Ia terbujur kaku. Memucat tanpa bau menyengat. Barangkali karena suhu di ketinggian ribuan mdpl ini cukup dingin dan membekukan, mengesampingkan aroma tak sedap. Beberapa dari kami hati-hati mendekat, mencoba mencari tahu waktu dan penyebab kematian. [caption id="attachment_288415" align="aligncenter" width="491" caption="the peak moment"][/caption]
Titik tinggi ini dinamakan Ogal Agil, 90% tersusun oleh bebatuan yang bergoyang apabila tertiup angin. Pagi hari 19 Mei 2013, kami berenam, aku, Fe, Kumi, Aris, Ijef dan Doni, penuh syukur ketika berhasil menginjakkan kaki di Puncak Gunung Arjuno, UPT Tahura R. Soerjo Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur. Angin terasa dingin, bertiup kencang, tetapi matahari mengimbang ironi penuh kehangatan. Sejuk. Biru langit membentang seluas mata memandang dalam 360 derajat. Semua begitu antusias mencoba mengenali daerah di bawah sana, atau puncak-puncak tetangga yang cukup iconic; Mahameru beserta gugusan pegunungan Tengger, Welirang yang berdiri gagah 'hanya' sepelemparan pandang, dan Penanggungan yang seolah menjadi miniatur Semeru. Keindahan kontur alam yang tak henti membuat kami berucap dalam nada syukur dan tasbih. Merah Putih berkibar, menebalkan nasionalisme setiap yang melihatnya. Sunrise memang enggan menunggu kedatangan kami hingga puncak (karena kami sempat tersesat beberapa saat), namun berkas sinarnya begitu indah dinikmati dari punggungan bukit di perjalanan.
[caption id="attachment_288416" align="aligncenter" width="576" caption="Welirang, dari sepelemparan pandang Arjuno"]
Ini bukan kesempatan pertamaku mendaki gunung, tetapi bertemu sesosok mayat di titik 3339 mdpl ini adalah pertama kalinya, sekaligus menjadi pengalaman mendaki tak terlupakan. Fe, yang paling berkompeten memeriksa karena dunia kebidanan menjadi profesinya, mengamati dan sebisa mungkin menjaga keutuhan segala sesuatu di cerukan bebatuan sebagai TKP. Setelah beberapa saat, kami memutuskan turun dari puncak, meninggalkan mayat sendirian karena tidak capable mengevakuasinya, di samping tentu saja skill dan peralatan kami jauh dari taraf memadai untuk membawa mayat turun gunung.
[caption id="attachment_288418" align="aligncenter" width="614" caption="Mahameru dari Puncak Ogal Agil Arjuno"]
Berbagai dugaan terlintas di pikiran kami; kenapa ia sendirian? pembunuhankah? Kecelakaan? Atau alasan klise hypothermia? Kami lebih banyak terdiam di perjalanan turun menuju Pos Pondok Lirang, camp terakhir tenda team kami didirikan sebelum summit attack. Kami informasikan penemuan mayat di puncak ini ketika bertemu dua orang pendaki wanadri, mas Irfan dan mas Doni. Dari keduanya kami peroleh contact person posko pendakian untuk melaporkan penemuan mayat ini supaya dapat segera ditindaklanjuti.
Namanya Eko Wahyudi, pendaki dari Depok yang berangkat bersama teamnya sebanyak 13 orang beberapa hari sebelum teamku berangkat. Karena alasan cuaca, mereka mengurungkan niat untuk mencapai puncak dan memilih nrimo bertenda di area kebun teh lawang, jalur yang berbeda dengan pendakian Tretes yang dipilih teamku. Entah apa yang membuat Eko meninggalkan rombongan, berpamitan dengan alasan berfoto di sekitar area kebun teh, namun justru memutuskan muncak sendirian dengan bekal yang seadanya. Hypothermia dan kehabisan bekal dinyatakan sebagai penyebab kematiannya, setidaknya begitulah informasi yang belakangan dapat kami kumpulkan. Team SAR pun sudah bergerak dari posko pendakian Lawang setelah menerima berita penemuan mayat.
Belakangan kegiatan outdoor dan pendakian begitu diminati, gunung dan taman nasional sebagai opsi destinasi wisata Indonesia Travel, seolah menjadi happening lifestyle seiring dengan maraknya kegiatan backpackering. Orang mau bersusah payah demi mendaki gunung, sebagian karena jenuh dengan rutinitas, mencoba hal-hal baru yang tidak mainstream, atau boleh jadi memang karena tuntutan profesi. Untukku pribadi, mendaki tidak melulu tentang kepuasan. Mendaki adalah bentuk pembelajaran. Bukan gunung yang ditakhlukan, tetapi justru kesabaran yang dipertahankan ketika dihimpit sempit dan lelah, menempa diri berjuang mencapai titik yang lebih tinggi selangkah demi selangkah, mengesampingkan ego pribadi demi lebih memilih safety first dan kepentingan bersama. Bahwa kembali pulang dengan selamat setelah pendakian adalah jauh lebih membanggakan daripada harus dikabarkan tinggal nama dari atas ketinggian. Bisa mengenang perjalanan dan berbagi pengalaman yang barangkali bermanfaat untuk orang lain adalah menyenangkan ketimbang menjadi objek berita duka.
Mendaki gunung bukan sebuah kegiatan sepele tanpa resiko, apalagi mengingat belakangan banyak beredar berita pendaki hilang dan bahkan meninggal bertaruh nyawa dalam perjalanan menuju puncak. Tidak hanya Eko, sebut saja Shizuko Rizmadhani (15) dan Endang Hidayat (53), keduanya meninggal dalam pendakian gunung yang berbeda (Gede Pangrango dan Semeru) hanya berselang dalam hitungan hari di penghujung tahun 2013. Belajar dari kejadian Eko, Shizuko dan Endang, kegiatan mendaki tidak dijadikan momok untuk ditakuti, hanya perlu berhati-hati dan meningkatkan kewaspadaan lebih.
Mendaki di musim hujan tentu saja harus bisa lebih survive terhadap cuaca. Disamping raincoat untuk badan, raincover untuk ransel, perlu diperhatikan 'ritual' packing barang di dalam ransel. Ada baiknya meletakkan barang-barang bawaan di dalam drybag sebelum memasukkan dalam ransel meskipun sudah terlindung oleh cover. Beberapa raincover ransel tetap tembus air dalam kondisi hujan dengan intensitas tinggi dan berlangsung lama. Bisa juga membeli plastik besar (trash bag), atau yang lebih sederhana lagi menggunakan plastik bekas belanja supermarket. Usahakan pakaian ganti dan sleeping bag terhindar dari air supaya ketika pakaian yang kita kenakan di lapangan terlanjur basah, kita bisa menghangatkan diri di dalam tenda dengan baju kering. Shizuko yang meninggal kedinginan bisa jadi karena mencoba bertahan dengan pakaian basah sementara pakaian ganti maupun kantung tidurnya tembus oleh air hujan selama perjalanan pendakian akibat kesalahan packing. Lain halnya dengan Eko, baju ganti dan perbekalannya seolah sengaja ditinggal di perkemahan yang jaraknya terlalu jauh dari puncak, sementara ia harus berjibaku dengan cuaca dingin terlalu lama tanpa pelindung. Aku sendiri lebih sering membawa jas hujan dobel, satu set untuk perjalanan selama pendakian (model baju) dan satu lagi model kelelawar/ ponco yang disamping berguna untuk flysheet, penutup atau alas ransel apabila harus diletakkan di luar tenda ketika quota tenda mencapai maksimal menampung orang, juga berguna sebagai tenda darurat/ bivak ketika menemui badai (misalnya dalam perjalanan summit attack).
[caption id="attachment_288614" align="aligncenter" width="614" caption="kesaktian ponco untuk tenda darurat/ bivak"]
Pastikan kondisi fisik kita cukup sehat untuk melakukan pendakian. Beberapa pihak posko pendakian seperti TNBTS cukup ketat dan sudah mensyaratkan surat keterangan sehat bagi setiap pendaki. Ada baiknya melakukan medical check up untuk para pendaki yang berumur di atas 40 tahun. Olah raga rutin sekedar jogging sebelum mendaki pun cukup menjadi bekal untuk menjaga ritme perjalanan supaya tidak cepat lelah. Obat-obatan pribadi sebaiknya dipersiapkan meskipun tidak punya riwayat sakit tertentu untuk berjaga-jaga dari kecelakaan kecil seperti terkilir, tersayat duri, memar dan sebagainya.
[caption id="attachment_288419" align="aligncenter" width="614" caption="episode yang selalu menggantung rindu untuk mendaki"]
Gear mendaki. Usahakan peralatan kita mencukupi untuk naik gunung; carrier, tenda, matras dan sleeping bag adalah wajib hukumnya. Tidak jarang dijumpai pendaki nekat yang sekedar membawa diri tanpa peralatan dan berakhir dengan tewas kedinginan. Matras terkesan sepele hanya mendukung kenyamanan, tetapi lebih jauh dari itu, cukup membantu fungsi alas tenda yang biasanya masih tembus oleh basah tanah. Sementara sleeping bag adalah pelengkapan lindung utama pendaki terhadap hawa dingin gunung yang cenderung ekstrim. Peralatan memasak seperti kompor dan nesting sebaiknya diadakan karena hampir semua gunung tidak terjangkau oleh delivery service makanan, atau menyediakan fasilitas warung makan berjajar. Lebih dari itu sesi memasak di atas ketinggian dan makan bersama dalam satu tempat selalu menjadi momen istimewa untuk dikenang. Headlamp atau penerangan, bisa dikondisikan dengan senter biasa, tetapi karena kegiatan mendaki lebih mengutamakan dua tangan kita terbebas dari bawaan (supaya bisa berpegangan pada akar pohon, tanaman, batu dan sebagainya apabila melalui medan halang rintang), headlamp akan sangat membantu berjalan dalam kondisi gelap dan termasuk dalam list peralatan sakti. Gunakan alas kaki yang cukup kuat berada di medan sulit. Sandal jepit tentu saja tidak recommanded meski beberapa kali kutemui teman-teman pendaki tingkat pendekar cukup nyaman mengenakannya. Minimal kenakan sandal gunung, atau jika ada lebih baik menggunakan sepatu gunung untuk melindungi kaki dari gesekan dengan ilalang maupun medan berbatu. Gaiter, tracking pole dan sederet gear mendaki yang bermunculan diciptakan, bukan untuk gegayaan tetapi untuk memudahkan manusia bertahan di alam liar.
Management logistik. Pendaki pemula biasanya punya bayangan kekhawatiran terhadap kondisi kelaparan di alam liar. Bayangkan jika setiap personal membawa bekal dan memikirkan jumlah berlebih untuk anggota lain, akibatnya bekal membludak, berlebihan dan justru memberatkan beban selama perjalanan. Ada baiknya mengadakan mapping bekal dan peralatan sebelum mendaki, termasuk jumlah air dan jenis asupan energi yang akan kita konsumsi selama pendakian supaya management logistik kita tepat, tidak berlebih, tidak juga kekurangan. Kita bisa manfaatkan potensi alam gunung yang kita daki, perhatikan sumber air dan vegetasi yang bisa dikonsumsi untuk sayuran (selada air atau jenis pakis-pakisan misalnya). Apabila peralatan maupun perbekalan berlebihan, bisa dititipkan di posko pendakian.
Buddy system. Jangan pernah mendaki sendirian. Usahakan tetap ada minimal satu orang yang menemani apabila terpaksa harus nyempal dari rombongan untuk urusan se-private apapun, termasuk kebutuhan poop di tengah hutan, tidak peduli laki-laki atau perempuan. Bukan perkara berani atau cemen, tapi karena kita tidak boleh menyepelekan kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Sebisa mungkin satu team tetap bersama-sama.
Taati peraturan yang berlaku. Standardnya kita tidak diperkenankan mengambil apa yang ada di gunung (memetik edelweis adalah haram hukumnya menurut peraturan karena ancaman kepunahan), tidak merusak alam (termasuk menorehkan graffiti), menjaga etika kesopanan berbicara dan menjauhkan hawa kesombongan sebagai penghargaan terhadap lingkungan, meminimalisir penggunaan bahan kimia, serta tidak keluar dari jalur pendakian resmi, kecuali memang berkompeten mengadakan kegiatan buka jalur.
Untukku pribadi, menjadi kebanggaan tersendiri memiliki tanah air yang berlimpah gunung-gunung dengan pesona, keindahan alam dan karakteristiknya masing-masing. Setiap kesempatan mendakinya adalah sebuah ungkapan rasa syukur yang semakin dalam. Meniti puncaknya adalah bonus lebih untuk menikmati pemandangan. Semoga setiap langkah yang ditempuh selalu menuai manfaat dan ridho-Nya. Bentuk kebahagiaan yang semakin lengkap karena selalu ada janji persahabatan di setiap jengkal lereng dan punggungan bukit, seperti janji Arjuno yang mengajarkanku untuk memaknai hidup lebih tinggi.
** foto koleksi penulis dan koleksi teman seperpendakian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H