Mohon tunggu...
Endah Lestariati
Endah Lestariati Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang banci kolam [renang] yang sedang butuh vitamin K; Kamuuuuuuuuuu

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Merindu Kecantikan Sang Dewi Anjani

18 September 2012   16:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:16 2529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Waktu sudah menunjukkan lebih dari pukul 15.00 WITA. Pos III seolah menjadi titik tolak pendakian rinjani yang sebenarnya. Setelah melewati padang ilalang sepanjang hari yang seperti tiada habis, dari Pos III ini, medan yang akan dilalui menjadi begitu terjal. Jalur yang dikenal sebagai sembilan bukit penyesalan atau tujuh bukit penyesalan dan dua bukit penderitaan ini sungguh benar-benar menguras mental dan energi. Setiap kali menyelesaikan satu bukit, masih ada bukit lain yang menantang untuk didaki. Sementara hujan, meski gerimis, terus-menerus menerpa kami. Hawa dingin menyerang. Setetes tawaran air putih hangat dari team tetangga sungguh-sungguh menjadi penawar hypothermia yang mengharukan kami.

Squad kami sudah mulai terpisah-pisah. Kepayahan di sana-sini. Tak terkecuali team-team tetangga. Inilah uniknya mendaki gunung. Perasaan terhimpit, sempit oleh rasa dingin dan lelah luar biasa, tetap saja tidak memberikan jera. Karena setiap langkah kaki ini membuahkan pelajaran tentang menghargai perjuangan, mensyukuri setiap kenikmatan yang diberikan Allah SWT sekecil apapun itu.

Kami masih saja terlunta-lunta di sepanjang jalur sembilan bukit penyesalan ketika hari mulai gelap dan anggota team yang tercecer. Hanya mengandalkan teriakan demi teriakan memanggil nama teman untuk memastikan keadaan baik-baik saja satu sama lain. Plawangan Sembalun yang menjadi camp area terakhir sebelum summit attack seperti tak kunjung sampai. Saya harus berbagi headlamp dengan seorang teman untuk penerangan ketika melalui jalan setapak sempit menyusuri punggung bukit dengan jurang tak berujung di sisi kiri kami.

Di ketinggian hampir 3000 mdpl, Plawangan Sembalun menjadi titik penuh haru ketika kami mencapainya. Di antara pandangan mata nanar Hamzah (salah satu dari dua squad lelaki team kami) yang kelelahan mem-back up Achie dan Nina karena kondisi kesehatan yang menurun. Setelah kebingungan Adhi dan Dian karena mencoba mengumpulkan team yang tercecer dalam kondisi hypothermia, frustasi dan entah tekanan mental jenis apalagi. Sementara saya, mbak Indri dan teman-teman yang lain sempat tersangkut di team tetangga, sekedar sementara melepas lelah dan sedikit menumpang menghangatkan diri. Sujud penuh syukur kami ketika dipertemukan kembali dengan teman-teman seperjalanan yang tiba-tiba terasa begitu hangat dalam semangat persaudaraan.

13404631951664401018
13404631951664401018

Langkah-langkah kaki kami kembali meniti tanjakan-tanjakan terjal esok harinya. Mencoba menikmati kecantikan dititik tertinggi untuk bertemu sang Dewi Anjani. Dewi Anjani adalah sebuah legenda yang berkembang di lingkungan masyarakat suku sasak sebagai Ratu penguasa Jin. Konon kabarnya  Anjani adalah seorang putri raja yang tidak mendapatkan restu untuk menikah dengan lelaki pilihannya. Sang putri dipercaya telah moksa, berpindah ke alam ghaib dan menjadi penguasa kerajaan Jin dengan singgasananya di puncak gunung Rinjani.

Matahari telah menjelang siang ketika kami melakukan summit attack. Sebuah keputusan yang kurang tepat, karena cuaca puncak yang tidak dapat diprediksi. Apalagi mendung begitu cepat pergi dan kembali menggantung di atas atap Lombok. Kami bersembilan mengiyakan ajakan summit attack dari team tetangga yang kesemuanya lelaki dengan harapan mendapatkan tambahan squad untuk memback up kami, para ibu-ibu pkk hore ini. Benar saja, belum genap dua bukit kami lalui, Achie, seorang dari kami memutuskan kembali ke perkemahan diantar oleh Hamzah karena kondisi kesehatannya yang kurang memungkinkan meneruskan pendakian. Beberapa puluh meter kemudian Adin menyusul Achie memutuskan turun dan diantar oleh Dian. Dua orang team tetangga yang kami harapkan bantuan back up-nya pun mengambil keputusan yang sama karena badai yang melanda perjalanan kami. Selimut kabut hingga radius puncak sudah hampir dipastikan tidak menyisakan view yang menjanjikan. Sisa berlima kami mencoba peruntungan hingga sampai pada titik gamang, perdebatan antara melanjutkan perjalanan dengan konsekuensi melawan badai, atau memutuskan turun dengan pertimbangan safety first.

[caption id="attachment_184171" align="aligncenter" width="614" caption="jalur summit attack"]

13404666841733488118
13404666841733488118
[/caption]

Ketika keputusan turun sudah bulat, Hamzah sudah kembali menyusul kami. Saya yang kala itu masih kekeuh berusaha muncak, seperti mendapat dukungan energi dengan kembalinya Hamzah. Meski pada awalnya Hamzah menyusul kami karena prihatin dengan kemungkinan kondisi saya yang berjalan di bawah badai tanpa jaket maupun raincoat, berusaha mengembalikan jaket saya yang sebelumnya tidak sengaja terbawa olehnya. Melihat semangat saya untuk muncak, Hamzah memutuskan mencoba menemani, sementara empat orang kembali turun. Hingga pada satu titik dimana kami berdua harus bolak-balik berlindung dari badai di balik batu besar, saya menjumpai kondisi Hamzah yang telah menggigil karena hypothermia. Tak perlu lagi menghiraukan harga sebuah puncak, saya sudah cukup tahu diri untuk menyudahi ambisi ini. Buah pelajaran yang saya petik kala itu adalah kita tidak bisa mengandalkan egoisme kekuatan sendiri, meski secara fisik merasa mampu, karena harus tetap menajamkan kepekaan dan kepedulian terhadap kondisi di sekitar kita, entah itu kondisi fisik teman seperjalanan maupun cuaca. Pertimbangan safety first adalah mutlak, meski kadang membuat kita sulit memutuskan karena terjebak pada perbedaan antara seru dan konyol yang terkadang begitu tipis.

Di antara jalur berpasir, saya ikhlaskan melepas mimpi tiga ribu tujuh ratus dua puluh enam meter di atas permukaan laut itu tak teraih di kesempatan kali ini. Entah di titik ribuan ke berapa ketika kami memutuskan untuk turun, saya tidak lagi merasa itu cukup penting untuk diagungkan.

Dinamakan danau segara anak karena bias warna biru danau ini yang tampak seperti anak lautan. Danau Segara Anak dipercaya masyarakat suku sasak menyimpan misteri dan kekuatan ghaib, dengan pancaran dan pesonanya yang luar biasa membuat manusia menjadi betah berlama-lama untuk tinggal. Terkait dengan cerita legenda Dewi Anjani, danau ini dipercaya sebagai tempat bermukim rakyat sang putri setelah berkuasa di alam ghaib. Konon, luas atau sempit danau segara anak dalam pandangan seseorang dipercaya berbanding lurus dengan pertanda panjang-pendeknya umur seseorang tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun