Mohon tunggu...
Endah Lestariati
Endah Lestariati Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang banci kolam [renang] yang sedang butuh vitamin K; Kamuuuuuuuuuu

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Bromo, Gaung Keindahan yang Tiada Kunjung Habis

26 Oktober 2013   23:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:59 881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_274321" align="alignnone" width="614" caption="Namanya Bromo; terdengar sangat priyayi"][/caption]

Ini entah perjalanan serupa yang keberapa.  Melintas medan yang sama. Keindahan yang sama tetapi tiada kunjung membosankan. Bromo. Tengger. Puncak Penanjakan. Segara Wedi.  Cemoro Lawang. Dan beberapa spot familiar yang menjadi icon kawasan ini.

Niat kali ini ingin sekedar numpang guling-guling menikmati udara dingin di rumdin teamnya Fe. Janji beberapa bulan lalu untuk menyambangnya, baru kesampaian saat injury time, ketika yang bersangkutan sudah berada pada sisa masa tugas sebagai Bidan Pencerah Nusantara di Desa Tosari, salah satu sudut kaki Tengger.  Dan niat gegulingan itu harus sirna karena dua orang teman kami; Ijef dan Inod menyatakan keikutsertaannya mengunjungi Tosari, merembet pada kegiatan memburu matahari terbit di Puncak Penanjakan, tergerak mencumbu segorowedi, dan lambaian trek Bromo yang menggoda untuk didaki.

Sabtu 28 September 2013 di hari janjian, Fe sebagai tuan rumah masih berurusan di Kota Malang. Duo Ijef dan Inod yang kebetulan berdomisili di Malang menyamakan jadwal menuju Tosari berbarengan dengan Fe melalui jalur Nongkojajar. Aku cukup pede mengeset keberangkatan via Warung Dowo, Pasuruan, dengan pertimbangan menyesuaikan waktu keberangkatan rombongan dari Malang dan langsung bertemu di Pasar Tosari. Belakangan baru kuperoleh informasi bahwa melintas Warung Dowo-Puspo-Tosari di atas waktu Magrib adalah rawan kriminalitas. Lewat pukul 16.00 WIB kucoba berpacu dengan waktu, berjibaku dengan kemacetan sepanjang Jalan A Yani Surabaya, jalan protokol sepanjang Sidoarjo hingga Porong, berharap mencapai Kota Pasuruan sebelum pukul 17.00 WIB. Tentu saja aku gagal. Adzan magrib berkumandang tepat ketika aku dihadapkan kebimbangan untuk membelokkan motor di Pertigaan Warung Dowo. Entah berapa belas panggilan tak terjawab dari team Malang yang tak sengaja kuabaikan sepanjang perjalanan, intinya mereka mencemaskan keadaanku apabila nekat berkendara sendirian melintas jalur rawan.

Seorang ibu muda berjualan bensin eceran di pertigaan Warung Dowo berbaik hati memberikan solusi untukku melintas jalur Wonorejo hingga sampai di Purwodadi, dimana aku bisa bergabung dengan teman-teman yang berangkat dari Malang. Sedikit berliku jika diakumulasi dengan perjalananku dari Surabaya. Akan lebih efektif apabila dari Surabaya aku menuju arah Malang untuk sampai di Purwodadi ketimbang berbelok ke arah Timur menuju Pasuruan kota. Tapi kemanapun perjalanannya, safety first selalu menjadi poin utama untuk selalu diingat. Kuarahkan laju belalang tempur biru melalui jalur Pasuruan-Malang untuk bertemu di pertigaan menuju Nongkojajar. Meski jalur Nongkojajar cukup sepi dan tetap berpotensi rawan kriminalitas, setidaknya melalui bersama teman-teman adalah pilihan terbaik kala itu. Dan benar saja, selepas lega dan haru berkumpul dengan teman-teman dari Malang dan berbekal kalimat sakti basmalah, kami melintas jalur sempit, jalan berlubang, menanjak, sepi, hutan, tanpa LPJU.  Sekali waktu menembus kerumunan warga yang menonton panggung dangdut koplo hingga jalan-jalan aspal, membunyikan klakson untuk keamanan (dan barangkali kode khusus) di tempat-tempat tertentu yang bertanda terompet. Sudah lama sebenarnya ingin menjajal jalur ini, sayangnya kesempatan untukku datang ketika melintas di malam hari, tanpa bonus view, hanya pacuan adrenalin di antara rasa khawatir yang enggan pergi sepenuhnya.

Perjalanan ini terasa begitu lama, melewati desa, jalan berkontur, kebun kopi dan entah apalagi. Fe yang sudah berpindah boncengan menemaniku tidak banyak bicara, hanya sesekali dia memberikan penjelasan seperlunya, padahal aku paling suka diocehin banyak hal remeh temeh tentang potensi lokal, keadaan masyarakat setempat dan sebagainya. Kupikir kami sudah hampir sampai ketika jalur menanjak ekstrim dengan belasan kelokan. Aku keliru. Setelah berada di titik tertinggi desa, jalur kami belum juga berhenti, bahkan justru masih harus melewati kontur tajam menurun dan tetap berliku. Jalur PHP, pemberi harapan palsu, kalau aku boleh meminjam istilah Ijef.

Peradaban berupa warung-warung tutup yang berjajar dan berpola pasar meyakinkanku bahwa kami sudah hampir sampai ketika papan informasi bertuliskan huruf Tosari terpampang. Alhamdulillah, tak jauh dari sini, rumdin Fe yang berada di kompleks puskesmas Tosari, dengan lapangan berumput sangat luas sudah terhampar di depan mata. Malam sudah beranjak larut.

Adzan subuh terdengar sayup berkumandang. Ijef dan Inod yang menginap di homestay terdekat sudah nyamper untuk shalat berjamaah dan sesegera mungkin berangkat memburu matahari terbit. Belalang tempur biruku mulai sekarat rantainya, terdengar bunyi-bunyi aneh sepanjang perjalanan naik turun semalam, sangat tidak available melintas medan tanjakan bertubi, terpaksa kuistirahatkan di rumah dinas. Sementara kami berempat memulai perjalanan dengan motor Ijef dan Inod yang masing-masing berboncengan, kompensasinya harus tetap kembali ke rumdin untuk mengambil sepeda motorku dan barang-barang yang tidak terbawa selama perjalanan.

[caption id="attachment_274322" align="alignnone" width="614" caption="jejak pasir berbisik berselimut kabut tipis"]

13828005661884564633
13828005661884564633
[/caption]

Barisan mobil jeep sepanjang lintasan lebih sering menyebabkan macet menyulitkan kami menuju Bukit Kingkong, spot yang kami tunjuk sebagai tempat menikmati suasana matahari terbit mengingat Point View Penanjakan sudah pasti akan dipenuhi manusia. Tidak terlalu terlambat, hanya saja kami melewatkan panorama warna langit sesaat sebelum matahari terbit.

[caption id="attachment_274326" align="aligncenter" width="560" caption="Dataran Cemoro Lawang terbias matahari pagi menciptakan bayang-bayang terpanjang"]

1382801912885288255
1382801912885288255
[/caption]

Hamparan kaldera Tengger memukau sejauh mata memandang. Bersama surya yang perlahan membawa kehangatan, menyibak dingin kabut, menerangi laut pasir, biasnya membentuk shading potongan dataran Cemoro Lawang. Kepulan asap bromo melukiskan kekuatan panas bumi. Simetrisnya gunung batok seolah penyempurna tetangganya yang terkoyak oleh erupsi, kontur-kontur menggambarkan batas gelap-terang yang ekstrim, dan tentu saja eksistensi sang Meru yang menjulang gagah menggambarkan segenap keindahan. Belum lagi pucuk-pucuk daratan yang menyembul di antara awan; Gn. Argopuro di 'punggungi' Gn. Lamongan, duet Arjuno-Welirang yang selalu kompak dan tak jauh dari miniatur mahameru; Gn. Penanggungan.

[caption id="attachment_274330" align="aligncenter" width="614" caption="Gn Lamongan dibayangi Gn Argopuro"]

13828030751502139379
13828030751502139379
[/caption]

[caption id="attachment_274337" align="aligncenter" width="574" caption="kekompakan Arjuno-Welirang diikuti Penanggungan"]

1382803978585224091
1382803978585224091
[/caption]

Ijef dan Inod mengajak kami menuruni jalur Penanjakan menuju Segorowedi. Jalur yang sudah beberapa kali kulalui dengan sepeda motor tetapi tidak mengurangi tingkat keekstrimannya. Hanya mental yang terasa semakin tebal teruji. Memasuki Segoro Wedi menjadi tantangan ekstrim berikutnya, tentu saja pasirnya sangat labil di puncak musim kemarau seperti ini, di samping debu yang beterbangan berpotensi menyebabkan ISPA. Hal ini menjadi lahan rejeki tersendiri bagi penduduk lokal, beberapa sudah bersiap menghadang pengunjung yang membutuhkan masker untuk penutup hidung dan mulut. Lambaian puncak Bromo sudah mempengarui pikiran kami, setidaknya untuk segera menuntaskan rindu mendaki. Berpuluh kali selip, beberapa kali harus rela turun dari boncengan karena sepeda motor meraung kesakitan, dan sekali terbanting jatuh mewarnai perjalanan melintas permukaan kaldera. Butuh waktu yang cukup lama dengan jarak tempuh yang sebenarnya tidak seberapa  untuk sampai di tempat parkir sekaligus start pendakian Gn. Bromo.

[caption id="attachment_274324" align="alignnone" width="614" caption="acting balapan di laut pasir"]

13828012081671593256
13828012081671593256
[/caption]

Turun dari Bromo, sepertinya kembali pada lintasan jalur laut pasir terasa seperti mimpi buruk. Belum lagi harus berjuang di jalur menanjak terjal yang sudah pasti akan menguras laju motor.

"Motor standard nggak akan kuat sepenuhnya melaluinya. Aku pernah mencobanya. Jangankan untuk berboncengan, beberapa kali harus turun motor, menuntunnya hingga sampai pada tempat yang sedikit agak bersahabat untuk kembali menarik gas", jauh sebelum turun, aku sudah membagi informasi ini kepada ketiga temanku, tapi toh ketika posisi kami masih di area Penanjakan, Ijef dan Inod masih bersikeras ingin mencobanya.

Pilihan kemudian jatuh pada arah Cemoro Lawang; Desa Terakhir sebelum memasuki Kaldera yang menjadi muara jalur dari Probolinggo. Meski kami masih tetap berjibaku dengan medan pasir, setidaknya jalur menanjaknya masih sangat bersahabat untuk dilalui. Sebagai gantinya, kami harus melalui jarak berputar yang sangat jauh untuk kembali ke Tosari; jalur Ngadisari-Sukapura-Lumbang-Tongas-Pasuruan-Tosari.

Ijef dan Inod tergoda untuk mampir di air terjun Madakaripura; dari pasar Lumbang, kami membelokkan laju sepeda motor ke kiri mengikuti papan petunjuk arah hingga sampai di pelataran parkir dengan icon patung Mahapatih Gajahmada. Arlojiku sudah menunjuk waktu terlampau siang; pukul 13.30 WIB ketika memasuki area Madakaripura.

[caption id="attachment_274338" align="aligncenter" width="413" caption="Berlatar Madakaripura; team kami berempat, termasuk aku di belakang kamera"]

1382806011971302351
1382806011971302351
[/caption]

Pukul 16.00 WIB kami selesai dengan segala kegiatan di area Madakaripura, termasuk perjalanan trekking pulang pergi dan ganti baju karena harus basah oleh air terjun abadi serta menunaikan kewajiban sholat. Dua motor kami kembali melaju di jalur Lumbang-Tongas. Dari pertigaan Tongas belok kiri menuju arah Surabaya, melintas jalur Probolinggo-Pasuruan. Memasuki Kota Pasuruan, mengambil arah Malang untuk menemukan pertigaan Warung Dowo. Sejenak kami menghentikan laju sepeda motor untuk menunaikan Sholat Magrib. Kemudian dengan berbekal kekuatan doa, menembus jalur gelap naik-berkelok tajam  menuju Tosari.  Dari segi kualitas, jalur ini jauh lebih mulus tanpa lubang maupun kerusakan dibandingkan dengan jalur Nongkojajar. Aku tak henti melafalkan dzikir memohon keselamatan kami. Jalur yang semalam kuhindari karena berpotensi rawan, kali ini akan kami lalui bersama-sama. Jarak antar desa yang terhubung oleh pekat hutan, tanpa penerangan jalan umum yang berarti ditambah dengan hawa dingin yang semakin menusuk, semakin merapatkan barisan doaku memohon kawelasan Gusti. Aku tau Dia meridhoi perjalanan ini ketika penuh lega kulafalkan hamdalah memasuki gapura bertuliskan Tosari dengan huruf besar. Malam ini aku menego teman-teman team Fe untuk kembali menumpang menginap, sementara esok pagi buta, berbarengan dengan suku Tengger memulai hari, menyibak dingin kabut, aku sudah harus melintas jalur Tosari-Pasuruan kembali pulang ke Kota Pahlawan, menapak hari Senin penuh semangat.

**all photograph capturing by writer

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun