"Melakukan apa yang tidak akan dilakukan orang lain, dengan cara yang tidak dapat dilakukan orang lain, terlepas dari semua yang kita alami; adalah menjadi seorang perawat." -- Rawsi Williams
      Ungkapan seorang pengacara kondang Amerika Serikat sekaligus berprofesi sebagai perawat di atas berhasil membuatku mengernyitkan dahi sembari menyelami maknanya, kok bisa? Bukankah profesi kesehatan yang lain juga begitu? tanya prasangka batinku. Karena, posisiku juga sebagai tenaga kesehatan mental merasa agak risih apabila muncul dikotomi atau pembedaan profesi. Nyatanya memang setiap profesi kesehatan memiliki keunikan masing-masing dalam setiap tugas keprofesiannya, beban tugas dan tanggungjawab juga berbeda.
      Tak menunggu waktu lama, prasangkaku terjawab oleh seorang sosok paruh baya dengan semangat membara yang kukenal dalam sebuah program pengabdian masyarakat di daerah tapal batas negeri paling selatan negeri ini, Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Melihat beliau membawa perlengkapan kesehatan begitu banyak di bandara tanpa bantuan laki-laki lain, hanya dibantu sang istri tercinta berprofesi seorang perawat.
Tak cukup sampai disitu, decak kagumku semakin membuncah tatkala melihat beliau melakukan tindakan khitan gratis bagi puluhan warga lokal dari pukul delapan pagi hingga malam hari, lagi-lagi sendirian, meski dibantu asistennya sang istri dan dokter muda. Kala itu kupikir beliau merupakan seorang dokter senior, karena kami belum berkenalan secara intens, sebab selain berada pada divisi yang berbeda, aku menggawangi divisi pendidikan, sedangkan beliau divisi kesehatan.
Aku hanya tahu namanya saja, pak Yatno, begitu panggilan akrab kami. Salut masih berlanjut saat beliau melakukan pelatihan pertolongan pertama bagi warga lokal. Hmm, siapa beliau sebenarnya?
      Disela waktu luang, kami membaur penuh makna selayaknya kawan kolaborasi yang sudah lama kenal. Dari situ, aku tahu, ternyata beliau bernama Ns. Suyatno, S.Kep.MPH berprofesi sebagai seorang perawat dengan skill beliau yang multi-talented. Ibarat tertampar oleh realita bahwa kita tidak boleh meremehkan profesi apapun.
      Pelbagai pertanyaan terlontar padanya seolah aku haus menggali motif dan motivasi beliau sehingga bersedia mengabdi tanpa batas, tanpa dibayar malah merogoh kantong pribadi yang nilainya seringkali melebihi batas estimasi awal, rela meninggalkan zona nyaman sejenak untuk bersusah payah berkunjung ke pelosok negeri demi berkontribusi dalam pelayanan kesehatan masyarakat di daerah tertinggal. Kok mau? Untuk apa? Biar apa?
      Dengan ciri khas pak Yatno, tersenyum kadang diselingi kekehan tawa bijak merespon lontaran pertanyaan yang bertubi-tubi, ia bercerita bahwa semua berawal dari rumah gubug di sebuah desa Babadan Lor, Kecamatan Balerejo, Madiun, Jawa Timur, tempat ia dilahirkan dan dibesarkan dengan cinta kasih, kepercayaan, daya juang, optimisme meski dalam keterbatasan hidup, serta doa restu keluarga yang melangit tiada henti.
      Di era 1985-an, sang Yatno remaja melihat kondisi masyarakat yang tinggal di desa masih memprihatinkan, terlebih soal pelayanan kesehatan yang tidak merata bahkan terkesan buruk. Setelah ia lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP), memilih untuk meneruskan pendidikan di sekolah kesehatan pada tahun 1987, yakni sekolah keperawatan di Ngawi selama tiga tahun hingga lulus pada tahun 1991. Usulan saudaranya pada tahun 1988 kepada Yatno remaja untuk menempuh sekolah perawat sebab banyak dibutuhkan menguatkan Yatno remaja menyelesaikan pendidikannya, dimana kala itu masih menggunakan NIM sehingga SPKD tingkat II Ngawi.
Yatno remaja ingin memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat dengan memilih pendidikan keperawatan. Pasca menempuh pendidikan, ia bekerja di RS Mardi Rahayu Jawa Tengah selama tujuh tahun di unit Instalasi Gawat Darurat hingga ditugaskan di kamar operasi menjadi 'tukang bius'.