Perjalanan kami mendaki sengaja tidak membawa bekal tenda dengan pertimbangan untuk meminimalisir sampah dan karena waktu tempuh summit attack pun terjangkau untuk sekedar 'tek-tok' tanpa menginap. Perlengkapan optimal yang kubawa sekedar jas hujan, jaket tebal, sarung tangan, headlamp, logistik, air minum, matras dan sleeping bag. Teman-teman rata-rata meninggalkan sleeping bagnya di bawah. Aku sendiri berfikir lebih barangkali dibutuhkan, ndak ada salahnya membawa sleeping bag, toh aku berniat bisa sekejap memejamkan mata di puncak sana. Matras kubawa serta mengingat butuh alas untuk sujud subuhku nantinya.
Sebatang besi panjang diangkut secara estafet dari bawah menuju puncak untuk ditanam sebagai penopang papan petunjuk elevasi. Beberapa teman lelaki bergantian menggotongnya. Hingga di ketinggian 1900 mdpl, di tiga ratus meter vertikal terakhir yang masih harus kutempuh, Eko memutuskan untuk membantu memikulnya.Aku sudah menyerah duluan untuk membantu mengangkatnya. Bukan perkara beratnya, tapi lebih karena kesulitan membawanya. Ku tawarkan bantuan sharing beban dari keril Eko untuk dipindahkan ke kerilku. Tapi dia menolak karena malas bongkar-bongkar. Tapi ketika kutawarkan bantuan membawakan tas, dia tidak menolak. Jadilah aku menggendong keril depan belakang. Sempat sesaat Allin menggantikanku membawa keril Eko dari karena bebannya sendiri 'hanya' messenger bag yang diisi air dan logistik seperlunya, tapi tidak sampai radius seratus meter, dia sudah menyerah. Aku semakin mempercepat langkah supaya tak perlu berlama-lama terbeban dua keril dalam gendongan, mengejar subuh sebelum matahari menampakkan sinar. Gurat-gurat warna pengiring sunrise sudah tertumpah di langit timur. Biru. Ungu. Merah.
Bulat sempurna matahari tereksisting nyata beberapa saat setelah aku menutup subuh dengan salam di pelataran puncak berelevasi 2276 mdpl. Tanpa mengemas perlengkapan ibadah, aku segera mencari tempat untuk membidikkan kamera ke arah samudera awan yang mulai diterangi oleh penguasa hari. Sebuah cekungan terisi air dengan refleksi biru langit terhampar indah di salah satu sisi view from site of puncak Batukaru. Konon namanya adalah Danau Tamblingan.Diam-diam, aku menyimpannya sebagai satu mimpi destinasi di kesempatan lain. Sayangnya, rimbunan vegetasi di beberapa tempat justru menghalangi pandangan, sedikit agak mengganggu komposisi untuk mengabadikan gambar. Angin dingin terasa kencang berhembus. Puas membidikkan kamera, aku mencoba beristirahat menggelar sleeping bag sambil menunggu rombongan yang masih tercecer di sepanjang perjalanan.
[caption id="attachment_353738" align="aligncenter" width="576" caption="Bersiap memungut sampah"]
Operasi Bersih sukses dilaksanakan. Dimulai dari pelataran puncak dilanjutkan sepanjang rute perjalanan turun. Sampah yang berhasil kami kumpulkan didominasi oleh plastik bungkus permen dan bahkan beberapa kami temukan masih utuh dengan isinya, sisa sesaji yang entah terbuang entah tercecer. Rute turun terasa lebih lama karena waktu lebih banyak berhenti untuk berjongkok memungut sampah di samping trek yang cukup terjal. Lelah itu pasti, tapi puas karena telah ikut andil berbagi manfaat terasa lebih berarti.
[caption id="attachment_353739" align="aligncenter" width="576" caption="Berfoto sebelum berpisah"]
Dan kisah Batukaru pun bergulir hingga hujan rintik mengikuti perjalanan pulangku. Diantar pasukan teman-teman Bali; Mas Lanang, Coco dan Raju, aku beruntung berhasil menyetop sebuah elf (mobil L-300) travel perjalanan Denpasar-Surabaya secara insidental di pusat kota Tabanan. Mobil elf melaju diiringi kumandang Maghrib waktu Bali, aku memilih meng-qasar sujud magribku bersama isya' di pemberhentian selanjutnya menuju Surabaya. Bismillah, semoga perjalanan kali ini menuai manfaat lebih dari pendakian sebelumnya. Dan Bali, tentu saja akan menjadi destinasi pendakianku selanjutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H