerjaan pelukis atau pematung mana pun."semoga jalan pengabdian membawa manfaat dan kebahagiaan bagi kita semua demi menuju Indonesia Emas 2045, dengan cara akses layanan kesehatan lebih berdampak nyata bagi masyarakat di pelosok negeri, dan tenaga kesehatan semakin bersemangat dalam mengabdi tanpa batas.

(Dalam rangka berpartisipasi dalam Kompetisi Media peringatan HKN ke-60 Tahun 2024)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun