[caption id="attachment_332108" align="aligncenter" width="449" caption="A greetings from Green Bay"][/caption]
"Touch down Karangasem railway station" tulisku, mengabarkan kedatangan via messenger, Sesuai petunjuk Gilang, turun dari Sri Tanjung kereta yang membawaku selama enam jam perjalanan dari Surabaya-Banyuwangi. Malam mendekati pukul 21.00 WIB. Aku berkeliling stasiun mencari tempat dimana penjemput sekiranya mudah menemukanku. Pesan yang kukirim belum juga tertanda terbaca oleh penerima di ujung sana. Kuputuskan duduk di jajaran kursi depan loket stasiun.
Belum genap satu halaman buku kubaca sembari menunggu, Gilang sudah berhasil menjemputku. Syukurlah, tidak perlu ngemper di stasiun, pikirku. Dan hari itu, 31 Januari 2014, aku mendapat tumpangan di rumah keluarga besar Gilang di Banyuwangi, setelah sebelumnya sempat mencicipi Nasi Tempong kuliner setempat, mirip dengan sego sambel yang dikenal di Surabaya.
Dua minggu sebelumnya, aku hanya iseng menyapanya via messenger, sekedar sambatan cita-cita destinasi kecilku;
"Aku pengen ke Teluk Ijo." kataku.  Gayung pun bersambut dari seorang Gilang yang sudah malang melintang seolah penguasa area Malang-Jember-Banyuwangi.
"Tinggal berangkat aja lho, mbak.", sambutnya. Ia mengarahkanku membeli tiket kereta menuju Banyuwangi, selebihnya menjanjikan urusan ini akan beres. Entah mantra sebelah mana yang menghasut, aku pun menyetujui, meski belum punya gambaran nantinya akan turun di stasiun Banyuwangi sebelah mana, karena ternyata Stasiun yang tercakup dalam wilayah administratif Kota Banyuwangi itu banyak sekali. Dan tanpa ittenerary, aku pasrah, nge-flow, manut apa kata Gilang yang siap membawaku menuju Green Bay.
[caption id="attachment_332111" align="aligncenter" width="576" caption="Teluk Hijau"]
Sego janganan khas Banyuwangi purna sudah kutunaikan sebagai menu sarapan pagi berikutnya, hari pertama di Bulan Februari 2014, fresh from pasar tradisional setempat dan dibelikan oleh mamanya Gilang. Senangnya kalau kita mengunjungi daerah dan sempat mencicipi kulinernya. Pukul 07.00 WIB kami berdua berpamitan, bergegas menuju Genteng dengan menggunakan Bus jurusan Banyuwangi-Surabaya via Jember. Kurang efektif sebenarnya untukku yang datang dari Surabaya, karena dari arah rumah Gilang, aku harus kembali menuju ke arah Barat. Menempuh waktu perjalanan tidak sampai satu jam, kami turun di terminal Genteng, menanti Indra, teman Gilang, yang membawa mobil untuk tumpangan kami menuju Pantai Pulau Merah, destinasi pertama kami. Dari Genteng kami melewati Desa Jajag, terus ke Selatan hingga Kecamatan Pesanggaran. Gilang dan Indra mengajakku mampir di kediaman teman sejoli mereka; Erik dan Fika. Aku menurut saja.
[caption id="attachment_332294" align="alignnone" width="614" caption="Team Red Island Beach, termasuk aku di belakang view finder"]
[caption id="attachment_332295" align="aligncenter" width="385" caption="Pantai pulau merah berpayung merah"]
Pantai Pulau Merah masih dalam cakupan wilayah administratif kecamatan yang sama dengan rumah Erik dan Fika. Kami hanya butuh waktu kurang dari dua puluh menit untuk mencapai Red Island Beach. Aku, Gilang, Erik, Fika, Indra, lalu bergabung bersama kami, Sandy, menuju pantai yang terkenal dengan pulau 'tanah merah'nya ini. Pemandangan menghijau sepanjang perjalanan, petak-petak persawahan dan beberapa perbukitan yang konon merupakan area penambangan emas. Matahari bersinar terik, membiaskan warna biru cerah di langit. Terima kasih untuk cuaca bersahabat di kesempatan kunjunganku kali ini. Pulau yang disebut-sebut bertanah merah tampak menghijau karena rimbunnya vegetasi, tidak mengurangi keindahan pantai yang mulai ramai mengadakan kompetisi selancar secara berkala. Best view menikmati Red Island Beach adalah saat sunset, ketika kilau emas menghampar samudera seolah tumpah ruah di segenap alam raya. Sayangnya, aku punya pilihan destinasi lain untuk dicapai, tidak mencukupi apabila harus berlama-lama menanti senja. Aku hanya mencukupkan kunjunganku sekedar berjalan-jalan menyusuri pantai, mengagumi buih ombak yang berkejaran sembari beberapa kali mengabadikannya dalam bidikan view finderku.
[caption id="attachment_332110" align="aligncenter" width="576" caption="Pulau Merah yang sedang rimbun"]
Teman-teman baru itu selalu menyenangkan, mengajarkanku lebih banyak legowo, menurut tanpa paksaan. Team ini tidak sedikitpun mengecewakanku, bahkan aku merasa dijamu lebih dari sekedar cukup. Sepulang dari Pantai Pulau Merah, mereka mengajakku mampir sebuah warung untuk kembali menikmati kuliner sederhana setempat, nasi jagung ayam pedas. Menu ini terasa sekali istimewanya di lidah. Di sebagian wilayah, nasi jagung adalah olahan jagung yang dihaluskan, ditanak seperti nasi, tapi di Banyuwangi nasi jagung adalah campuran nasi yang ditanak bersama jagung manis yang tidak terlalu halus. Kolaborasi nasi jagung Banyuwangi dengan ayam pedas ini rasanya luar biasa. Kalau boleh menilai, dibandingkan nasi tempong dan sego janganan konsumsi sebelumnya, nasi jagung featuring ayam pedas inilah juaranya.
[caption id="attachment_332297" align="aligncenter" width="461" caption="ayam pedas, so yummy!"]
[caption id="attachment_332300" align="aligncenter" width="411" caption="ayam pedas ft nasi jagung"]
Selepas dhuhur, kembali dari Pantai Pulau Merah dan warung nasi jagung ayam pedas, kami masih punya waktu cukup lama untuk beristirahat di kediaman Erik-Fika. Teman-teman sepermainan mereka pun kembali mulai berdatangan, Alim, Mahfud, Khoiron, berniat bergabung menuju Teluk Hijau dengan tujuan utama memancing. Kail, ice box sebagai tempat umpan, dan sederet peralatan memancing mereka persiapkan. Bahkan gitar pun tak luput terbawa. Aku ternganga, bagaimana bisa membawa peralatan sebanyak ini di jalur trekking nantinya?
[caption id="attachment_332302" align="aligncenter" width="576" caption="untung bawa gitar, bisa numpang gaya :)"]
Aku sibuk merayu Fika untuk ikut pergi bersama rombongan supaya aku punya teman wanita selama perjalanan. Ia bersikukuh menolak, katanya sudah kapok melalui jalur trekkingnya. Aku menyerah tidak berhasil mematahkan kehendaknya. Kami berangkat dengan dua mobil, dilepas dengan lambaian tangan Fika.
[caption id="attachment_332308" align="aligncenter" width="479" caption="jalur melewati perkebunan PTPN"]
Mobil melaju, melintas jalur perkebunan milik PTPN, vegetasi berjajar rapi meneduhkan perjalanan, melewati jembatan kayu yang menciptakan polusi suara beberapa desibel dan membuatku sedikit merasa khawatir dengan kekuatannya. Jalan aspal mulai habis ketika mendekati gerbang Taman Nasional Meru Betiri berganti makadam yang membuat laju mobil menjadi melambat. Satu jalur dengan Pantai Sukamade yang terkenal dengan penangkaran Penyu, Teluk Hijau atau Green Bay memang menjadi obyek andalan taman nasional ini. Aku tergoda untuk mampir sebentar ketika mobil melaju melewati area Rajegwesi, sekedar menikmati sejenak hamparan panjang garis pantainya, sayangnya sang penguasa tata surya sudah hampir berpurna tugas, aku pun mengurungkan niat, memilih untuk berpacu dengan waktu secepatnya untuk mencapai tujuan utama.
[caption id="attachment_332310" align="aligncenter" width="576" caption="Rajegwesi"]
[caption id="attachment_332304" align="aligncenter" width="449" caption="Teluk hijau masih belum tampak dari sini"]
Teman-teman berhasil melobi salah satu warga nelayan setempat yang bersedia menampung parkir dua mobil kami selama kami tinggalkan di area Teluk Hijau. Alhamdulillah urusan ini dilancarkan Allah SWT. Kami pun bergegas menyusur jalur setapak tanpa penerangan yang berarti kecuali sorotan pelita. Beberapa tali tambang tereksisting untuk memudahkan jalan pengunjung meniti jalur. Setelah itu debur ombak terasa dekat meski pekat malam menyembunyikannya dari pandangan. Ternyata teman-teman ini tidak kekurangan akal untuk mengusahakan segala property terangkut hingga tempat tujuan. Tiba di pantai batu, kami beristirahat. Menurut informasi teman-teman, Teluk Hijau sudah tidak jauh lagi. Tak lebih dari lima menit setelah kami kembali berjalan menyusuri tepi pantai berbatu, kakiku sudah menapak hamparan pasir, penanda kami telah sampai di tempat tujuan. Alhamdulillah.
[caption id="attachment_332311" align="aligncenter" width="614" caption="Pantai Batu"]
Angin laut berhembus membawa hawa dingin. Dua buah tenda berhasil kami dirikan. Teman-teman baruku sudah berkumpul membentuk lingkaran, menyalakan api unggun dan memetik dawai gitar. Sederet lagu top fourty pun mengalun, membuaiku tertidur beralas matras, beratap langit dan bergelung kantong tidur. Sementara tarian ombak yang menghempas tepian pantai dan karang masih mengabarkan nada laut pasang. Aku hanya berdoa, malam ini langit berbaik hati tidak menurunkan hujan.
[caption id="attachment_332313" align="aligncenter" width="604" caption="Tarian ombak yang meneduhkan"]
Aku tak ingin melewatkan lukisan alam pagi hari berikutnya. Setelah subuh kutunaikan, kutenteng kamera dan tripod, asyik berjalan-jalan menikmati proses langit merekah, ketika warna warni alam tumpah ruah dalam balutan merah biru keunguan. Bias hijau warna laut mulai samar terlihat seiring mengimbang eksistensi sang penguasa hari. Hamparan pasir putih yang lembut tersapu ombak menggelitik untuk dicumbu. Di salah satu sudut teluk, air tawar mengucur, menganak sungai di dinding tebing, membentuk keindahan air terjun, melengkapi lansekap Teluk Hijau. Subhanallah. Indah. Dan aku tak henti bertasbih melafalkan asmaNya.
[caption id="attachment_332320" align="aligncenter" width="604" caption="Segenap warna alam tertumpah ruah"]
[caption id="attachment_332328" align="aligncenter" width="411" caption="air terjun di sudut Teluk Hijau"]
Sesi memancing para laki-laki semalam sepertinya jauh dari berhasil. Udang yang sebelumnya dipersiapkan sebagai umpan pun direlakan untuk dibakar dan dikonsumsi sendiri. Episode bernyanyi diiringi gitar sesekali masih mewarnai aktifitas kami.
[caption id="attachment_332331" align="aligncenter" width="385" caption="udang (mantan) umpan"]
[caption id="attachment_332332" align="aligncenter" width="560" caption="seems like watching baywatch :)"]
Puas bermain air dan mandi di air terjun, kami pun berkemas, kembali menuju peradaban. Tidak lupa kami membawa serta sampah sisa selama berkegiatan, sebagai wujud penghargaan terhadap lingkungan, bentuk kepedulian kecil yang barangkali menuai manfaat berlebih.
Kami kembali menyusuri pasir putih sepanjang garis pantai teluk, kemudian melewati lembah tebing karang, bertemu pantai berbatu tempat kami beristirahat semalam. Akhirnya, aku berhasil membungkus segenap keindahan Teluk Hijau, membawanya pulang, menjadi pelecut semangat untuk kembali berjibaku dengan aktifitas esok hari. Surabaya, aku siap kembali dan berkarya lebih baik!
[caption id="attachment_332333" align="aligncenter" width="614" caption="complete team, bersiap kembali menjemput karya"]
**semua foto adalah koleksi pribadi | @endah_banged
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H