Berkali aku berseru kegirangan di dalam air. Seolah bercanda bersama ikan-ikan yang berenang bebas. Mengagumi keindahan terumbu karang yang rapat dengan kedalaman dasar lautnya yang tak sampai satu meter dari permukaan air. Subhanallah. Cantik. Alhamdulillahi Rabbil Aalamin. Terima kasih atas karunia mata yang mampu melihat dan diperbolehkan mengagumi keindahan ciptaanNya.
Daily alarm smartphone ku berbunyi, membuatku terjaga penuh. 03.40 am, Jumat hari pertama di Bulan Mei 2015, kami masih terjebak di kemacetan. Jalur pantura di wilayah Kraton, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur kembali lumpuh karena banjir luapan Sungai Welang. Setidaknya sudah lebih dari dua jam berlalu dan elf yang membawa kami tak kunjung bergerak maju.
Entah improvisasi Pak Supir Elf atau Tika selaku ketua rombongan, aku kurang paham. Mungkin karena terkeksisting duduk di bangku paling belakang, membuatku tidak mudah mengakses informasi dari depan. Elf kami memutar balik perjalanan. Syukurnya kami punya sedikit celah untuk berjalan mundur hingga bertemu jalur memutar. Yang aku ingat, kami melewati jalan yang berkebalikan arah menuju Warung Dowo, salah satu jalur menuju Penanjakan/ Bromo. Aku masih mengenali Pegunungan Tengger yang seolah membentuk dinding pagar alam, berbayang dalam gelap malam, berbatas langit, dan kerlip lampu berjajar di kejauhan.
Perjalanan selanjutnya terasa lancar. Probolinggo dengan view cantik Argopuro, kemudian jalan raya Paiton dengan PLTUnya, dan Kabupaten Situbondo yang seolah tak ada habisnya. Sudah hampir pukul 11.00 WIB ketika kami melewati kawasan Taman Nasional Baluran. Selanjutnya memasuki kawasan Banyuwangi, Kecamatan Wongsorejo, Desa Bengkak, elf kami berbelok di gang sebelah Balai Desa dan bertemu dengan Bangsring homestay/ basecamp perahu yang siap melayani penyeberangan pendatang menuju Pulau Menjangan dan Pulau Tabuhan.
“Pelampung wajib dikenakan bagi setiap orang yang menaiki perahu.” Kira-kira begitulah bunyi peringatan di sebuah spanduk yang sempat terbaca olehku. Tentu saja aku setuju, pelampung adalah standard safety bagi setiap orang untuk melaut, sekaliber apapun ia menghadapi lautan.
Perjalanan 30 menit mengarung Selat Bali menuju Pulau Menjangan. Gugusan awan kontras dengan warna biru langit membuat bibirku mengulum senyum. Alhamdulillah, atas ridhoNya untuk cuaca cerah. Mataku membelalak tak sabar melihat permukaan bening air laut pesisir Menjangan, ingin segera turun perahu. Dipandu oleh dua buddy dari basecamp perahu, perahu merapat di dermaga sisi Barat Pulau Menjangan, Taman Nasional Bali Barat.
Adalah kali kedua kunjunganku menapak pasir putih Menjangan. Bersama team hore terdahulu, kami mengaksesnya dari sisi Timur pulau, menyeberang dari Pelabuhan Mimpi Resort di sisi Barat Pulau Bali. Kalau datang dari arah Gilimanuk, ambil arah Singaraja, perjalanan hanya memakan waktu sekitar 20-30 menit sampai di pelabuhan. Kali ini, team yang digawangi oleh Tika, kami mencoba pencapaian Pulau Menjangan dari Banyuwangi, merapat di sisi barat pulau.
“Mas, bolehkan berenang tanpa pelampung?” Aku mencari persetujuan pihak terpercaya untuk melepas pelampung.
“Boleh, kalau bisa berenang.” Katanya. Ah senangnya, mengingat berenang di perairan pantai Gili Labak sebulan sebelumnya, mengenakan pelampung justru menyiksa pergerakan badan. Aku bergegas melepas pelampungku. Sudah ada satu atau dua orang yang mengawali terjun ke laut. Aku tak sabar menyusul, sementara teman-teman yang lain masih mengumpulkan nyali untuk turun laut.
Perahu kami berhenti pada posisi kedalaman air kisaran 10-20 meter. Dasar laut tak tampak dari penglihatanku melalui google/ masker setelah turun laut. Dan aku harus berenang sekitar 5-10 meter untuk mencapai permukaan coral di perairan yang jauh lebih dangkal dari posisi parkir perahu. Ini yang membuat teman-teman merasa ciut nyali untuk turun, karena harus melewati perairan yang dianggap dalam untuk berenang. Beruntung karena mas Buddy siap membantu teman-teman melewati tantangan ini, bersabar menuntunnya hingga sampai di perairan yang lebih dekat dengan terumbu karang. Hanya saja, kita harus ekstra hati-hati supaya kaki atau anggota badan lain tidak menyentuh terumbu karang yang dilindungi.
Pulau cantik tabuhan menyuguhkan pemandangan senja yang menawan. Komposisi matahari, Gunung Raung dan Gunung Baluran yang berjajar, menaburkan warna keemasan di langit sekaligus refleksi kemilau di perairan Selat Bali. Pasir Putih Pulau Tabuhan yang dijilat ombak pantai, bening air laut, dengan sekumpulan bulu babi, membuatku enggan turun laut sekedar mencicip pemandangan bawah airnya. Aku pun lebih memilih berjalan mengitari pulau sembari menanti perahu kembali dari mengantar beberapa teman yang memilih turun ke laut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H