Mohon tunggu...
Endah Kurnia Wirawati
Endah Kurnia Wirawati Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Digital Nomad Life

Blogger dan translator novel dan komik. Traveler and writer on http://www.muslimtravelergirl.com/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

A Village and Face to Remember

30 September 2018   21:05 Diperbarui: 1 Oktober 2018   00:04 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perjalanan ke Siem Reap, Kamboja kali ini sebenarnya perjalanan mau tak mau harus jalan. Kenapa? Karena kamera DSLR saya harus diservice untuk ganti shutter count di service center resmi di Kuala Lumpur Malaysia selama 2 minggu. Otomatis saya yang terbiasa melakukan perjalanan dengan kamera itu merasa kehilangan separuh jiwa. Hanya smartphone yang teronggok dalam tas sandang saya. Hiks. Hiks. Hiks. Sejak saya membeli kamera DSLR itu pada tahun 2012, saya + perjalanan + kamera selalu menjadi satu kesatuan. Smartphone hanyalah tambahan gadget.

Namun perjalanan kali ini, mau tak mau saya harus mengandalkan smartphone saya untuk menjelajah kota yang baru pertama kali saya pijaki itu.

Kota Siem Reap merupakan salah satu kota besar di Kamboja yang memiliki budaya dan sejarah yang kental. Mungkin mirip-mirip kota Solo dan Jogja atau Bali kalau di Indonesia. Siem Reap memiliki situs kota bersejarah bernama Angkor yang telah menjadi situs warisan dunia yang telah diakui oleh UNESCO.

Namun hari pertama saya di Siem Reap, kota kuno Angkor harus dikesampingkan terlebih dahulu. Tujuan utama saya ke Siem Reap adalah menjadi volunteer di sebuah sekolah di desa sejauh 40 menit dari pusat kota Siem Reap bernama desa Chaesmorn. Saya ingin berbagi cerita tentang pekerjaan saya sebagai fotografer dan penulis serta cerita tentang Indonesia. Sebelumnya, mereka tidak pernah menerima volunteer dari Indonesia. Bukan karena mereka menolak tapi belum pernah ada yang mengajukan diri.  Itu sebabnya pengelola sekolah bernama Sok Chamrouen menerima saya dengan tangan terbuka saat saya mengajukan diri.

Dari kota Siem Reap saya menggunakan tuk tuk untuk mencapai desa tersebut. Jalanan panas dan berdebu di siang hari menemani perjalanan saya.  Saya pun tiba di sekolahan yang bernama JB School Foundation. Di sekolah inilah nanti saya akan menggantikan tugas seorang guru untuk mengajar selama 1 jam di tiap kelas.

Murid didik saya di desa Chaesmorn, Siem Reap, Kamboja terbagi menjadi 3 kelas. 1 kelas untuk murid usia SD, dan 2 kelas untuk murid usia SMP. Masing-masing kelas terdiri dari 20 hingga 30 murid. Sekolah ini bukanlah sekolah resmi milik pemerintah. Sekolah ini dibangun oleh Sok Chamrouen untuk memberikan pelajaran tambahan bahasa inggris dan mereka dilatih pula untuk menjadi tour guide bagi beberapa turis asing yang ingin menikmati pemandangan dan suasana pedesaan di Kamboja. Harapannya, mereka bisa menjadi entrepreneurship di masa mendatang.

JB School Foundation di desa Chaesmorn, Siem Reap, Kamboja.
JB School Foundation di desa Chaesmorn, Siem Reap, Kamboja.
Salah satu dari 2 ruang kelas yang ada di JB School Foundation
Salah satu dari 2 ruang kelas yang ada di JB School Foundation
Soppei dan Izsa, 2 murid SMP di desa Chaesmorn yang menemani saya berkeliling dan berkenalan di hari pertama saya di JB School
Soppei dan Izsa, 2 murid SMP di desa Chaesmorn yang menemani saya berkeliling dan berkenalan di hari pertama saya di JB School
Memperkenalkan bahasa Indonesia ke Kamboja dan mereka memperkenalkan bahasa Khmer kepada saya
Memperkenalkan bahasa Indonesia ke Kamboja dan mereka memperkenalkan bahasa Khmer kepada saya
Berfoto bersama usai mengajar. Kelas menjadi remang-remang karena hanya ada 1 lampu
Berfoto bersama usai mengajar. Kelas menjadi remang-remang karena hanya ada 1 lampu
"Kamu kan kerjanya sama dengan entrepreneurship juga kan, menulis dan memotret. Bisa jadi inspirasi buat murid-murid disana". Terang Sok Chamrouen sehari sebelumnya saat saya temui di sebuah cafe di kota Siem Reap.

Selama berada disana saya mengabadikan gambar dan video mereka yang begitu antusias untuk belajar. Kelas yang dimulai pukul 3 sore waktu setempat dan berakhir pada pukul 7 malam. Ternyata, meski dengan menggunakan smartphone, kualitas gambar dan videonya ternyata memiliki kualitas yang kurang baik, terutama ketika matahari mulai menghilang di ufuk barat. 1 ruang kelas hanya memiliki 1 lampu 10 watt saja. Dari situlah saya mulai sadar, saya butuh smartphone yang mumpuni terutama untuk memotret dan video shooting di malam hari.

Akhirnya saya pun memiliki beberapa kriteria idaman yang saya inginkan pada sebuah smartphone karena gadget ini akan banyak membantu tugas kamera saya nantinya.

Di tahun 2019 nanti saya ingin punya smartphone dengan kamera yang sudah dibekali teknologi AI (Artificial Inteligent). Saya ingin bisa mometret wajah-wajah lugu mereka dengan efek bokeh yang tentu saja akan lebih menampilkan raut wajah mereka yang polos dan riang. Dengan Teknologi AI ini akan menghasilkan efek bokeh yang mungkin bisa mendekati kualitas kamera DSLR pada umumnya.

Storage penyimpanan yang besar pun wajib karena saya harus mengambil gambar dan video untuk mengabadikan aktifitas mereka di sekolah. Performa smartphone yang handal dan cepat pun harus mumpuni demi mengimbangi hiperaktifnya anak-anak ini bermain dengan riang kesana kemari dengan penuh semangat. Jadi bisa tetap merekam gambar dan video tanpa kehilangan momen berharga karena smartphone yang lelet. Apalagi kalau mau edit video, mesti banget kan punya performa ngebut macam mobil di jalan tol. Hehehe.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun