Mohon tunggu...
Encep Mulyadi
Encep Mulyadi Mohon Tunggu... -

Belajar Tiada Henti, Hingga Sang Pencipta Menjemputmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lupa Jalan Pulang

25 Februari 2019   20:43 Diperbarui: 25 Februari 2019   21:22 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepuluh tahun tidak ada kabar. Sudah satu dasawarsa tidak ada berita. Cemas, khawatir terus menggelayut pada diri wanita berusia 70 tahun. Memang sejak kepergian anak ke duanya sepuluh tahun lalu, Rosiah lebih banyak menghabiskan waktu duduk di kursi kayu di depan rumahnya. 

Setiap ada suara motor atau mobil dari jalan depan rumahnya, dengan cepat ia menengok dengan harapan itu adalah suara motor / mobil yang mengantarkan anaknya pulang. Dia usianya yang sudah tua, memendam rindu yang amat besar memang bukan masanya lagi. 

Cukup saat masih muda saja rindu yang berat itu ia pendam. Seperti saat suaminya setahun tidak pulang karena pergi merantau untuk bekerja di kebun karet di Sumatra. 

Saat itu usianya masih 25 tahun. saat anak keduanya baru berumur dua tahun. Hidup yang serba kekurangan memaksa suaminya untuk mencari nafkah walau harus merantau ke pulau sebrang. Masa menahan rindupun terbalas ketika di sore menjelang waktu maghrib, pintu rumahnya diketuk dan terdengan suara yang mengucapkan salam. 

Suara yang khas dan tidak asing ditelinganya. Seketika berbinar wajahnya. Padahal belum lama ia berbisik " Ya Allah, kapan suamiku pulang  ? hamba sudah rindu bukan karena diri hamba saja tapi hamba sudah kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaan anak - anak hamba, " Bu kapan bapak pulang ?. 

Cukup lama kedua suami istri itu berpelukan. Mencurahkan rasa rindu yang selama ini terpendam. Dari tengah rumah kedua anaknya berlari menghampiri sesosok ayah yang sangat sederhana tapi penuh tanggung jawab. Wajahnya yang dulu agak putih sudah berubah menjadi hitam kecoklatan. 

Bekerja setiap hari di kebun karet telah merubah warna kulitnya. dikecupnya kening istri dan kedua anaknya dengan penuh manja. Kecupan itu berulang dan berkali kali. Kecupan sayang. Kecupan yang didasari rasa tanggung jawab yang besar dari seorang suami dan juga seorang ayah. Tidak lama berselang, adzan maghrib pun  berkumandang. 

bersambung .....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun