Mohon tunggu...
Endah Marjoen
Endah Marjoen Mohon Tunggu... Arkeolog dan Penggiat Budaya Kreatif (Komunitas Luar Kotak) -

Arkeolog UI

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan featured

Beratnya "Perjuangan" Orang Tak Mudik Lebaran

13 Juni 2018   10:05 Diperbarui: 29 Maret 2020   12:36 836
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: pinterpandai.com

"Bersama malam, kudekap lirih arti kerinduan, kesendiriaan" -- Khalil Gibran

Rintih kerinduan yang disyairkan oleh Khalil Gibran puluhan tahun silam sama beratnya dengan kerinduan yang diucapkan oleh anak muda, yang diwakili oleh sosok Dilan di masa kini. Karena memang beratnya dahaga kerinduan baru bisa terpenuhi saat datangnya perjumpaan.

Mudik lebaran merupakan salah satu cara untuk melepas dahaga kerinduan kampung halaman. Beratnya perjalanan, besarnya biaya yang harus dikeluarkan dan lamanya waktu yang harus dihabiskan, merupakan bagian dari "perjuangan mudik lebaran" yang dengan senang hati mereka jalani. Mereka lebih memilih untuk menjalani itu dibanding harus tetap tinggal di rantau.

Banyak orang yang tidak menyadari alasan mendasar mengapa mereka mau melakukan hal-hal berat tadi setiap kali lebaran. Sesungguhnya bukan sekedar memenuhi kerinduan saja tapi lebih dari itu, ada dorongan psikologis dalam setiap individu yang menuntut untuk dipenuhi. Dan jika tidak terpenuhi, akan berdampak lebih berat dibandingkan beratnya perjuangan mudik lebaran.

Fenomena mudik lebaran jika dilihat dari kacamata Erich Fromm, tokoh psikoanalisis dan filosof sosial, menggambarkan tentang kebutuhan dasar manusia yang harus terpenuhi, yaitu:

1. Keberakaran (rootedness), yakni kebutuhan untuk memiliki ikatan yang membuatnya merasa nyaman, merasa seperti di rumahnya (feel at home).

2. Keterhubungan (relatedness), yakni kebutuhan mengatasi perasaan kesendirian dan terisolasi dari alam dan dari dirinya sendiri. Kebutuhan untuk bergabung dengan individu lain yang dicintai dan menjadi bagian dari sesuatu.

Kedua kebutuhan di atas tersebut lah yang sejatinya menarik jutaan orang untuk mudik lebaran. Semua orang selalu ingin kembali kepada "kebudayaan asalnya". Tempat dimana dia pertama kalinya belajar kehidupan. 

Tentang pergaulan, kasih sayang, makanan kesukaan, keindahan alam, penghargaan antar individu, tata cara bermasyarakat dan lain sebagainya. Yang tidak akan diperoleh dan rasakan lagi di tempat lain.

Fromm juga menyatakan bahwa kebutuhan lain yang harus terpenuhi adalah Identitas (Identity) yakni kebutuhan untuk menjadi 'aku', kebutuhan untuk sadar dengan dirinya sendiri. Setiap individu ingin mengontrol nasibnya sendiri, membuat keputusan, dan merasa bahwa hidupnya benar-benar miliknya sendiri.

Mudik lebaran adalah pemuasan dari dahaga ke 'aku'an, dahaga pengakuan identitas diri, yang selama ini mungkin tak pernah bisa dia tampilkan seutuhnya. Dengan mudik lebaran, dahaga tersebut dapat terpenuhi. Setiap individu dapat tampil sesuai dengan kehendaknya.

Jika ketiga kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, orang bisa terjebak dalam perasaan kesepian, terisolasi dan merasa tak berdaya. Menurut Erich Fromm, untuk mengatasi perasaan tersebut, ada tiga kecenderungan yang akan dilakukan individu yaitu:

 1. Otoritarianisme (authorianism): Menyerahkan kemandiriannya sebagai individu kepada kekuatan di luar dirinya. Misalnya merasa dirinya adalah orang betawi, yang tidak perlu mudik lebaran (padahal sebenarnya dia adalah orang jawa).

2. Perusakan (destructiveness): Mencari kekuatan namun bukan dengan cara membangun hubungan dengan pihak luar, tetapi melalui usaha membalas/merusak kekuatan orang lain, dan individu. Misalnya mengatakan bahwa "orang mudik itu bodoh"

3. Penyesuaian (conformity): Penyerahan individualitas dan menjadi apa saja yang diinginkan kekuatan dari luar. Individu menjadi seperti robot yang tidak punya keinginan sendiri.

Dengan kata lain, orang yang tidak mudik lebaran, karena banyak faktor penyebabnya, justru harus berjuang lebih berat dibanding para pemudik. Mereka harus berjuang keras untuk mengatasi kerinduan kembali ke 'kebudayaan asalnya', ditambah dengan perasaan kesepian, terisolasi dan tidak berdaya karena tidak bisa mudik. Belum lagi kecemburuan terpendam saat menyaksikan kehebohan yang dipertontonkan saat mudik lebaran.

Paparan Erich Formm membuka mata kita bahwa tradisi mudik lebaran bukan sekedar euforia sesaat, tapi juga menjelaskan arti pentingnya 'kebudayaan asal' bagi setiap individu. Jika itu dicabut dari dirinya, akan menyebabkan individu mengalami alienasi dan keterpisahan dari kebudayaannya.

"Tak Mudik Lebaran itu Berat, Cukup Aku Aja".
Selamat mudik lebaran, selamat berbahagia, Lestarikan Kebudayaan Lokal..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun