Mohon tunggu...
Endah Lestariati
Endah Lestariati Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang banci kolam [renang] yang sedang butuh vitamin K; Kamuuuuuuuuuu

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menjangan-Tabuhan, Duet Cantik Island Hopping di Timur Pulau Jawa

14 Agustus 2015   15:09 Diperbarui: 14 Agustus 2015   15:09 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berkali aku berseru kegirangan di dalam air. Seolah bercanda bersama ikan-ikan yang berenang bebas. Mengagumi keindahan terumbu karang yang rapat dengan kedalaman dasar lautnya yang tak sampai satu meter dari permukaan air. Subhanallah. Cantik. Alhamdulillahi Rabbil Aalamin. Terima kasih atas karunia mata yang mampu melihat dan diperbolehkan mengagumi keindahan ciptaanNya.

Are you ready to go...?

Daily alarm smartphone ku berbunyi, membuatku terjaga penuh. 03.40 am, Jumat hari pertama di Bulan Mei 2015, kami masih terjebak di kemacetan. Jalur pantura di wilayah Kraton, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur kembali lumpuh karena banjir luapan Sungai Welang. Setidaknya sudah lebih dari dua jam berlalu dan elf yang membawa kami tak kunjung bergerak maju.

Aturan jam segini udah lewat Probolinggo. Aku santai sih. Ngetrip itu selalu ada kejutan-kejutan di sepanjang perjalanannya, yes? Anggap saja kejutan kurang beruntung. Nggak beruntung bukan berarti bikin kita mengeluh, dan aku nggak mau keluhanku mengimbas energi negatif buat temen-temen yang lain. Aku melihat temen-temen yang biasa ngetrip ini pun sepertinya cukup legowo dan siap menerima kondisi yang mungkin unpredictable dan kurang baik. Jadi ketika perkiraan kami harus meleset karena macet berkepanjangan, tidak ada satupun dari 16 orang ini menyemburkan energi negatifnya. Keren!

Entah improvisasi Pak Supir Elf atau Tika selaku ketua rombongan, aku kurang paham. Mungkin karena terkeksisting duduk di bangku paling belakang, membuatku tidak mudah mengakses informasi dari depan. Elf kami memutar balik perjalanan. Syukurnya kami punya sedikit celah untuk berjalan mundur hingga bertemu jalur memutar. Yang aku ingat, kami melewati jalan yang berkebalikan arah menuju Warung Dowo, salah satu jalur menuju Penanjakan/ Bromo. Aku masih mengenali Pegunungan Tengger yang seolah membentuk dinding pagar alam, berbayang dalam gelap malam, berbatas langit, dan kerlip lampu berjajar di kejauhan.

Perjalanan selanjutnya terasa lancar. Probolinggo dengan view cantik Argopuro, kemudian jalan raya Paiton dengan PLTUnya, dan Kabupaten Situbondo yang seolah tak ada habisnya. Sudah hampir pukul 11.00 WIB ketika kami melewati kawasan Taman Nasional Baluran. Selanjutnya memasuki kawasan Banyuwangi, Kecamatan Wongsorejo, Desa Bengkak, elf kami berbelok di gang sebelah Balai Desa dan bertemu dengan Bangsring homestay/ basecamp perahu yang siap melayani penyeberangan pendatang menuju Pulau Menjangan dan Pulau Tabuhan.

“Pelampung wajib dikenakan bagi setiap orang yang menaiki perahu.” Kira-kira begitulah bunyi peringatan di sebuah spanduk yang sempat terbaca olehku. Tentu saja aku setuju, pelampung adalah standard safety bagi setiap orang untuk melaut, sekaliber apapun ia menghadapi lautan.

Perjalanan 30 menit mengarung Selat Bali menuju Pulau Menjangan. Gugusan awan kontras dengan warna biru langit membuat bibirku mengulum senyum. Alhamdulillah, atas ridhoNya untuk cuaca cerah. Mataku membelalak tak sabar melihat permukaan bening air laut pesisir Menjangan, ingin segera turun perahu. Dipandu oleh dua buddy dari basecamp perahu, perahu merapat di dermaga sisi Barat Pulau Menjangan, Taman Nasional Bali Barat.

Adalah kali kedua kunjunganku menapak pasir putih Menjangan. Bersama team hore terdahulu, kami mengaksesnya dari sisi Timur pulau, menyeberang dari Pelabuhan Mimpi Resort di sisi Barat Pulau Bali. Kalau datang dari arah Gilimanuk, ambil arah Singaraja, perjalanan hanya memakan waktu sekitar 20-30 menit sampai di pelabuhan. Kali ini, team yang digawangi oleh Tika, kami mencoba pencapaian Pulau Menjangan dari Banyuwangi, merapat di sisi barat pulau.

Setelah berfoto di depan papan penanda kedatangan (yang seolah seperti photo booth session pengganti red carpet di acara gala hollywod), Mas buddy/ guide dari persewaan perahu membimbing kami menuju spot pertama.

“Mas, bolehkan berenang tanpa pelampung?” Aku mencari persetujuan pihak terpercaya untuk melepas pelampung.

“Boleh, kalau bisa berenang.” Katanya. Ah senangnya, mengingat berenang di perairan pantai Gili Labak sebulan sebelumnya, mengenakan pelampung justru menyiksa pergerakan badan. Aku bergegas melepas pelampungku. Sudah ada satu atau dua orang yang mengawali terjun ke laut. Aku tak sabar menyusul, sementara teman-teman yang lain masih mengumpulkan nyali untuk turun laut.

Perahu kami berhenti pada posisi kedalaman air kisaran 10-20 meter. Dasar laut tak tampak dari penglihatanku melalui google/ masker setelah turun laut. Dan aku harus berenang sekitar 5-10 meter untuk mencapai permukaan coral di perairan yang jauh lebih dangkal dari posisi parkir perahu. Ini yang membuat teman-teman merasa ciut nyali untuk turun, karena harus melewati perairan yang dianggap dalam untuk berenang. Beruntung karena mas Buddy siap membantu teman-teman melewati tantangan ini, bersabar menuntunnya hingga sampai di perairan yang lebih dekat dengan terumbu karang. Hanya saja, kita harus ekstra hati-hati supaya kaki atau anggota badan lain tidak menyentuh terumbu karang yang dilindungi.

Aku sudah asyik berenang sendiri ke sana kemari menikmati pemandangan bawah air yang menakjubkan. Berkali memekik kegirangan, mengucap kalimat tasbih karena kagum atas ciptaanNya. Melepas rindu, sudah lama tidak turun laut melihat gugusan karang dan segala biota lautnya. Ini adalah sesi kedua turun laut setelah bisa survive bergerak di air (baca : bisa berenang), meski nggak ngerti apakah pergerakanku sudah benar atau belum. Sesi pertama adalah mencoba snorkeling di perairan pantai Gili Labak, Sumenep, Madura. Sedikit agak kecewa karena hanya menemukan gerombolan ikan teri. Posisi terumbu karang masih agak lebih jauh ke tengah, sementara perahu kami kurang mendukung berhenti di sana untuk proses loading penumpang. Sesi kedua mencoba turun laut kali ini terasa membayar kekecewaan episode Gili Labak. Kalau dulu, aku hanya modal nekat bermain snorkeling, hanya bisa menatap iri teman-teman yang bisa berenang lebih menikmati view underwater, kali ini, aku lebih banyak bersyukur, karena satu mimpi yang rasanya sulit diraih dulu, kini berhasil dijangkau. Terlebih, karena kita lebih survive bergerak di dalam air, berarti kita harus bisa lebih baik menjaga keutuhan terumbu karang, tidak merusaknya secara sengaja ataupun tidak disengaja.

Kami mengunjungi 3 spot snorkeling di perairan Menjangan. Kondisi terumbu karang ketiga spot ini hampir semuanya sama rapat dengan keanekaragaman biota lautnya yang berwarna warni. Bintang laut biru, ada teman yang mengaku bertemu ikan badut, ikan yang seperti pedang dan entah apalagi. Pengenalanku akan jenis ikan nol besar. Kecuali legenda nemo si ikan badut yang hidup di anemon. Semoga aku memiliki kesempatan belajar mengenal penghuni laut lebih baik lagi. Perjalanan kami lanjutkan menuju Pulau Tabuhan. Matahari sudah condong ke arah Barat. Perasaanku jauh dari tenang, sholat dhuhur dan ashar belum tertunaikan. Mukena tidak terbawa, karena pertimbangan jelajah dua pulau tidak akan sampai sesore ini, belum lagi kondisi badan yang lengket karena air laut. Tapi aku tetap memaksakan diri menunaikan sholat jamak qasar dzuhur ashar di atas perahu dengan kondisi yang teramat minimalis. Bismillahirrahmanirrahim.

Mt Baluran, view from site of Tabuhan Island

Pulau cantik tabuhan menyuguhkan pemandangan senja yang menawan. Komposisi matahari, Gunung Raung dan Gunung Baluran yang berjajar, menaburkan warna keemasan di langit sekaligus refleksi kemilau di perairan Selat Bali. Pasir Putih Pulau Tabuhan yang dijilat ombak pantai, bening air laut, dengan sekumpulan bulu babi, membuatku enggan turun laut sekedar mencicip pemandangan bawah airnya. Aku pun lebih memilih berjalan mengitari pulau sembari menanti perahu kembali dari mengantar beberapa teman yang memilih turun ke laut.

Matahari benar-benar sudah tenggelam ketika kayuhan motor penggerak perahu beranjak dari bibir pantai Pulau Tabuhan. Seulas senyum di bibir adalah gambaran syukur atas keindahan dan kesenangan yang berhasil kami unduh dari kolaborasi trip Menjangan-Tabuhan. Terima kasih Allah, untuk segala cita dan nikmat dariMu. Selamat tinggal terumbu karang, selamat bobok ikan-ikan.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun