[caption id="attachment_184142" align="aligncenter" width="300" caption="lake with reflection"][/caption]
Bentang keindahan menghujani pelupuk mata, keindahan danau diapit bukit, titik puncak tinggi di pulau-pulau seberang, deretan edelweis, kontur terjal hijau menghampar, air terjun, awan berbulu domba bersama kecantikan matahari melukis langit, mengajak setiap manusia yang menyaksikan untuk selalu bertasbih akan kebesaranNya.
15 Mei 2012
Pagi kedua nge-camp di Plawangan Sembalun setelah semalam sebelum tidur nyenyak menyempatkan diri memandang langit penuh bintang, sebagai pelipur lara gagal muncak kemarin. Hari ini cuaca cerah, sepertinya view from the top pun menjanjikan. Ah sudahlah, jangan lagi ngomongin puncak. Kali ini keinginan menikmati view danau dari titik Plawangan sembalun ini terwujud. Di kejauhan tampak hijau-membiru indah, dalam sebuah cekungan dinding perbukitan. Puncak Gunung Agung samar terlihat di kejauhan.
[caption id="attachment_184143" align="aligncenter" width="300" caption="gunung agung di kejauhan"]
Kami sempat exited dengan kehadiran bapak-bapak rombongan MTB (MounTain Bike-ers). Beliau-beliau ini yang secara usia jelas sudah senior, tapi urusan bersepeda ekstrim sungguh sangat membuat saya worship seworship worshipnya dengan usaha pencapaian menuju titik setinggi ini dan medan yang begitu menciutkan nyali. Tak sekedar itu, seantero pendaki di Plawangan begitu antusias meminjam sepeda-sepeda tersebut sekedar untuk property berfoto. Agak-agak norak memang, tapi kapan lagi kan bisa merasakan pose bersama sepeda puluhan juta di titik ribuan mdpl?
[caption id="attachment_184145" align="aligncenter" width="300" caption="mountain bike-ers"]
Menjelang Pukul 09.00 kami berkemas, bersiap turun menuju Danau Segara Anak. Baru hitungan beberapa langkah dari lapak sisa tenda, pemandangan sisi timur pulau lombok membentang melahirkan berpuluh tasbih. Rute tujuh bukit penyesalan berderet, laut di kejauhan serta Puncak Tambora berdiri gagah di pulau Sumbawa.
[caption id="attachment_184144" align="aligncenter" width="300" caption="view gunung tambora di kejauhan"]
[caption id="attachment_184146" align="aligncenter" width="300" caption="view danau dari Plawangan Sembalun"]
Setelah diingatkan untuk nggak terlalu lama terpana, saya menyusul teman-teman yang mulai menuruni bukit. Jalur cukup sulit dilalui, 75% berupa bebatuan hampir menyerupai tangga-jauh-dari-standard-kenyamanan dan tidak jarang ditemui medan curam yang mengharuskan kami memasang posisi sedikit merayap/rock climbing). Jalan terjal berbatu menurun ini masih saja terhampar tak kunjung habis. Tetapi setidaknya view memukau masih mengimbangi, menghapus tangis frustasi. Kuncup-kuncup edelweis menghiasi lembah terjal. Awan putih datang silih berganti, menyapu pandang bagai kapas terbang. Putus asa berkali-kali itu pasti, tapi bagaimana kita menepisnya setiap kali datang, bagaimana perjuangan menguatkan diri dan menguatkan satu sama lain, selalu menjadi pelajaran dan persahabatan tak ternilai harganya.
[caption id="attachment_184147" align="aligncenter" width="300" caption="Bentang indah menyapu pandang"]
[caption id="attachment_184148" align="aligncenter" width="300" caption="ekstrim dan terjal"]
Perjalanan dari Plawangan Sembalun menuju Danau Segara Anak memakan waktu lebih dari empat jam. Danau sudah terlihat semakin dekat, tidak lagi melalui turunan terjal, tetapi berupa jalan menyusuri punggung bukit. Existing bukit savana khas Nusa Tenggara masih sedikit mendominasi dengan beberapa vegetasi lain yang berukuran lebih besar, cemara gunung, cantigi, dan tumbuhan berdaun jarum lainnya.
[caption id="attachment_184150" align="aligncenter" width="300" caption="trek mendekati danau"]
Air hujan turun agak galau, gerimis kecil-kecil, hilang, lalu datang lagi. Tapi alhamdulillah menjelang ashar sesampai di danau matahari hangat memancar, sedikit memberi kami kesempatan menjemur baju-baju basah. Tenda didirikan, asap dapur dikepulkan. Hamzah dan adhi pergi memancing.
[caption id="attachment_184153" align="aligncenter" width="300" caption="danau segara anak"]
Di hadapan kami terbentang salah satu danau terindah seluas seribu sekian hektar, berbatas dinding pegunungan terjal. Gunung Barujari yang tumbuh belakangan akibat aktivitas vulkanik dengan medan berpasir dan sesekali mengepulkan asap magma menjadi pelengkap eksotisme pemandangan. Kabut yang datang silih berganti serta reflecting dinding pegunungan dan vegetasi mengingatkan saya pada keindahan Ranu Kumbolo.
[caption id="attachment_184156" align="aligncenter" width="300" caption="Danau yang menganak sungai"]
Saya sudah ribut pengen menuju air terjun dan pemandian air panas. Sudah saya coba untuk trekking sendirian menuju sumber air panas, tapi medan menyeberang jeram menciutkan nyali saya. Di bawah jeram ini mengalir air terjun setinggi belasan meter. Saya pun kembali ke tenda, membuli teman-teman untuk menemani.
[caption id="attachment_184158" align="aligncenter" width="300" caption="air terjun dari aliran danau"]
Adhi dan Hamzah baru berhasil memancing ikan gedhe-gedhe sebanyak enam ekor dengan umpan 60.000 IDRÂ (baca : beli ikan dari pemancing danau), ketika saya berhasil mengajak mereka untuk berangkat menuju sumber air panas. Kami menyeberang sungai di spot jeram (fyi, sungai ini adalah aliran air dari danau menuju lembah), bergandengan tangan bertahan dari arus aliran air setinggi tulang kering, melewati delta sungai, meloncat batu untuk mencapai seberang.
[caption id="attachment_184165" align="aligncenter" width="300" caption="menyeberang jeram menuju sumber air panas"]
Sebenarnya, posisi sumber air panas 'hanya' berada di sebelah jatuhnya air terjun, namun karena tebing yang cukup terjal maka jalur yang ditempuh harus sedikit memutar. Air panas mengandung kadar belerang yang keluar dari dinding tebing sengaja 'dibendung' dengan bebatuan sungai untuk membentuk semacam kolam. Sumber air panas ini terus mengalir tidak pernah berhenti, mengalir menganak sungai, bercampur dengan aliran sungai dari danau. Air danau sendiri sebenarnya mengandung kadang belerang, ini terlihat ketika memandang view danau dari arah Senaru, terlihat warna kuning berkumpul di satu sudut danau.
[caption id="attachment_184167" align="aligncenter" width="300" caption="aliran sungai setelah air terjun"]
Sesampai di kolam sumber air panas Adhi dan Hamzah tingkahnya sudah ugal-ugalan saja, salto, kayang atau apalah, macem orang kegirangan. Saya cukup behave berpartisipasi menyemplungkan diri di kolam, mencoba menetralisir pegal-pegal kaki. Dian dan Achi hanya bermain air saja. Mbak Indri mengambil peran lebih ekstrim, berlagak emaknya anak-anak, berbekal gosokan mandinya Dian, dengan sekuat tenaga menggosok punggung Adhi macem mandiin kebo.
[caption id="attachment_184169" align="aligncenter" width="300" caption="hot spring water"]
Pukul 19.30
Sesi makan malam dimulai dengan melingkari api unggun. Menu kala itu cukup mewah untuk ukuran makan di ketinggian 2000 mdpl. Sayur sup, ikan bakar dan es buah yang terdiri dari irisan buah pir, apel, melon dan jelly. Bonus view bintang gemerlap menghiasi langit bumi perkemahan Danau Segara Anak. Sesi makan malam pun berlanjut dengan malam keakraban, Haekal dan Dion bergabung dengan gitarnya yang fenomenal, memenuhi segala request lagu yang dilempar di tengah arena api unggun. Beberapa anggota kelompok tetangga bergabung di kumpulan api unggun kami menambah keakraban & kehangatan seantero area perkemahan.
Malam semakin larut, api unggun meredup, stok kopi habis, teh habis, jahe anget habis, chicken wing upeti kelompok tetangga juga sudah ludes. Hawa dingin makin menusuk. Saatnya tidur untuk saving energy, bekal persiapan tanjakan Senaru esok hari.
Rabu 16 Mei 2012
Berkemas selalu memakan waktu lama bagi para wanita, jadwal semula jam 09.00 sudah siap berangkat harus rela menuai molor satu jam (ditambah saya butuh waktu untuk investasi mengingat sampah perut hampir empat hari nggak dikeluarin. Barangkali tahun depan berkesempatan kembali lagi, spot investasi sudah rimbun, siap panen) #apadeh
Plawangan Senaru menjadi titik destinasi kami berikutnya. Medan pertama yang harus kami lalui adalah menyeberang sungai aliran danau. Tinggi air mencapai lutut orang dewasa. Sepatu sengaja kami tenteng untuk menghindari air. Dan kami butuh waktu berhenti untuk memakai sepatu di seberang, plus waktu buat menggoda mbak-mbak bule kurang bahan baju, aktivitas khusus bagi kaum lelaki. Sedikit mengherankan, di ketinggian sekian dan cuaca dingin seperti ini masih ada saja yang enjoy berenang di danau.
[caption id="attachment_184172" align="aligncenter" width="300" caption="view danau dari tanjakan senaru"]
Jalan menyusur danau, tak segampang yang dibayangkan sebelumnya, sudah terbilang level rempong untuk ukuran saya, ribet tersangkut akar pohon dan perbedaan level ketinggian yang sudah di luar standar level tangga (lebih dari 50 cm, standard tangga sesuai Data Arsiteknya Neufert nggak sampai 20 cm). Belum lagi lebarnya terlalu sempit dan agak serem aja kalo tanah yang diinjak tiba-tiba ngegrojog jatuh ke danau. Nggak terlalu tinggi, tapi ogah juga kan ya, basah-basahan bonus kepentok bebatuan?
[caption id="attachment_184175" align="aligncenter" width="300" caption="jalur selepas danau menuju senaru"]
Selepas danau, kami mulai memasuki hutan dengan vegetasi rumput liar setinggi pinggang. Berbeda dengan rumput padang savana sembalun yang kondisinya medan terbuka, di depan kami membentang dinding tebing yang tingginya luar biasa ekstrim siap di untuk daki. Medan ini membosankan, kembali membuat frustasi dan putus asa berkali-kali. Kalau estimasi yang pernah saya baca sebelumnya, hanya butuh waktu 2 jam perjalanan mencapai Plawangan Senaru. Ah tapi semua itu bohong belaka. Kami butuh paling tidak 4 jam pendakian. Hampir sama dengan medan Plawangan Sembalun–Danau; tak jarang kami memasang pose rock climbing, agak merangkak, dan sebagainya. Perbedaannya, kala itu kami lalui sebagai turunan, kali ini kami menuju senaru melalui medan menanjak. Dan kami tetap merasa beruntung karena pemandangan masih setia menghibur. Bentang di bawah sana, hamparan danau masih penuh keindahan berpadu dengan gunung Barujari yang eksis sesekali mengepulkan asap. Saya rasa inilah view terbaik melihat danau, dari sisi tanjakan Senaru, dengan Gunung Barujari yang kokoh seperti mencengkeram dasar danau.
Haekal stand by di satu spot tebing batu terjal yang sulit dilalui untuk membantu mengevakuasi kami. Beberapa titik jalur sisa longsor beberapa waktu lalu masih terlihat, namun cukup bisa untuk dilalui. Bantuan railing dipasang pengelola TNGR di beberapa titik yang memagari rute dengan jurang, sedikit membantu memudahkan pendakian meskipun sudah aus di beberapa titik. Sebelum mencapai Plawangan Senaru kami menjumpai tangga besi yang sengaja dipasang untuk menyambung medan pendakian yang terputus. Mencapai tangga besi ini pun rasanya relatif tidak mudah, harus menemukan pijakan demi pijakan batu yang tepat untuk mencapai titik di atasnya.
Jelang Ashar, Plawangan Senaru
Sembari beristirahat, kami menimbang pilihan tempat mendirikan tenda, antara ngecamp di Plawangan Senaru ini atau melanjutkan perjalanan menuju pos III. Dan karena matahari masih tinggi, kami putuskan meneruskan perjalanan turun, mengingat sumber air yang agak jauh dari perkemahan Plawangan Senaru.
Setengah berlari menuruni Plawangan menuju Pos III, saya menyusul Lia, Nina, Hamzah yang sudah berada di depan saya, mengabaikan otot sekujur kaki yang mulai terasa mengencang dan sakit. Masih ada Adhi, Mbak Indri, Adin, Dian dan Achi di belakang saya.
[caption id="attachment_184178" align="aligncenter" width="300" caption="sunset with ray of light"]
Sepertinya rute Senaru lebih dikenal di kalangan pendaki mancanegara sebagai start pendakian dibandingkan rute Sembalun. Terbukti kami lebih sering berpapasan dengan rombongan asing daripada rombongan lokal. Seturun Plawangan Sembalun, vegetasi masih berupa padang savana terbuka kemudian bergradasi dengan vegetasi hutan. Waktu tempuh perjalanan kira-kira satu jam, kami sampai di Pos 3 dengan shelter berupa bangunan berpanggung khas nusa tenggara. Senja merapat, kami menikmati suguhan matahari terbenam berbonus ROL (ray of light) yang indah. Awan-awan putih bertumpuk membentuk bentang yang luas hingga cakrawala. Subhanallah!
17 Mei 2012
Pukul setengah tujuh, kami sudah mulai turun dari Pos III. Kembali saya setengah berlari mengayun langkah menyusuri jalan setapak menurun di antara belantara Hutan Senaru. Maksud hati ingin rasa pegal-kaku ini tidak terlalu lama membebani tubuh, tetapi saya justru terjatuh dan terkilir. Kala itu, tanpa sadar, saya sudah terlanjur jauh dari barisan teman-teman. Agak was-was untuk sekedar berhenti dan menunggu, mengingat Hutan Senaru masih cukup rapat dan tidak tampak berpapasan dengan rombongan manusia yang sudah memulai pendakian dari arah berlawanan. Sementara lutung bergelantungan di dekat jalur pendakian (kurang dari radius 10 meter)
Pos II Senaru
Kurang lebih satu jam yang saya perlukan untuk mencapai Pos II. Beberapa belas meter sebelum shelter pos II, Hamzah berhasil menyusul saya. Lima hingga sepuluh menit kemudian anggota team baru penuh terkumpul. Saya mengaparkan diri di bangunan pos. Luka terkilir di pergelangan kaki terasa berdenyut. Hamzah pergi mengambil air ke arah sumber mata air. Teman-teman yang lain sepertinya sibuk berinvestasi berjamaah. Beberapa rombongan team lain berdatangan dari arah Plawangan. Hingga akhirnya kawasan pos II ini sepi ditinggalkan para pendaki, team saya masih rempong foto-foto enggan beranjak, menikmati dan mengelu-elukan kesegaran air dari sumber air di pos II ini dibandingkan dengan sumber air di atas. Haekal tiba di pos ini menyusul kami. Teamnya semalam nenda di Plawangan Senaru, karena pertimbangan potensi sunset di sana luar biasa memukau dengan view yang lebih terbuka.
Pos II - Pos Extra - Pos I- Jbag Gawah
Masih ada dua pos dari Pos II sebelum mencapai Jbag Gawah; pintu gerbang Taman Nasional Gunung Rinjani Pintu Senaru. Existing medan masih berupa hutan rapat. Kami tidak perlu meng-update pemakaian sun block karena vegetasi hutan yang tinggi meneduhkan kami dari sengatan matahari. Dari pos II menuju Pos Extra tertulis di papan informasi berjarak 1.1 km. Pos Ekstra-Pos I 1.3 km. Pos I menuju Jbag Gawah 1 km. Dan dari Jbag Gawah sendiri, melewati ladang dan perkebunan penduduk masih harus menempuh jarak 1,5 km untuk sampai di Rinjani Trek Centre (RTC) Senaru.
[caption id="attachment_184179" align="aligncenter" width="300" caption="Jbag Gawah"]
RTC Senaru, Jelang Tengah Hari
Alhamdulillah Ya Rabb. Jalur yang konon kabarnya sepanjang 25 km dari Sembalun Lawang ini telah khatam kami lalui. Estimasi yang tercantum di RTC Senaru ini sedikit mengusik kecurigaan saya bahwa telah terjadi korupsi jarak. Katakanlah dalam jarak 1 km, rasa-rasanya saya sudah berjalan turun dengan kecepatan minimal 40 meter/ menit, jadi seharusnya, dalam waktu 1 jam, jarak yang ditempuh bisa mencapai 2,4 km. Sementara jika berpatokan pada jarak yang tertera pada papan, 1 km koma sekian yang telah kami tempuh memakan waktu rata-rata satu jam. Lalu kisaran jarak satu kilometer berdasarkan estimasi abal-abal saya ini kemana larinya? Ah sudahlah, kami tak sempat lagi menganalisa, hanya rasa syukur telah kembali dengan kondisi selamat yang memenuhi perasaan telah mengecap segala keindahan Rinjani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H