Sekilas tarik mundur waktu kala Yatno remaja menuntut ilmu keperawatan, tak semudah membalikkan telapak tangan. Ada saja tantangan dan hambatan yang harus dialaminya. Yatno remaja masuk ke sekolah keperawatan bermodal ratusan rupiah dengan biaya SPP lima belas ribu rupiah dimana nominal tersebut terbilang besar pada zaman itu, apalagi bagi Yatno remaja yang berasal dari keluarga kurang mampu. Pernah beberapa kali, Yatno remaja menunggak bayar SPP karena tidak adanya biaya untuk sekolah. Di rumah ia hanya tinggal bersama Ibu dan neneknya saja. Emosi Yatno remaja bercampur aduk saat itu. Senang sebab dapat melanjutkan pendidikan, sedih sebab kesulitan dalam biaya pendidikan. Untuk makan saja kesulitan bagi keluarganya, namun hal itu tak menyurutkan niat dan langkah Yatno remaja untuk terus sekolah, tekad untuk membahagiakan orangtua juga kuat.
      Getir nasib dilahirkan dalam keluarga tak mampu justru menjadi bensin penggerak perjuangan Yatno remaja. Ayam berkokok menjadi alarm Yatno remaja berangkat ke sekolah. Setiap pukul lima pagi seiring fajar menyingsing, Yatno remaja mengayuh sepeda ontel sejauh 35 kilometer selama 1,5 jam dari rumah ke sekolahnya di Sekolah Perawat Kesehatan di Ngawi. Peluh menetes ke seragam berwarna serba putih itu di setiap kayuhannya melewati sawah hijau kekuningan menghiasi hari-hari Yatno remaja di jalan.
      Suatu saat Yatno remaja menunggak membayar SPP selama tiga bulan berturut-turut. Terpaksa Yatno remaja diskors dari sekolah, akhirnya ia pulang ke rumah menjalani hari-hari bukan lagi sebagai siswa keperawatan. Sebagai anak petani, ia membantu pekerjaan mengolah sawah. Tepat sebulan Yatno remaja berada di rumah, hari itu tiba-tiba keluarganya dikejutkan oleh kedatangan kepala sekolah dan wali kelas ke rumah dengan menaiki ambulans. Sontak orang serumah heboh. Tujuan kepala sekolah dan wali kelas untuk memastikan apakah benar Yatno remaja berasal dari keluarga tidak mampu?! Sungguh sebuah keputusan yang bijak bagi seorang pemimpin sekolah dan pengayom siswa untuk peduli dengan nasib dan masa depan pendidikan anak didiknya.
      Kepala sekolah dan wali kelas memandang sekitar rumah Yatno remaja, ternyata siswa yang diskors tinggal di sebuah rumah berdinding gedek. Akhirnya, mereka meminta Yatno remaja untuk melanjutkan sekolah dengan syarat Yatno remaja ikut bantu-bantu di rumah wali kelas dengan mengerjakan pekerjaan domestik. Sebuah hall umrah pada zaman itu, bukan bermaksud untuk mengeksploitasi Yatno remaja untuk bekerja di bawah umur, melainkan untuk mendidiknya menjadi sosok bertanggungjawab dan bekerja keras, bahwa untuk menuntut ilmu pun dibutuhkan pengorbanan.
      Yatno remaja pun mengamini permintaan wali kelasnya tersebut, baginya apapun akan dijalani demi menuntaskan pendidikannya sehingga ia bisa segera mengabdi untuk masyarakat. Ia jalani dengan tabah dan semangat. Saat pagi, ia bersekolah, sorenya membantuk pekerjaan dometik di rumah wali kelasnya seperti mencuci dan masak. Setahun kemudian, Yatno remaha diminta untuk menjadi asisten seorang dokter gigi di poliklinik. Tetap sama, pagi ia bersekolah, sorenya, ia bantu-bantu di poliklinik, ia lakukan sampai lulus. Didukung orangtua dan kolega yang turut membantu Yatno remaja untuk membayar uang SPP hingga lulus. Yatno remaja sangat berterimakasih atas bantuan wali kelas, petugas Tata Usaha, dan dokter Hendro, panggilan bagi Yatno remaja kepada dokter gigi itu.
      Kembali ke masa depan, dari rumah gubuk itulah mental Yatno remaja terbentuk. Merasa senasib sepenanggungan, jiwa tanggungjawab sosialnya diasah dari kesulitannya selama menuntut ilmu. Baginya, semua orang berhak mendapatkan akses kesehatan yang layak agar tidak ada yang tertinggal di belakang atau merasa didiskriminasi. Ia melihat masyarakat yang tinggal di daerah pelosok harus menempuh jarak yang jauh dan waktu yang begitu lama ke pusat kesehatan masyarakat terdekat sambil menahan rasa sakit, apalagi kalau ada kasus darurat dengan kondisi pasien yang kritis. Seperti ibu melahirkan yang memiliki masalah pendarahan yang kemudian harus dirujuk ke rumah sakit tingkat kabupaten dimana peralatan medisnya lebih lengkap. Seringkali jarak yang jauh dan memakan waktu yang lama membuat pasien tidak selamat, sehingga menyumbang angka kematian ibu atau bayi. Belum lagi pasien dengan kasus kesehatan yang lain. Yatno tidak ingin melihat hal seperti itu lagi.
      Beranjak dewasa, Yatno memulai karir sebagai perawat yang merupakan bagian dari tenaga kesehatan. Ia bekerja di rumah sakit, klinik dan pertambangan dengan harapan, ia bisa turut 'menyentuh' lapisan masyarakat yang masih kesulitan dalam akses pelayanan kesehatan di daerah pelosok Nusantara, meskipun telah tersedia rumah sakit atau puskesmas pembantu di daerah tersebut. Yatno ingin berkontribusi dalam menembus keterbatasan dalam sektor akses layanan kesehatan, dengan berkolaborasi bersama dokter, bidan dan perawat di wilayah Indonesia Timur khususnya wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar)
      Bermodal pengalaman kerja di dunia kesehatan sejak tahun 1991, Yatno awalnya ingin bekerja di rumah sakit swasta sebab bisa memberikan pelayanan dan tindakan keperawatan secara maksimal, berbeda dengan rumah sakit negeri kala itu, beliau praktik di rumah sakit di Jawa Timur dengan fasilitas yang minim, sehingga memilih bekerja di RS swasta. Bekerja di RS selama tujuh tahun semakin melatih Yatno meningkatkan kapasitas dirinya. Kemudian, ia bekerja di sektor pertambangan, sebab melihat mereka memberikan pelayanan terhadap karyawan dan program CSR (Corporate Social Responsibility)  yang memberikan pelayanan kepada masyarakat lokal sekitar yang membutuhkan. Ia berkeliling daerah Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Papua mengantongi pengalaman agar lebih bersemangat untuk mengabdi.
Bagi Yatno, banyak hal yang bisa dilakukan dalam pengabdian, tantangannya dituntut memberikan pelayanan kesehatan secara maksimal, aktif, cepat dan tepat, semua tentang memberikan pelayanan kesehatan secara humanis. Saat mendapati seorang pasien, Yatno menimbang bahwa kenapa tidak memberikan pelayanan kesehatan kepada keluarga juga sebagai caregiver, mengkombinasikan dengan cara komunikasi terapeutik kepada pasien maupun keluarganya.