Seberapa besar usaha kita untuk melupakan laut dan seberapa kuat kita ingin memunggungi laut, tapi kita tak bisa lari dari sejarah, bahwa nenek moyang kita adalah bangsa pelaut. Kita adalah Bangsa Maritim.
Kejayaan Maritim
Sejarah telah membuktikan bahwa Indonesia memiliki masa-masa keemasan saat maritim menjadi garda depan bangsa ini. Saat budaya maritim menjadi pijakan utama dalam membangun kejayaan sebuah negeri. Torehan sejarah dan bukti-bukti arkeologis mendendangkan kejayaan maritim dan kemakmuran di bumi Nusantara.
Kerajaan Majapahit dengan semboyan kelautannya Jalesveva Jayamahe, Di Lautan Kita Jaya, telah berhasil menjadi kerajaan besar. Dalam Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, disebutkan bahwa daerah kekuasaan Majapahit meliputi sebagian besar pulau-pulau di Nusantara, Semenanjung Malaya, Tumasik (Singapura) dan sebagian kepulauan Filipina. Kerajaan Majapahit juga menjalin hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok.
Joao de Barros dalam Dcadas da sia (Dekade-dekade dari Asia), mengakui bahwa kapal-kapal Jawa waktu itu sungguh luar biasa. "Kapal itu merupakan kapal tempur yang amat besar... Pati Unus mengandalkannya sebagai benteng apung yang sesungguhnya (en modo de fortaleza) guna memblokir daerah sekeliling Malaka".
Namun saat ini, sejarah hanyalah sebuah kisah, laut buat masyarakat Indonesia bagaikan "alam lain" yang berada jauh di luar sana. Suatu tempat yang misterius dan menyeramkan. Simbol kemiskinan dan keterbelakangan dari masyarakat pesisir. Jauh dari kata kemakmuran.
Berkaca dari sejarah, kemunduran dunia maritim di Indonesia berawal dari masuknya penjajah Eropa, khususnya Belanda ke bumi pertiwi ini. Dengan kekuatan militer dan armada niaganya, perlahan tapi pasti mereka melemahkan dan akhirnya menenggelamkan kejayaan kerajaan-kerajaan maritim di Nusantara.
Pramoedya Ananta Toer merilis ucapan Raden Patah dalam bukunya Arus Balik: "Hancurnya kerajaan-kerajaan di Nusantara karena singgasana rajanya dipalingkan dari laut". Tidak hanya memalingkan dari laut, tapi lebih jauh lagi Belanda mengubah paradigma identitas rakyat Indonesia, dari Bangsa Maritim menjadi Bangsa Agraris. Dari Budaya Maritim menjadi Budaya Agraris. Laut semakin jauh dan makin menghilang dari kehidupan bangsa Indonesia.
Kita lebih suka mengeksplorasi habis-habisan daratan, areal hutan dibabat habis demi terwujudnya pemukiman dan perkebunan kelapa sawit, yang berujung pada dampak kerusakan lingkungan hidup. Bencana banjir dan longsor adalah hal yang menjadi berita biasa dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BPNP), bencana longsor adalah bencana yang paling mematikan. Paling banyak menimbulkan menimbulkan korban jiwa. Di tahun 2017 tercatat tak kurang dari 156 orang tewas dan lebih dari 52.000 orang harus mengungsi dan menderita karena bencana longsor.
Begitu pula dengan bencana banjir, lebih dari 130 jiwa telah melayang, dan tak kurang dari 2.000.000 jiwa harus mengungsi karena pemukimannya dilanda banjir.
Kembalinya Kejayaan Maritim
Mengapa kita sibuk mengeksplorasi daratan padahal potensi ekonomi maritim kita sangat besar? Padahal potensi ekonomi maritim diperkirakan sekitar Rp 7.200 triliun per tahun. Sekitar 3.5 kali lipat dari besar APBN tahun 2015 (Rp. 2.000 triliun). Hal ini menunjukan bahwa kita memiliki potensi maritim yang amat besar, sebagai harapan baru yang terbentang luas dan tanpa batas.
Seperti yang diungkapkan oleh filsuf Friedrich Wilhelm Nietzsche dalam Horison Ketidakterbatasan: "Kita telah meninggalkan daratan dan sudah menuju kapal! Kita sudah membakar jembatan di belakang kita---dan lagi, kita juga sudah menghanguskan daratan di belakang kita! Dan kini, hati-hatilah kau kapal mungil! Samudera raya mengelilingimu: memang benar, dia tidak senantiasa mengaum, dan kadang-kadang dia tampak lembut bagaikan sutera, emas, dan mimpi yang indah. Namun akan tiba waktunya, bila kau ingin tahu, bahwa dia tidak terbatas."
Sejalan dengan pemikiran di atas, maka Deklarasi Juanda yang digagas oleh Perdana Menteri Ir. Juanda, 13 Desember 1957, merupakan titik awal dari kembalinya kejayaan maritim Indonesia. Dengan penambahan garis pantai dari 3 mil menjadi 12 mil.
Begitu juga dengan Presiden Joko Widodo dengan program Nawacitanya, bermaksud mengembalikan kejayaan maritim di Indonesia, dengan cara membangun Poros Maritim Dunia.
Dari lima pilar pendukung Poros Maritim Dunia, yang menjadi pilar pertama adalah "Membangun kesadaran nasional tentang budaya Maritim", untuk mencapai visi dan cita-cita besar membangun Indonesia, "Kembali ke jatidiri bangsa sebagai bangsa bahari dan negara maritim sekaligus ingin membangun kekuatan maritim untuk Indonesia yang bersatu (unity), sejahtera (prosperity), dan berwibawa (dignity)."
Semua itu selaras pula Firman Allah swt: "Dan Dia-lah (Allah) yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daging yang segar (ikan) darinya, dan (dari lautan itu) kamu mengeluarkan perhiasan yang kamu pakai. Dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan agar kamu bersyukur." (An Nahl/16:14)
Salam Lestari Budaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H