Namaku Aurora Kusumadewi, atau biasa dipanggil Rara, si cantik berkulit sawo matang, bermata bulat yang sedang menatap indahnya bunga tabebuya dari balik tirai di dalam kamarnya. Tak lupa susu coklat manis kesukaanku selalu ada menemani menikmati pagi kala itu.
Pintu kamarku berderit pelan, sapaan sayang dari seseorang di balik pintu mengalihkan pandanganku dari bunga tabebuya, ya dialah suamiku, "apa kabarmu hari ini sayang, susunya sudah habis ?"
Seketika aku memindahkan kaki pelan-pelan yang semula di atas tempat tidur bergerak ke bawah dengan dibantu suamiku.
"Kamu tidak lupa kan hari ini kita jadwal kontrol ke dokter kandungan ?" tanyaku dengan nada lirih.
"Tidak, nanti malam pukul 18.30 kita pergi ke dokter kandungan," jawab suamiku.
Pukul 18.00 aku dan suamiku mengantri di klinik dokter kandungan yang cukup terkenal, kami mendapatkan no antrian 12. Perawatnya menginstruksikan agar minum air mineral yang banyak, supaya terlihat ketika di USG. Hampir 2 jam menunggu dipanggil masuk ke ruangan dokter, dan akhirnya perawat memanggil kami.
"Bagaimana bu, sudah telat berapa hari ?"
"Sudah test pack apa belum ?"
"Hasil test pack bagaimana ?"
Seperti itulah pertanyaan dokter sambil memandangi kami berdua.
"Saya sudah telat 3 minggu dok, dan sudah saya test pack 2x hasilnya garis dua yang artinya positif hamil, sekarang saya ingin USG," jawabku dengan lantang.
"Baiklah, kita USG biar kelihatan seperti apa gambarnya ya, ibu bisa langsung tiduran !" perintah dokter kala itu.
Aku pun langsung beranjak dari kursi dan menuju ke tempat tidur pasien dengan dibantu oleh perawat, suamiku menunggu sambil memandangi dari kejauhan. Alat USG ditempelkan ke perutku dengan dioleskannya terlebih dahulu menggunakan gel. Selama USG berlangsung, dokter hanya terdiam, tanpa sepatah kata pun dan memeriksa selama 2 menit.
"Sudah selesai bu, silahkan duduk dan bisa dibersihkan gelnya !" ucap dokter kepadaku.
Kemudian dokter menyampaikan hasil pemeriksaan USG kepada kami berdua.
"Mohon maaf, kehamilan Ibu Rara tidak bisa dilanjutkan, kantung janinnya memang sudah ada, tapi tidak berkembang sempurna dan harus segera di kuretase," penjelasan dokter setelah memeriksaku.
Mendengar hal itu, duniaku terasa hancur dan tiba-tiba air mata mengalir di pipiku, tangan bergetar tak berdaya, mulutku pun terpaku seakan tak sanggup bicara lagi.
"Adakah opsi lain selain kuretase dok ?" tanyaku kepada dokter dengan lirih dan bibir gemetar mengucapkannya sambil erat memegang tangan suamiku.
"Tidak ada, jika terus dibiarkan akan membahayakan rahimnya, jalan satu-satunya harus kuretase, setelah ini bisa program hamil lagi," jawab dokter meyakinkanku kalau masih bisa hamil lagi.
"Baik dok, terima kasih atas penjelasannya, akan saya renungkan dulu di rumah bersama suami kapan saya akan siap untuk kuretase," jawab pungkasku.
Aku dan suami keluar ruangan dengan tatapan kosong, tak terasa air mata terus mengalir dari pipiku, sambil berjalan sesekali menyekanya.
Dua hari setelah vonis dari dokter, aku mencari opsi lain dengan pergi ke dokter kandungan yang berbeda, berharap masih ada sisa harapan di dalamnya. Tapi takdir berkata lain, justru disitulah aku harus segera proses kuretase.
Ruangan sunyi dengan peralatan operasi sudah tertata rapi di dalamnya, perawat mengarahkanku masuk sambil sesekali mencoba menghiburku. Meskipun mencoba tegar, tapi tetap saja hati terasa pilu, tidak terima dengan semua ketetapanNya, doa yang selama ini dilangitkan, harus diambil lagi dalam waktu yang singkat. Dokter masuk ke ruangan dan operasi pun tidak bisa dihindari.
"Kuatkan hambaMu ini Ya Rabb, hamba pasrahkan semua kepadaMu," ucapku dari lubuk hati terdalam, sambil tak terasa air mata jatuh tak tertahankan.
Dua jam berlalu, akhirnya operasi selesai dan berjalan dengan lancar.Â
"Alhamdulillah sudah selesai operasinya, ibu bisa segera pindah ke ruangan rawat inap setelah 2 jam observasi tidak ada keluhan apa pun !" kata dokter sambil merapikan sarung tangannya.
Dua hari pasca operasi, aku dan suami mengunjungi makam buah hati kami, hati memang masih sedih, teringat masa-masa melihat hasil test pack garis dua dan senyum bahagia orang tua kami yang akan menimang seorang cucu. Namun semua yang terjadi sudah menjadi takdir dan tidak boleh diratapi secara terus menerus, semua pasti akan ada hikmahnya. Kemudian kami saling berpelukan, suamiku memegang erat pundakku seraya mengisyaratkan semua akan baik-baik saja jika dihadapi bersama. Lalu kami berjalan meninggalkan makam buah hati kami.
Aku sangat berterimakasih kepada suami dan keluargaku, mereka tetap menjadi yang pertama selalu ada ketika aku berada di titik terendah. Selalu menjadi rumah dan tempat pulang ternyaman dalam menghadapi berbagai roda kehidupan.
Kelahiran dan kematian adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Apalah arti kehilangan ? Ketika suatu saat nanti kita akan banyak menemukan kehilangan lain. Namun aku percaya, di balik kehilangan akan banyak pula saat-saat kita menemukan hal baru. Bahwa apapun yang memang menjadi takdirku, tidak akan melewatkanku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H