Mohon tunggu...
Endah Lestariati
Endah Lestariati Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang banci kolam [renang] yang sedang butuh vitamin K; Kamuuuuuuuuuu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Secret Admirer

13 Maret 2013   10:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:51 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejenak aku mondar-mandir di koridor lantai delapan sebuah tower apartemen, sebelum memutuskan mengetuk salah satu unit yang pintunya terbuka selebar tak lebih dari lima centimeter. Kalau menurut clue dari mbak receptionist di bawah tadi, aturannya aku harus menemukan unit bernomer 832. Sayangnya satu-satunya pintu akses tanpa angka di lantai delapan itu sepertinya mengarah pada unit 832. Seorang wanita setengah baya tersenyum ramah membuka pintu dan menyambutku. Sesopan mungkin aku membalasnya. Dari name tag yang dikenakannya, aku bisa menebak, beliau ini ibu sekretaris yang sebelumnya disebut-sebut oleh mbak receptionist di lobby bawah. Bersyukur aku terlepas dari jebakan salah mengetuk pintu. "Silakan Bu, di dalam sudah ditunggu.", wanita setengah baya itu mengarahkanku untuk bergabung di sebuah meeting kecil di ruang lain yang lebih private. Sebuah unit apartemen yang telah disulap menjadi small office. Di dalam, kutemui atasanku sudah duduk berhadapan dengan seorang lelaki muda. Ku lihat keduanya tersenyum karena kedatanganku. Sejenak aktivitas presentasi Andromeda, lelaki muda itu, terhenti. Lebih tepat disebut sebagai sharing informasi ketimbang presentasi dengan posisi hadap-hadapan dalam satu meja kecil seperti ini. Andro menarik berkas dari atas kursi sampingnya ke atas pangkuan, agar aku dapat duduk. "Maaf terlambat Pak, tadi harus nunggu giliran mobil untuk mengantar saya ke sini.", aku sedikit beralasan. Atasanku mengangguk dan memaklumi kebiasaan klise soal ketersediaan mobil untuk dinas luar kantor kami. Andro, lelaki muda di sampingku ini, melanjutkan presentasi konsepnya. Kubuka gulungan hardcopy masterplan ukuran A3 yang sudah kusiapkan dari kantor, mencoba menyambungkan paparan Andro dengan gambar existingnya. Mencerna setiap pola zoning yang diusulkan dengan potensi apa yang ada di lapangan. Pria muda yang kukenal sejak belasan tahun lalu ini, sungguh telah menjelma menjadi praktisi profesional. Cerdas dan Pintar. Andro tidak hanya mengemukakan latar belakang perencanaan melulu pada ilmu design dan arsitektur, tetapi juga menampilkan kajian yang matang untuk acuan pemasaran. Great applause! Tentu saja kekaguman yang kusimpan behave di dalam hati. Jaga Image. "Konsep penataan unit-unit seperti ini atas dasar pertimbangan apa?", deg! Atasanku bertanya pada Andro, tapi justru aku yang kebat-kebit, takut kalau-kalau design Andro dinilai cemen di mata Bapak Direktur. "Sengaja usulan ini tidak saya buat random penataannya, lebih karena pertimbangan komersial. Untuk unit-unit yang lebih dekat persimpangan, logikanya akan lebih ramai, secara aksesibilitas juga lebih terjangkau, otomatis bisa dijual lebih mahal. Sayang aja kalau diset dengan lebar atau luasan bangunan kecil." Andro tentu saja sudah jauh lebih siap dengan jawaban matang. Kulirik pria muda penuh pesona radius lima centimeter di sebelah kananku, mengapresiasi keantusiasmenya mengerjakan proyek ini. Gubahan massa yang begitu realistis muncul dalam balutan image hasil render yang sangat jauh dari kesan kacangan. Olahan lanscape yang menarik hingga memunculkan karakteristik vegetasi untuk mengusung konsep green design. Ah, semoga bukan hanya sekedar latah, tapi memang sedikit upaya untuk penghormatan terhadap lingkungan. "Permai..?" Bapak Direktur menyebut namaku, memberi kesempatan aku mengemukakan pendapat. "Kalau saya hanya ingin memastikan batas area perencanaan. Di sisi hook cluster ini, harusnya kavling nomer ini diikutkan saja di commercial area. Karena area koridor ini habis termakan sempadan jalan kalau tidak ditambah dengan luasan kavling tersebut." aku berargumen sambil membubuhkan check list pada gambar existing site plan kavling bernomer 3. "Ya. Memang harusnya diikutkan. Akan lebih menguntungkan secara finansial juga." Bapak Direktur mengamini pendapatku. "So far oke." lanjutnya, "Tapi perasaan saya masih mengganjal kalo area yang lebih dekat waterfront diolah sebagai area penunjang.", atasanku mengemukakan pendapat bernada keberatan. "Iya Pak, sebenarnya kita bisa akses waterfront dari area clubhouse ini. Bisa dikembangkan dengan extend dek kayu existing tepi kolam menjadi dermaga. Sementara area penunjang yang saya tempatkan di sini, karena keterbatasan space. Bisa saja saya tarik ke bangunan utama, tapi secara otomatis kita akan mengurangi lantai tipikalnya.", pembelaan Andromeda tak kalah menarik, berbicara sambil memainkan stylus membentuk lingkaran di atas produk grafis untuk menjelaskan maksudnya. Aku kembali hanya ternganga mengagumi sikap preventif-nya menyiapkan jawaban. Tidak heran jika selama dua minggu terakhir Andro mengaku kurang tidur. Sekilas kulihat wajahnya kurang segar, rambut hampir gondrong dan mata memerah. Persis teman-teman kebanyakan di zaman mahasiswa dulu yang bersahabat dengan lembur semalam suntuk. Style penampilannya sendiri tidak terlalu formal, cenderung casual layaknya praktisi yang bergelut di dunia perancangan tanpa meninggalkan kesan sopan, mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung hingga siku. Apapun baju yang dikenakan, format default eligible sudah terlanjur melekat padanya. Kecuali beberapa helai uban yang apabila kita jeli memperhatikan rambutnya, terasa agak enggak banget di usianya yang berani kutebak masih di ambang early thirty. Pertanda pria pengidap workaholic akut. "Kamu kerjakan semuanya sendirian And?" Tanyaku setelah kami turun menuju lobby. Andro telah menuntaskan paparannya di depan atasanku, mengajakku sejenak melepas penat beban pressingnya di ruang tunggu lobby, duduk mengobrol ringan layaknya dua orang teman. "Iya, buat konsep aku biasa kerjakan sendiri. Ada team sih, tapi masih concern di proyek lain" Andro mengkonfirmasi. "Serender-rendernya?" Tanyaku antusias. "He em. Sempit banget ini spacenya, sementara sempadan bangunan kena di dua sisi karena sitenya hook plus masih kena sempadan sungai juga di sisi selatan." Andro seolah mengulang sesi 'curhatan' tentang tantangannya memaksimalkan potensi site. "Ya kan udah bener pola pikirnya nggak melanggar peraturan bangunan setempat". Ngek!!! Tanggapanku hanya bisa cetek sebatas rule doang. Mati kutu depan mas default eligible Andromeda. "Biasanya kekgini pancingan, sejauh ini kan aku masih meraba aja" Andro melanjutkan curhatnya. "Ho oh, si bapak juga mikir lah, nanti pasti muncul ide baru, masukan darinya lagi, termasuk data pendekatan untuk penjualannya nanti, jadi rincian jumlah asumsi kebutuhan ruangnya akan lebih pasti." Aku susah payah menguasai keadaan untuk tidak turun derajat kepintaran karena imbas jeratan pesonanya. Duh! The Power Of Pesona! "Nih, sampai berapa kali corat coret ganti alur sirkulasi, mana yang paling efektif nggak buang space." Andro memperlihatkan lembaran kertas HVS dengan beberapa layout lengkap pewarnaan untuk memudahkan kajian. Aku membolak balik berkasnya, hingga sampai pada lembar print out sample perspektif. "Maut banget 3D nya, padahal baru konsep." Tak kuasa aku menahan kekaguman hasil kerja “Si Mas Default Eligible”. "Semacam pencitraan. Hahaha!" Andromeda tertawa, lalu lanjutnya, "Atasanmu kan baru pertama mau pakai designku. Harus niat dong. Aku malah berterima kasih karena kamu yang menyeretku untuk kerjakan proyek ini." "Kebetulan aja ketemu jalan kerjasamanya, And. Kalau memang bisa menuai manfaat untuk dua pihak kenapa enggak?" Kuusahakan untuk menimpali jawaban seobjektif mungkin. Terbayang proses design sejak sebulan belakangan, ketika aku mencoba mengajukan biro konsultan Andromeda di hadapan atasanku untuk diserahi proyek kawasan komersial ini. "Pokoknya kalau nanti deal, kamu mesti siap aku seret ngerjain ini juga ya?" Andro bercanda seolah mengancamku. Tertawa ringan. "Siaaaaaaapppp...!" Tak kuasa aku menolak tawaran untuk lebih sering berkoordinasi dengannya. "Beneran ya? Dibantuin?" Andro meyakinkan pernyataanku. Terkesan merajuk. "Mau banget lah, sekalian nyuri ilmu kamu ini, hahaha" kelakarku. Andro tertawa. Jangankan bantuin, jadi semacam drafter freelancenya pun aku mau. Syukur-syukur naik kasta jadi drafter hatinya. Eh? Drafter hatinya? Ah tentu saja hanya sebatas percakapan virtual dalam hati saja, mengimbasku mengulum senyuman di luar kesadaran. Langit biru di ruang luar membawa cuaca cerah. Secerah percakapan kami di ruang lobby ini tentang apa saja. *** photograph by @endah_banged

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun