Sepenggal kisah anak-anak dikaki lembah 'Andabia', membentang kebarat jazirah bumi anoa, ditenggara pulau sulawesi..
Suatu ketika dipadang yang tandus, dikeheningan malam permulaan Ramadhan yang temaram, digemericiknya anak sungai 'andongawuta', dan gemintangnya 'anawula menggaa' di kaki langit Konawe, negeri para 'sangia'.
Regi dan Laxit terengah-engah memasuki 'wala' dikebun-kebun jagung penduduk, kebun yang tidak rata dan banyak semak belukar terbakar, melewati tanaman pakis dan pohon-pohon sagu yang menjulang, malam ini mereka berencana mengintai aktivitas kebun sawit dari puncak bukit 'lerehoma'. Tiga sebaya yang lain telah lebih dulu menunggu dibekas rumah kebun yang mereka sebut markas.
"Maaf, kami terlambat" ucap Regi sambil menggelar peta kecil.
"Saya dan Mirdan menuju sisi utara lereng, Laxit, Jaudin dan Toke kalian ke sisi selatan lereng, kita sekarang diposisi barat dan bertemu ditimur"
"Apa tandanya kalo ada yang sampe duluan dititik temu?" tanya Laxit
"tirukan bunyi burung todopo, harus mirip, kalo tidak mirip maka hancurmi kita dihantam peluru senapan angin, saya ragu kalo hanya peluru senapan angin saja yang mereka punya, siapa diantara kamorang yang paling jago menirukan" seru Regi pada ketiga temannya itu, mereka saling memandang kemudian menggeleng
"ndak ada" jawab ketiganya
"kalo begitu, kamorang baku tukar, Toke ko ikut saya, Mirdan ko ikut Laxit dengan Jaudin, bagaimana sepakat" memang dikelompok ini hanya Mirdan dan Regi sendiri yang tahu menirukan burung todopo, maka diaturlah formasi demikian.
"sepakaat" seru semuanya..
Maka mulailah mereka mendaki kaki bukit lerehoma untuk menyusuri sisinya yang telah diterasering, rimbunnya pohon sawit akan menyamarkan keberadaan mereka dari senteran lampu sorot pos penjagaan.
Mereka mengendap-endap dari satu pohon sawit ke pohon sawit yang lain, bunyi gendang pengusir babi hutan sesekali memekik membahana memecah keheningan malam, entah sederet apalagi yang ada disekeliling areal perkebunan sawit ini, beberapa perangkap babi hutan cukup banyak bertebaran digaris pagar terluar sebelum memasuki perkebunan, jika tak berhati-hati bukan mustahil fatal bagi kelima remaja desa itu. Tapi dikelompok ini Regi cukup piawai memimpin kawan-kawannya, mereka punya kemampuan berburu, insting yang kuat, kepekaan dan kecekatan diatas rata-rata anak desa lainnya, mereka telah dibesarkan oleh alam Konawe yang kompleks.
Bersambung.................
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H