Hamparan kaldera Tengger memukau sejauh mata memandang. Bersama surya yang perlahan membawa kehangatan, menyibak dingin kabut, menerangi laut pasir, biasnya membentuk shading potongan dataran Cemoro Lawang. Kepulan asap bromo melukiskan kekuatan panas bumi. Simetrisnya gunung batok seolah penyempurna tetangganya yang terkoyak oleh erupsi, kontur-kontur menggambarkan batas gelap-terang yang ekstrim, dan tentu saja eksistensi sang Meru yang menjulang gagah menggambarkan segenap keindahan. Belum lagi pucuk-pucuk daratan yang menyembul di antara awan; Gn. Argopuro di 'punggungi' Gn. Lamongan, duet Arjuno-Welirang yang selalu kompak dan tak jauh dari miniatur mahameru; Gn. Penanggungan.
[caption id="attachment_274330" align="aligncenter" width="614" caption="Gn Lamongan dibayangi Gn Argopuro"]
[caption id="attachment_274337" align="aligncenter" width="574" caption="kekompakan Arjuno-Welirang diikuti Penanggungan"]
Ijef dan Inod mengajak kami menuruni jalur Penanjakan menuju Segorowedi. Jalur yang sudah beberapa kali kulalui dengan sepeda motor tetapi tidak mengurangi tingkat keekstrimannya. Hanya mental yang terasa semakin tebal teruji. Memasuki Segoro Wedi menjadi tantangan ekstrim berikutnya, tentu saja pasirnya sangat labil di puncak musim kemarau seperti ini, di samping debu yang beterbangan berpotensi menyebabkan ISPA. Hal ini menjadi lahan rejeki tersendiri bagi penduduk lokal, beberapa sudah bersiap menghadang pengunjung yang membutuhkan masker untuk penutup hidung dan mulut. Lambaian puncak Bromo sudah mempengarui pikiran kami, setidaknya untuk segera menuntaskan rindu mendaki. Berpuluh kali selip, beberapa kali harus rela turun dari boncengan karena sepeda motor meraung kesakitan, dan sekali terbanting jatuh mewarnai perjalanan melintas permukaan kaldera. Butuh waktu yang cukup lama dengan jarak tempuh yang sebenarnya tidak seberapa untuk sampai di tempat parkir sekaligus start pendakian Gn. Bromo.
[caption id="attachment_274324" align="alignnone" width="614" caption="acting balapan di laut pasir"]
Turun dari Bromo, sepertinya kembali pada lintasan jalur laut pasir terasa seperti mimpi buruk. Belum lagi harus berjuang di jalur menanjak terjal yang sudah pasti akan menguras laju motor.
"Motor standard nggak akan kuat sepenuhnya melaluinya. Aku pernah mencobanya. Jangankan untuk berboncengan, beberapa kali harus turun motor, menuntunnya hingga sampai pada tempat yang sedikit agak bersahabat untuk kembali menarik gas", jauh sebelum turun, aku sudah membagi informasi ini kepada ketiga temanku, tapi toh ketika posisi kami masih di area Penanjakan, Ijef dan Inod masih bersikeras ingin mencobanya.
Pilihan kemudian jatuh pada arah Cemoro Lawang; Desa Terakhir sebelum memasuki Kaldera yang menjadi muara jalur dari Probolinggo. Meski kami masih tetap berjibaku dengan medan pasir, setidaknya jalur menanjaknya masih sangat bersahabat untuk dilalui. Sebagai gantinya, kami harus melalui jarak berputar yang sangat jauh untuk kembali ke Tosari; jalur Ngadisari-Sukapura-Lumbang-Tongas-Pasuruan-Tosari.
Ijef dan Inod tergoda untuk mampir di air terjun Madakaripura; dari pasar Lumbang, kami membelokkan laju sepeda motor ke kiri mengikuti papan petunjuk arah hingga sampai di pelataran parkir dengan icon patung Mahapatih Gajahmada. Arlojiku sudah menunjuk waktu terlampau siang; pukul 13.30 WIB ketika memasuki area Madakaripura.
[caption id="attachment_274338" align="aligncenter" width="413" caption="Berlatar Madakaripura; team kami berempat, termasuk aku di belakang kamera"]
Pukul 16.00 WIB kami selesai dengan segala kegiatan di area Madakaripura, termasuk perjalanan trekking pulang pergi dan ganti baju karena harus basah oleh air terjun abadi serta menunaikan kewajiban sholat. Dua motor kami kembali melaju di jalur Lumbang-Tongas. Dari pertigaan Tongas belok kiri menuju arah Surabaya, melintas jalur Probolinggo-Pasuruan. Memasuki Kota Pasuruan, mengambil arah Malang untuk menemukan pertigaan Warung Dowo. Sejenak kami menghentikan laju sepeda motor untuk menunaikan Sholat Magrib. Kemudian dengan berbekal kekuatan doa, menembus jalur gelap naik-berkelok tajam menuju Tosari. Dari segi kualitas, jalur ini jauh lebih mulus tanpa lubang maupun kerusakan dibandingkan dengan jalur Nongkojajar. Aku tak henti melafalkan dzikir memohon keselamatan kami. Jalur yang semalam kuhindari karena berpotensi rawan, kali ini akan kami lalui bersama-sama. Jarak antar desa yang terhubung oleh pekat hutan, tanpa penerangan jalan umum yang berarti ditambah dengan hawa dingin yang semakin menusuk, semakin merapatkan barisan doaku memohon kawelasan Gusti. Aku tau Dia meridhoi perjalanan ini ketika penuh lega kulafalkan hamdalah memasuki gapura bertuliskan Tosari dengan huruf besar. Malam ini aku menego teman-teman team Fe untuk kembali menumpang menginap, sementara esok pagi buta, berbarengan dengan suku Tengger memulai hari, menyibak dingin kabut, aku sudah harus melintas jalur Tosari-Pasuruan kembali pulang ke Kota Pahlawan, menapak hari Senin penuh semangat.
**all photograph capturing by writer