[caption id="attachment_353730" align="aligncenter" width="576" caption="View from the top of Batukaru"][/caption]
Berkali aku menahan nafas sepanjang perjalanan melewati turunan licin penuh erosi lumpur yang mengalir. Duduk di sadel belakang motor matic yang dikendalikan oleh Mas Lanang, aku tak berani banyak bergerak karena kondisi jalan aspal yang hancur, berpasir, dan rawan selip.
Teringat kata-kata Eko, pemboncengku semalam;
"Kalau hujan, hancurlah kita lewat sini," katanya di sela-sela obrolan selama mengangkutku menuju pura yang menjadi titik start pendakian Batukaru dari Banjar, tempat di mana semua tim berkumpul sebelumnya. Dalam hati aku berdoa, semoga selama pendakian Allah SWT tidak menurunkan hujan. Sayangnya doaku kurang tepat, selama pendakian Allah memang membebaskan kami dari air langit, tetapi setiba di Pura, tempat di mana kami memarkirkan kendaraan, seturun kami dari puncak, hujan mengucur deras.
Perjalanan turun menaiki motor menuju Banjar menjadi tantangan tersendiri. Sementara Eko masih bertahan berteduh di bawah balai depan pura bersama lainnya, aku mengikuti Mas Lanang untuk turun terlebih dahulu, rasanya sudah mulai tidak nyaman berpacu dengan waktu, was-was nggak keburu untuk sampai di Surabaya pada hari Senin pagi.
Perjalananku menuju Batukaru, berawal dari Stasiun Gubeng Surabaya, ketika Dek Allin agak merajuk, memaksaku untuk menemaninya menggunakan kereta Mutiara Timur menuju Stasiun Banyuwangi Baru, sementara rencana semula aku bersikeras akan menggunakan bus malam langsung menuju Denpasar. Katanya ndak kuat kalau harus ikut aku naik bus, bayangan mabuk darat menghantui. Aku mengalah dengan catatan harus mencarikan seorang penjemput untukku di Gilimanuk menuju basecamp pendakian. Kata sepakat pun berkumandang. Dan perjalanan enam jam berkereta pun kulalui dengan tertidur sangat pulas. Ah jangankan kereta, pesawat landing pun, aku masih bisa terbuai mimpi manja.
Sholat Subuh kutunaikan penuh penyesalan karena matahari terlanjur muncul di cakrawala ketika kami mencapai musholla Pelabuhan Ketapang. Selanjutnya, kami bergegas menuju kapal feri yang siap berangkat menyeberang menuju Gilimanuk. Perjalanan melintas perairan Nusantara yang selalu menggetarkan langkah setiap membaca jargon 'we serve the nation' atau 'bangga menyatukan nusantara'.
Pukul 08.00 WITA kami mendarat di Gilimanuk setelah melewati konversi waktu satu jam dari WIB. Cukup lama menanti jemputan dari Denpasar yang akan membawa kami menuju Tabanan. Sudah lewat dari pukul setengah sepuluh ketika Mas Eko dan Mas Lanang muncul di hadapan kami. Setelah itu, mereka berdua masih mengajak aku dan Dek Allin untuk transit di masjid tidak jauh dari pelabuhan.
Masjid ini pernah menjadi persinggahan timku dulu ketika menunggu pagi dalam perjalanan menuju Pulau Menjangan Taman Nasional Bali Barat. Kali ini, sembari menanti Mas Eko beristirahat me-ngecharge tenaga, aku, Dek Allin, Mas Lanang numpang sarapan di warung muslim sebelah masjid yang masih satu kompleks dengan yayasan sekolah Islam.