Mohon tunggu...
Endah Susilawati
Endah Susilawati Mohon Tunggu... Guru - Tinggal di pelosok desa tetapi ingin tahu banyak hal

seorang pembelajar yang ingin terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wabah Ini Menguji Kualitas Kemanusiaan

18 Mei 2020   11:01 Diperbarui: 18 Mei 2020   10:59 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: portaljember.pikiran-rakyat.com 

Saat sedang menulis artikel ini saya sedang melihat editorial Media Indonesia yang sedang membincangkan tentang kualitas Kepala Daerah. Perbincangan ini dikaitkan dengan huru hara bansos yang tidak tepat sasaran. 

Ada orang miskin yang seharusnya mendapatkan bansos tidak mendapatkan. Sementara ada orang kaya yang seharusnya tidak mendapatkan justru mendapatkan. 

Saya tertarik menyimak topik ini karena saya melihat fakta itu di lapangan. Beberapa siswa saya, tidak mendapatkan bantuan PIP karena dia tidak mempunyai KIP ataupun PKH. Ini tentu menjadi pertanyaan yang sangat mengganggu. 

Di desa asal suami, bahkan ada cerita tentang warga yang mengamuk ke dinas sosial karena merasa berhak mendapatkan bantuan tetapi tidak mendapatkan bantuan. 

Warga yang mengamuk ini sebelumnya sudah ke Kepala Desa untuk mengkomplain masalah ini tetapi mendapat jawaban bahwa data itu turun dari pusat. Dengan kata lain, perangkat dan kepala desa tidak dapat menjawab ketidak-valid-an data yang mengakibatkan warga merasa dirugikan. 

Pertanyaan itu sedikit terjawab dengan menyimak tayangan metro pagi ini.  Lengkapnya bisa  klik  editorial metro. Dari informasi ini disebutkan bahwa basis data berasal dari daerah. Kepala daerahlah yang harus mengupdate data setiap dua tahun sekali. Kementrian sosial tugasnya mensinkronkan data tersebut. 

Faktanya ada saja kepala daerah yang tidak melakukan update data. Disebutkan ada Kepala Daerah  yang mengirimkan data lima tahun yang lalu yang tentu saja sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini. 

Dalam pemikiran saya sebagai orang awam, yang tidak terpalu paham teknologi, mungkin alurnya begini, kelurahan melalukan pendataan warganya yang miskin kemudian mengirimkan data ke kecamatan. 

Operator di kecamatan mengoleksi data dari semua kelurahan kemudian mengimkan ke Kabupaten atau kota, selanjutnya operator kabupaten kota mengirimkan ke provinsi dan operator provinsi mengirimkan ke pusat. 

Setelah melakukan sinkronisasi, pusat melalui kementrian sosial menyalurkan bantuan itu kepada yang berhak menerima sesuai data yang di perolehnya. Mohon dikoreksi bila pemikiran saya ini salah. 

Kalau prosedurnya seperti itu dimana letak kesalahannya bila kemudian terjadi bansosnya salah sasaran? Tentu berada di pihak yang melalukan up date data. Untuk kesalahan ini, tentu tidak serta merta diklaim kepada orang per seorang. Karena tidak ada kesalahan yang dilakukan seseorang kecuali ada argumen dibalik itu bukan? 

Banyuwangi adalah contoh daerah yang bebas dari huru hara ini, menurut metrotv. Dalam wawancara melalui telepon, Bapak Azwar Anas mengulas tentang penyebab ketidakvalidan data ini sampai ke pusat. 

Salah satu di antaranya adalah SDM. Kegiatan Up date data dilakukan secara online. Hal ini membutuhkan kemampuan petugas dalam mengintegrasikan teknologi dalam tugasnya. 

Apabila petugasnya gaptek, misalnya, maka tugasnya akan terhambat. Karena gaptek, mungkin kejar deadline, kerjanya pun serampangan. Tidak sempat up date data ke bawah. Akhirnya data lama diunggah lagi. 

Dalam hal ini bupati Azwar Anas melakukan tindakan yang sangat cerdas menurut saya. Beliau mewajibkan untuk mengumumkan warga-warga penerima bantuan di tempat-tempat umum yang strategis seperti balai desa, masjid dan gereja. 

Dengan demikian setiap warga dapat membaca dan mengkritisi bila ada bantuan yang salah sasaran. Pengawasan dari masyarakat tentu lebih akurat. Bupati Azwar Anas mengakui bahwa pekerjaan mengurusi bansos ini memang sangat berat terutama bansos sebagai dampak pandemi ini. 

Saya setuju dengan Pak Bupati. Pandemi ini menyasar semua orang, tak terkecuali. Beban semakin berat dirasakan oleh semua orang apapun profesinya. 

Stres meningkatkan menyerang semua orang tanpa kecuali. Orang tidak lagi berpikir rasional. Kalau ada yang bisa disalahkan ya salahkan saja. Kalau ada yang bisa dibully ya dibully saja. Maka banjirlah status bullying di mana-mana. 

Pembelajaran daring yang tidak optimal menjadi bahan untuk mempertanyakan kualitas guru. Karena belajar dari rumah, ada istilah guru makan gaji buta. 

Guru memberi tugas dikatakan guru kemaruk. Wacana gaji PNS dipotong heboh. THR jadi cair Heboh. Semua hal menjadi kehebohan di sini. Orang tidak lagi berpikir rasional. Asal tidak cocok hantam. 

Memang benar wabah pandemi ini adalah ujian. Menguji kesabaran, iya. Menguji kepedulian, iya. Menguji kepekaan sosial, iya. Menguji kecerdasan, iya juga. Intinya menguji kualitas manusia.  Tuhan menguji keimanan seseorang diantaranya  dengan harta,  keturunan dan  kesehatan. 

Dihadapan Tuhan manusia berkualitas adalah manusia yang bertakwa dan orang yang bertakwa karena dia beriman. Jadi, sebaiknya ujian besar ini menempatkan kita untuk saling merefleksi diri sendiri tentang kualitas masing-masing. Apakah kita sudah berkualitas? Kalau belum berkualitas, apa yang harus kita lakukan untuk meningkatkan kualitas diri kita. Kemudian action. 

Semua orang mempertanyakan kualitas kemanusiaan. Sayangnya yang ditanyakan adalah kualitas manusia lain, bukan kualitas diri sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun