Kebebasan pers yang mendasari lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers telah memberi jaminan dan perlindungan hukum kepada insan pers tanah air dalam menjalankan tugas jusrnalistik secara professional dan bertanggung-jawab.
Dewan Pers yang dibentuk berdasarkan UU No 40 Tahun 199 tentang Pers sejatinya menjadi mesin penggerak bagi pemberdayaan pers. Undang-Undang memberi fungsi bagi Dewan Pers. melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers; menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik; memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers; mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah; memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan; dan mendata perusahaan pers.
Namun dalam prakteknya, Dewan Pers justeru bertindak melampaui fungsi yang diatur Undang-Undang sehingga cenderung menghambat kebebasan pers. Meskipun hanya berfungsi sebagai fasilitator tapi Dewan Pers sudah bertindak sebagai regulator bagi pengembangan kehidupan pers.
Seluruh media diwajibkan mengikuti proses verifikasi oleh Dewan Pers dan wartawan pun mengalami nasib yang sama harus disertifikasi oleh lembaga yang sebagian besar dipimpin oleh orang-orang yang tidak memiliki kompetensi dan pengalaman berjenjang di bidang Pers.
Organisasi pers yang seharusnya menjadi wadah yang bertanggung-jawab membuat aturan di bidang pers untuk peningkatan kualitas profesi kewartawanan justeru malah menjadi objek dari kebijakan Dewan Pers. Kewenangan Orgaisasi Pers untuk membuat aturan di bidang pers sudah diambil alih secara sepihak oleh Dewan Pers.
Sertifikasi profesi yang diwajibkan bagi setiap wartawan pun sesungguhnya tidak berdasarkan standar kompetensi wartawan yang disusun secara komprehensif melalui tahapan yang memenuhi standar nasional.
Akibat kebijakan yang melampaui dan menyalahi Undang-Undang ini Dewan Pers sudah menjadi lembaga yang ‘mengebiri’ kebebasan pers. Selama bertahun-tahun Dewan Pers terbukti tidak mampu menjangkau ribuan perusahaan pers yang tersebar di seluruh penjuru tanah air. Dan sangat mengejutkan hanya 74 media yang dirilis oleh Dewan Pers lolos verifikasi.
Kondisi ini tentunya lebih parah dari era Orde Baru yang dianggap paling sering memberangus kebebasan pers lewat pembredelan media. Jadi, yang dilakukan Dewan Pers saat ini adalah bentuk penghancuran kebebasan pers model baru. Bagaimana mungkin syarat mendirikan Perusahaan Pers yang dijamin Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers bahwa setiap warga negara berhak mendirikan perusahaan pers yang berbadan hukum Indonesia, tapi menjadi tidak sah oleh aturan Dewan Pers jika dianggap tidak lolos verifikasi.
Padahal tidak ada dalam Undang-Undang yang menyebutkan syarat mendirikan perusahaan pers harus lolos verifikasi di Dewan Pers. Sebenarnya, yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang justeru Organisasi Pers untuk menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan. Dewan Pers hanya diberi fungsi untuk memfasilitasi, dan mendata perusahaan pers bukan untuk mengatur.
Di Dewan Pers sendiri tercatat ada 1307 media massa yang didaftar tapi kelihatannya seluruhnya belum tersentuh upaya pengawasan dan pemberdayaan dalam rangka peningkatan kesejahteraan wartawannya. Padahal sesuai amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers Pasal 10 yakni : Perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya. Namun pada kenyataannya, hampir tidak ada Perusahaan Pers yang menerapkan ketentuan dan aturan tersebut. Kondisi ini sepertinya luput dari pengawasan Dewan Pers.
Akibat kondisi seperti ini yang terkesan dibiarkan terus berlangsung, profesionalisme pers justeru menjadi taruhannya. Independensi Wartawan Indonesia kini semakin tergerus. Idealisme yang wajib melekat pada setiap wartawan malah menjadi alat demi mengejar kepentingan pribadi dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan dan menghidupi keluarga yang tidak tercukupi dari gaji yang diterima dari perusahaan pers. Kondisi ini sudah menjadi rahasia umum dan biasa terjadi di kalangan wartawan.