Mohon tunggu...
Endah Marjoen
Endah Marjoen Mohon Tunggu... Arkeolog dan Penggiat Budaya Kreatif (Komunitas Luar Kotak) -

Arkeolog UI

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wisata Budaya Kudus, Mengangkat Nilai Kebangsaan

18 Juni 2018   16:39 Diperbarui: 18 Juni 2018   16:43 890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menara Mesjid Kudus. Sumber: aswajanucenterjatim.com

Wisata budaya adalah bentuk wisata yang menggabungkan unsur wisata dan kebudayaan. Menjadikan wisata budaya tematik dengan mengangkat nila-nilai kebangsaan merupakan sebuah usaha pemajuan kebudayaan kreatif yang berupaya mengatasi persoalan bangsa Indonesia saat ini yang sedang dilanda krisis identitas.

Salah satu nilai kebangsaan yang perlu dikampanyekan secara terus menerus adalah toleransi, yaitu sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. Kota Kudus merupakan salah satu destinasi wisata yang menarik dalam menggambarkan jejak toleransi yang sudah menjadi tradisi dan mendarah daging selama ratusan tahun.

Wisata Budaya Kudus yang mengangkat tema toleransi adalah sebagai berikut:

1. Cagar Budaya Kota Kudus

a. Menara Mesjid Kudus

Menara  Mesjid Kudus merupakan cagar budaya sekaligus landmark utama kota Kudus. Menara mesjid ini menjadi lambang toleransi dan kegiatan hidup keagamaan yang sangat intensif bagi warga Kudus. Bentuknya arsitekturnya yang menyerupai candi dari masa pra Islam yang terbuat dari batubata, berdiri bersebelahan dengan bangunan masjid dengan kubah besar yang merupakan arsitektur masjid modern.

Adalah hal yang jarang terjadi di masa kini, dimana simbol yang bernuansa Hindu menyatu dengan bangunan bernafaskan Islam. Menara mesjid Kudus menjadi sebuah simbol dari toleransi, kedamaian dan kerukunan antar umat bergama.

Menara Mesjid Kudus. Sumber: aswajanucenterjatim.com
Menara Mesjid Kudus. Sumber: aswajanucenterjatim.com
b. Rumah Pencu

Rumah Pencu adalah rumah tradsional masyarakat Kudus yang menunjukan kearifan lokal masyarakat Kudus dalam menerima budaya pendatang. Mereka tidak menentangnya bahkan justru menghargainya. Arsitekturnya merupakan pengembangan dari rumah adat Jawa  pada umumnya dan pesisir utara Jawa khususnya, yang dipengaruhi  budaya dari Cina, Eropa dan Persia. 

Ukiran rumah Adat Kudus tidak terlepas dari jasa seorang keturunan Cina bernama Tee Ling Sing yang kemudian disebut sebagai Kyai Telingsing. Kyai Telingsing adalah juru sungging atau pemahat yang berasal dari Cina. Keahlian memahat dengan aliran sungging inilah yang kemudian mengilhami terjadinya nama kampung Sunggingan (Disparbud Kab. Kudus, 2008).

Bangunan pokok rumah adat Kudus berupa bentuk joglo, atap berbentuk pencu dengan tritisan bagian depan dan belakang.  Pusat pencu merupakan puncak dari gedongan  yang merupakan bagian paling sakral dari rumah adat Kudus. Tata ruang terdiri dari  bagian jaga satru, sentong, gedongan serta pawon dan bangunan tambahan berupa sumur dan kamar mandi atau pekiwan  yang terletak di depan rumah.  Antara rumah induk dengan pekiwan  terdapat ruang kosong yang digunakan sebagai jalan  umum antara rumah.

Rumah Pencu Kudus: mediaindonesia.com
Rumah Pencu Kudus: mediaindonesia.com
2. Tradisi Dhandangan

Tradisi Dhandangan berawal dari masa Sunan Kudus yang akan mengumumkan berita penetapan tanggal 1 Ramadhan, yang membuat seluruh masyarakat berkumpul di depan mesjid Menara Kudus. Ratusan santri yang datang tidak hanya berasal dari kota Kudus, tapi juga dari berbagai wilayah lain, seperti Kendal, Semarang, Demak, Pati, Cepu, Blora bahkan hingga dari Tuban Jawa Timur.

Sambil menunggu pengumuman Sunan Kudus ini biasanya mereka menunaikan sholat Ashar berjamaah. Sesudah Sunan Kudus mengumumkan kepastian awal berpuasa dilanjutkan dengan memukul beduk. Pukulan beduk yang berulang-ulang itu menimbulkan suara "DANG.. DANG...DANG", sehingga lama kelamaan di sebut Dhandangan.

Namun kata Dandangan bisa juga diasumsikan berasal dari kata "Ndang.. ndang" bahasa Jawa yang artinya "Cepat... cepat". Yang bermakna agar umat muslim segera bergegas menyambut bulan Ramadhan dan segera meningkatkan ibadahnya.

Acaranya diselenggarakan di sepanjang jalan Menara Kudus hingga ke alun-alun kota. Selain itu juga digelar pasar rakyat, dimana masyarakat lintas kultural di Kudus dapat berkumpul, berinteraksi dan juga bisa  mendapat rezeki awal Ramadhan di sini.

Pada tradisi ini tidak hanya tabuh bedug  dan pasar malam saja, tapi juga menampilkan atraksi-atraksi seni seperti visualisasi Kiai Telingsing, Sunan Kudus, Rumah Adat Kudus, "Batil"-merapikan rokok, Barongan Gembong Kamijoyo, kirab dan rebana.

Sumber: www.pewartanusantara.com
Sumber: www.pewartanusantara.com
3. Kuliner Tradisional 

Di kota Kudus kita akan menemui berbagai makanan yang tersaji dari daging kerbau. Padahal lazimnya, di Indonesia penyajian makanan dengan bahan baku daging menggunakan daging sapi. Ternyata penyebabnya adalah himbauan dari Sunan Kudus, agar masyarakat Kudus tidak menyembelih sapi untuk menghargai keyakinan masyarakat Kudus yang saat itu masih didominasi oleh umat Hindu. 

Dimana sapi merupakan hewan suci yang tidak boleh disembelih oleh umat Hindu. Himbauan ini dituruti oleh umat Islam di kota Kudus dengan senang hati, bahkan mereka menciptakan kreasi kuliner yang terbuat dari daging kerbau.

Kuliner khas Kudus daging kerbau hingga kini menjadi menu favorit masyarakat Kudus, antara lain adalah:

a. Sate Kerbau

Jangan membayangkan sate kerbau ini bertekstur kasar dan alot. Resep sate kerbau Kudus membuat daging kerbau menjadi empuk. Pembuatannya dilakukan secara tradisional dengan cara memisahkan serat dagingnya, dengan cara dipukul-pukul dan seratnya direbus. Hal ini dilakukan dengan maksud agar saat diberi bumbu dan dibakar, bumbunya mudah meresap dan daging kerbau menjadi empuk dan tidak alot.

Sate Kerbau Kudus (http://www.tribunnews.com/travel/2015/06/26)
Sate Kerbau Kudus (http://www.tribunnews.com/travel/2015/06/26)
b. Pindang Kerbau

Makanan khas pindang kerbau ini diwariskan dari daerah Desa Colo, di lereng Gunung Muria. Pindang kerbau ini sebenarnya mirip dengan masakan rawon yang ada di daerah lain di Jawa, namun yang membuatnya berbeda adalah aroma harum daun melinjo segar yang meruap dari mangkuk. Ditambah bumbu masak lain yang terdiri dari kemiri, bawang putih, bawang merah, terasi, santan, garam dan kluwak, menambah kelezatan pindang kerbau ini. Pindang dengan kuah kecokelatan inilah yang jadi ciri khas nasi pindang Kudus. Tidak hanya dagingnya, jeroan kerbau juga sering digunakan sebagai isi pindang.

Pindang Kerbau Kudus (http://www.menuinternasional.com)
Pindang Kerbau Kudus (http://www.menuinternasional.com)
c. Soto Kerbau

Soto dengan kuah bening merupakan salah satu representasi budaya Jawa. Diisi dengan nasi, irisan daging kerbau, mi putih atau soun, tauge, irisan kol, butira kacang kedelai, taburan daun seledri, bawang goreng dan siram kuah kaldu daging kerbau yang panas membuat soto kerbau ini memikat untuk disantap. Ditambah aroma bumbu rempah, cengkih, kayu manis, kemiri serta perasan jeruk limau, makin menggunggah selera makan.

Sebagai pendamping, disajikan juga  lauk otak dan paru kerbau goreng, perkedel kentang, serta kerupuk rambak kulit kerbau.

Soto Kerbau Kudus (http://www.effiharyanti.com)
Soto Kerbau Kudus (http://www.effiharyanti.com)
d. Kerupuk Kulit Rambak Kerbau

Krupuk rambak adalah krupuk yang dibuat dari kulit kerbau yang diolah dengan berbagai macam bumbu dan menjadi makanan yang gurih dan lezat. Krupuk rambak adalah krupuk yang dibuat dari kulit kerbau atau sapi yang diolah dengan berbagai macam bumbu. Setelah mengalami proses perebusan dan pengeringan pada terik matahari biasanya sekitar 2-3 hari, kerupuk mentah yang kering ini siap digoreng menjadi kerupuk yang siap untuk dihidangkan.

Dan ternyata krupuk rambak ini memiliki kandungan energi yang besar, yakni 422 kalori dalam setiap 100 gram krupuk rambak, ditambah sejumlah protein, Kalsium, Lemak dan fosfor.

Penutup

Wisata Budaya adalah perjalanan wisata yang menjadikan kebudayaan sebagai objek utamanya. Tidak hanya menyajikan keindahan maupun keunikan dari kebudayaan yang ada, tapi juga harus menunjukkan manfaat kebudayaan dalam kehidupan kita sehari, baik manfaat yang brupa materi tapi juga immateri.

Manfaat materi tentu berupa peningkatan ekonomi masyarakat setempat. Sedangkan manfaat iimateri yang diperoleh berupa pemahaman tentang nilai kebangsaan pada umumnya dan sifat toleransi pada khususnya, yang sudah mengakar di dalam kehidupan masyarakat Indonesia sejak ratusan tahun yang lalu. Hal ini penting untuk membangun karakter bangsa, menjaga ketahanan budaya dan wawasan kebangsaan Indonesia. 

"Bangsa yang kuat adalah bangsa yang memegang teguh nilai-nilai kebangsaannya".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun