Beberapa waktu yang lalu, ketika gelombang arus mudik dikhawatirkan akan menjadi pemicu tersebarnya virus covid-19, pemprov DKI melalui gbernurnya sudah dengan tegas mewanti-wanti agar warga urban Jakarta tidak mudik. Faktanya, sebagaimana diberitakan di berbagai media ternyata banyak juga yang mudik dengan mengelabui petugas sampai memalsukan surat jalan.
Saat itu, gubernur Anies bahkan menyampaikan bila nekad maka akan ada pembatasan saat mereka kembali ke Jakarta. Itupun dianggap hanya gertak sambal. Sekarang, setelah Idul Fitri berlalu, mereka berniat kembali ke Jakarta, membuat gelombang arus balik yang dikhawatirkan akan membawa kembali virus itu ke Jakarta. Â Sepintas, Â kebijakan penyekatan arus balik ini kurang berpihak kepada masyarakat. Bukankah mereka warga negara Indonesia dan ingin memasuki wilayah Indonesia, mengapa dipersulit.
Saya bukan orang  Jakarta. Tidak ada sedikitpun kepentingan saya dengan arus mudik dan arus balik dari Jakarta ke seluruh wilayah Indonesia. Tetapi saudara dan kerabat, tetangga, teman, siswa saya  banyak yang tinggal di Jakarta. Mereka bermukim di sana karena disanalah mereka bekerja.  Mereka mencari penghidupan dan mencoba peruntungan hidup di sana, di ibukota yang usia ke-ibukotaan-nya tinggal beberapa tahun lagi. Faktanya, mereka memang mendapatkan keuntungan. Rata-rata kehidupan mereka lebih baik bila dibandingkan saat mereka berada di desa.
Biasanya, di musim lebaran seperti ini, mereka akan mudik dengan anggota keluarganya, memeriahkan suasana lebaran di kampung halaman. Tak kami pungkiri, mereka, keluarga kami yang menjadi urban memberi andil  yang sangat besar dalam memeriahkan lebaran di desa kami. Mereka akan berbagai angpao atau amplop lebaran kepada anak-anak di desa.
Rumah keluarga mereka akan menjadi sangat ramai dengan kehadiran anak-anak desa yang menikmati kedermawanan mereka. Masjid kampung seusai sholat Ied mendapatkan uang amal  yang lumayan besar. Dengan uang amal itu, masjid kami dapat melengkapi berbagai perlengkapan untuk melayani masyarakat.
Singkat kata, saya dan banyak warga desa tidak dapat memungkiri bahwa mudiknya kaum Urban membawa berkah bagi kami di desa. Tetapi menurut saya, kaum Urban tetaplah tamu bagi pemerintah provinsi DKI Jakarta. Mereka sudah diterima sebagai bagian dari warga DKI Jakarta, menjalani kehidupan dengan baik, mendapat kesempatan mengadu nasib untuk menghidupi keluarga mereka.
Ketika Pemprov DKI membuat peraturan untuk "tidak mudik" ya sebaiknya para urban mematuhinya dengan kesadaran penuh. Pun ketika mereka "ngeyel" dan akhirnya mendapatkan pemnyekatan untuk kembali ke pemprov DKI juga seharusnya menerimanya dengan segala kesadaran.
Ada pepatah bijak menyebutkan dimana kaki berpijak, di situ langit dijunjung. Peribahasa ini dapat dimaknai bahwa kita harus mengikuti peraturan dimana kita berada. Dalam peribahasa Jawa juga disebutkan deso maca cara negara mawa tata.
Bagi orang jawa tentu paham dengan peribahasa ini. Setiap komunitas, tempat, desa, kota dan negara memberlakukan adat yang berbeda satu dengan yang lain. Bisa jadi adat yang berlaku di sana berbeda dengan adat yang berlaku di daerah kita. Jadi bila kita memutuskan berada di suatu tempat, ya siaplah untuk mengikuti aturan yang berlaku di situ. Bila tidak, silahkan pergi.
Maka dalam kesempatan ini, saya ingin berpesan kepada saudara-saudaraku, teman-temanku, muridku yang saat ini menjadi kaum urban di Jakarta, yang sudah mendapat kemudahan hidup di Jakarta, jadilah tamu yang baik. Kalian semua adalah tamu, kecuali dispenduk mengubah KTP kalian menjadi penduduk Jakarta. Sebagai tamu berperilakulah yang baik. Mengikuti aturan yang diberlakukan di sana. Manut.
Bila kalian merasakan susah tidak sesuai dengan keinginan kalian, bertahanlah. Jangan menyusahkan pemprov DKI. Ingatlah bahwa apa yang selama ini kalian peroleh dari sana jauh lebih banyak. Tidak sebanding dengan perjuangan kalian untuk tidak mudik. Tetapi bila kalian sudah tidak sanggup hidup di sana dan kalian memutuskan pulang kampung kemudian kalian terhalang masuk ke sana, ya tidak usah ngeyel. Â Sadarilah bahwa pengetahuan kalian dalam penanganan virus ini sangat terbatas.
Mungkin semua itu berat. Tentu berat. Tapi marilah kita merenung. Kita ibaratkan kita menjadi tuan rumah. Kita menerima tamu, tetapi tamu tersebut bertindak semau mereka sendiri. Bagaimana perasaan kita. Jengkel tentunya. Mungkin kita akan mengumpat dengan mengatakan bahwa tamu tersebut tidak tahu diri. Tak tahu diuntung. Bagaimana sikap kita selanjutnya? Mungkin, bahkan kita akan mengusirnya.
Untuk itu, marilah menjadi tamu yang baik. Yang tidak merepotkan tuan rumah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H