Kesunyian adalah kebahagiaanku. Aku tak peduli pada angin yang berhembus kencang, pada kapas-kapas yang berhamburan diluar sana, pada burung-burung yang berkicau seraya mengepakkan sayapnya, bersama keluarganya. Ya... keluarganya. Mereka berkumpul dan mengitari bumi ini, bersama-sama, tertawa, bahagia. Aku adalah pemerhati mereka dari jauh. Jauh. Jauh sekali.
Tapi, jujur saja aku sama sekali tak tertarik untuk berkenalan dengan mereka. Mereka sombong. Aku bisa menerawang bagaimana mereka. Mereka. Ya, mereka semua. Semua yang sedang bersenang-senang diluar sana. Ah! Salah! Bukan bersenang-senang. Aku lebih bahagia dari mereka. Aku lebih bahagia dari siapapun. Kulihat, mereka hanya berkumpul dikala senang saja. Ketika matahari sedang bersedih? Kemana mereka? Semua bersembunyi. Tak ada yang hadir. Tak ada disampingnya. Padahal kebahagiaan mereka disebabkan olehnya. Sombong! Aku benci mereka. Aku benci dunia luar. Tapi, aku iri pada mereka. Mereka punya matahari yang tak pernah mengharapkan balasan.
"Kau masih memiliki kami!" aku tersentak oleh suara yang membentakku secara tiba-tiba. Suara itu memecahkan amarahku. Siapa lagi kalau bukan tembok yang senantiasa meneliti hati dan fikiranku. Teman yang paling sering memperhatikan aktivitas yang kulakukan. Kemudian jam bekerku berbunyi, menandakan sudah masuk pukul 5 sore.Â
Aku tersadar bahwa  sudah lama aku berpangku tangan di jendela ini. Jendela tempat aku mengelilingi dunia luar dengan menggunakan imajinasiku. Tak penting, tak bermanfaat, tapi ini penting menurutku. Aku bisa melihat keterpurukan mereka. Kehidupan mereka yang sungguh sangat menyedihkan. Ingin rasanya aku menunjukkan kebahagianku pada mereka. Tapi, aku takut mereka akan ikut-ikutan sepertiku. Aku tidak mau. Tak ada satupun yang bisa mendapatkan kebahagiaan yang kudapatkan. Pikiranku semakin lama semakin kacau. Apa yang membuatku seperti ini. Tidak seperti biasanya.
Aku memanglah wanita yang lebih suka menyendiri. Aku punya keluarga tapi aku tidak punya. Aku lebih memilih untuk menyendiri di kamarku yang tak seberapa ini untuk memikirkan sesuatu yang akupun tak tahu apa tujuannya.Â
Namun bagiku, itulah hidup, bertindak sesukaku tanpa harus memikirkan perasaan orang lain sehingga aku lebih nyaman bernaung dalam imajinasiku. Hal yang paling aku benci adalah ketika sedang asik-asiknya memikirkan hal yang jauh, hal yang sulit untuk dipikirkan, seketika itu juga cekikikannya disudut kamarku menyadarkanku. Aku tak pernah meminta untuk disadarkan dari lamunanku, bukan lamunan, ini memang sudah kewajibanku.Â
Aktivitas yang wajib kulakukan. Sudah kukatakan, aku ini pemerhati sekitar. Jauh bagaimanapun itu, akan kuperhatikan, aku ibarat profesor pembanding kehidupan makhluk. Dan dengan mudahnya dia membangunkanku dari lamunanku. Dia sering kucaci maki. Dia hanya tertawa. Makin deras kudengar. Namun setidaknya aku cukup senang dengan tingkah nakalnya.Â
Aku tak tahu dia siapa, bagaimana dia, aku pemerhati sekitar tapi tak bisa kudefinisikan sosok seperti apakah dia. Aku kecewa pada diriku sendiri. Tak bisa kuterka bagaimana wujudnya. Aku punya banyak teman dikamarku. Tapi, dia bukan temanku. Tak ingin aku bersahabat dengannya. Tak ingin sama sekali. Dia adalah sosok ter-kepo yang pernah aku ketahui. Apa-apa yang aku perbuat, apa-apa yang kupikirkan, dia ingin tau. Aku? Tak mempedulikannya sama sekali.
Tak asing rasaku kalimat yang menyatakan bahwa "Kamarku adalah istanaku" "Kamarku adalah surgaku". Aku ingin mengubah kalimat itu menjadi "Kamarku adalah kehidupanku". Ya, benar. Ini kehidupanku. Kamar. Kamar adalah kehidupanku. Kupastikan aku tak dapat bernafas jika aku hidup ditempat selain kamar. Inilah kehidupanku. Aku sadar, disini aku sudah mengkhianati Sang Pencipta. Hidup dan mati seorang makhluk ada ditangan-Nya. Tapi, menurutku hidup dan matiku adalah kamar ini.Â
Aku memiliki banyak teman disini. Mereka yang selalu membangunkanku ketika aku terlelap dalam tidurku, mengingatkanku bahwa sudah masuk waktu makan, waktu beribadah dan waktu untuk belajar. Mereka adalah mata keduaku, telinga keduaku, dan raga keduaku. Mereka adalah jiwa keduaku. Tetapi mereka semua pencemburu. Mereka cemburu kepada matahari. Kata mereka, aku ini terlalu cinta kepada matahari. Itu benar. Aku cinta kepada matahari. Ingin sekali rasanya aku hidup berdua, hanya dengannya.Â
Hanya kami. Tak ada siapapun yang mengganggu. Tapi, dunia kami berbeda. Dia berada dan hidup di dunia luar, sementara aku di kamar. Ingin rasanya aku membawanya keduniaku. Dalam kamar ini. Dalam kehidupanku. Aku terlalu banyak mengkhayal, bagaimana mungkin Ibu dari segala kehidupan mau kuajak untuk hidup bersamaku. Mustahil! Ah... aku ini kenapa?Â