Mohon tunggu...
Endah Lestariati
Endah Lestariati Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang banci kolam [renang] yang sedang butuh vitamin K; Kamuuuuuuuuuu

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Lawu, Episode Mendaki Melarung Rindu

23 September 2014   21:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:48 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasanya tidak tega membiarkan teman-teman cowok berjibaku di bawah hujan. Tapi membantunya pun aku ditolak tegas oleh Adhi. Kami coba menyalakan kompor, ternyata ada sedikit masalah, dan Adhi menjanjikan nanti akan diurus setelah shelter selesai. Aku pun hanya diam, tidak mau menambah masalah menjadi semakin rumit. Beruntung ada trangia yang bisa kugunakan untuk menjerang air. Minuman hangat pun tersaji sedikit mengurangi hawa dingin yang mendominasi.

Perlahan hujan mereda, kami berhasil mendirikan keempat tenda kami. Teman-teman sudah mengganti baju basahnya dengan yang kering dan hangat. Adhi dan Peppy mulai ribut soal kompor yang nggak bisa-bisa dinyalakan. Aku membantu sekedar memotong sayuran. Dan ketika makan malam siap, aku sudah enggan keluar tenda, memilih terlelap, mencoba mengusir dingin dengan berbalut sleeping bag.

1411448772409398973
1411448772409398973
hutan cemara pos 5

Semalaman dingin tidak terusir sempurna meski berbalut kantong tidur. Tempat kami ngecamp, konon adalah medan pertempuran Prabu Brawijaya, ketika dalam masa pelarian dikejar anaknya sendiri Raden Patah karena perbedaan akidah sekaligus pengejaran oleh pasukan Adipati Cepu, sebuah hamparan lembah yang hembusan anginnya siap membekukan raga. Sungguhan! Yang namanya Gunung Lawu itu dinginnya lebih-lebih ketimbang gunung lain dengan ketinggian setara.

Berkas matahari pagi sangat membantu kami mengusir hawa dingin. Sinarnya menampakkan keindahan hamparan hutan cemara yang mengelilingi area camp pos 5, berimbang dengan vegetasi savana. Setelah sarapan dan acara menjemur berapa benda basah imbas kehujanan semalam, kami mengemasi tenda dan segala property pendakian.

14114581322132108794
14114581322132108794
the team

Perjalanan pendakian masih melintas hamparan savana luas sejauh mata memandang. Puncak Hargo Dumilah beberapa kali terlihat. Aku sempat meminta izin untuk membuang sampah perut, sementara teman-teman asik berfoto berlatar savana selama menungguku. Kubangan air yang cukup besar menarik perhatian kami untuk kembali berfoto. Refleksi awan di atas air tampak indah, kontras dengan biru langit yang setia menaungi segala keindahan, mengobati setiap lelah yang menyapa langkah. Tempat ini bernama Tapak Menjangan, sebuah lembah yang menyimpan cadangan minuman untuk satwa (Menjangan) yang biasa melintas. Kusempatkan mencicipi kandungan airnya. Dingin dan segar meskipun sebagian besar merupakan air tampungan hujan. Sepintas, aku masih membayangkan pertempuran Prabu Brawijaya dengan Raden Patah, atau dengan pasukan Adipati Cepu yang mengejarnya di tempat selapang ini seperti di film-film kolosal.

1411458381264574289
1411458381264574289
meninggalkan jejak di tapak menjangan

Cantigi dan Edelweis, duet komposisi vegetasi selain savana dan cemara yang menemani kami meniti tanjakan. Hingga tanpa terasa, kami tiba di Hargo Dalem, sebuah bangunan sederhana yang dipercaya sebagai tempat moksa Sang Prabu. Level Hargo Dalem ini sejajar dengan Warung Mbok Yem, yang selama ini seolah sebagai tempat destinasi segala bentuk pemenuhan kebutuhan akan makanan, justru mengecewakan karena semua jajanan kadung sold out, hanya tersedia mie instant dan teh. Kalau dua jenis itu sih kami juga juga sudah sangu, Mbok!

Dhanny tidak mengizinkan anggota teamnya mendaki hingga Puncak Hargodumilah, katanya, nanti waktu turunnya terlalu sore, ada baiknya memilih supaya tidak terperangkap oleh gelap. Aku menurut meski sedikit kecewa karena target mencapai pucak harus dilepas, apalagi setelah semalam sudah dianggap membangkang karena berjalan terlalu cepat meninggalkan rombongan. Tetapi aku selalu paham untuk menghormati dan mendukung keputusan orang yang sudah kita anut kepemimpinannya, selama masih di jalan kebenaran. Karena muncak sendiri jelas bukan pilihan tepat, meskipun kondisi pendakian cukup ramai, kecil kemungkinan tersesat, dan berbagai spekulasi positif lainnya. Tapi bukankah sudah banyak korban di gunung yang cedera dan bahkan kehilangan nyawa karena lalai meninggalkan kelompoknya? Aku lebih memilih opsi safeplay, dan menganggap Allah belum menurunkan ridho untukku menapak Hargo Dumilah. Toh setiap pendakian, terlepas muncak atau enggak, selalu menyimpan cerita dan kenangan tersendiri, bukan?

14114540981017043644
14114540981017043644
titik tertinggi (versi kami)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun