Mohon tunggu...
Reca Ence AR
Reca Ence AR Mohon Tunggu... wiraswasta -

1964 Lahir di Sukabumi, Jawa Barat. Salam kompasiana ...salam bahagia dan tetap bersahaja\r\n\r\n\r\n\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kembara Hati (bag.2)

23 Maret 2011   16:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:30 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika kekuatan kembali, bukan berarti perjuangan cukup sudah, hembusan ketakyakinan dari sepoi hingga hembusnya silih berganti.. Mahisa gontai dalam keyakinan yang terus disusunnya kembali, mengayuh langkah setapak demi setapak menyusuri pinggiran desa menuju rumah yang sempat hendak ditinggalkannya. Walau penyadaran akan apa yang terjadi adalah yang terbaik dari-Nya, namun ketakpercayaannya pada Ragawi selalu saja menyusup relung hatinya. Mengapa yang dulu selalu meneguhkan, malah sekarang dia yang tak teguh. Walau Mahisa menyadari bahwa kekasihnya selalu menjaga nilai-nilai bakti kepada orang tua, baginya orang tua adalah yang harus selalu dipatuhi dia tidak mau satu biduk tanpa restu dari mereka. Namun walau dia sekarang sedang bersanding di tahta pelaminan, Mahisa yakin akan cinta Ragawi yang masih tertaut padanya. Atau hanya rasa penghibur hati saja...? aaahhhh.........Masih selalu melintas dialog terakhir di pertengahan bukit yang sama. ……………………………….. “Apakah kamu masih mencintaiku?” “Sangat..” “Mengapa kau tak berani meminangku?” “Apakah dengan keberanian itu kita pasti bersatu?” “Setidaknya kita sudah berusaha..” “Apakah selama ini aku tidak pernah berusaha?” “Yang satu ini belum kau jalani..” “Kamu menginginkannya?” “Apakah kamu belum siap? “Aku masih berpikir siapkah kamu” “Maksudmu?” “Kesiapan menghadapi akibat” “Itu sebuah konsekuensi” “Jadi kamu sudah siap dengan apapun akibatnya?” “Batas kemampuan akhir kita berusaha itulah takdir, kita tidak bisa menghindar” “Karena itulah aku berusaha untuk akhir yang lebih baik” “Tidak ada sesuatu yang dapat dipastikan kecuali kuatnya keyakinan” “Lebih baik hati-hati” “Terlalu hati-hati tak akan pernah terjadi” “Aku masih ingin berusaha menata hati agar sampai pada ruang penuh arti” Hening ………. Mahisa menatap kosong Ragawi lelaki yang sangat dicintainya Galau hati yang berlarut semakin menyatu dengan kegelisahan waktu Akankah cintanya bersatu dalam ikatan suci ketika orangtua tak merestui, dia memahami isi cinta kekasihnya , dia sedang mencari cara dan langkah yang bisa semua impian terwujud, namun …..aaahhh…… “Maafkan aku bila selalu memaksamu untuk mendayung lebih cepat, dan maafkan orang tuaku yang selalu memandang selirik mata kokohnya perahumu” sambil melepaskan tatapan dengan selipan sedikit harapan keberanian dari sang kekasih “Tidak ada yang perlu kau maafkan, akulah yang seharusnya memohon itu “ “Apakah kau mau aku bersimpuh tanpa restu?, jika ya …akan kulakukan” “ Jangan sampai kita menyatukan cinta tapi jauh dari cinta-Nya, kita saling menyinta untuk menuju cinta-Nya, kita menyatukan cinta agar kita semakin dekat dengan cinta-Nya” “Apakah kau mau aku tetap terbelenggu kemegahan cintamu?, sementara disisi lain aku diperkosa keinginan-keinginan sepihak orangtuaku, di kedalaman jiwa aku terpatri bakti” “Nyai…” “Ya..” “Aku tidak mau merampas cintamu dari takaran cintamu untuk-Nya” “Akupun tidak mau jika setetes cinta ini akan memuai tak berarti” “Maafkan aku” “Tidak ada yang perlu kau maafkan” “Sayang…….., sematkanlah cintaku di kedalaman qalbu, aku titip untuk kau jaga, peliharalah, jika Allah menghendaki lain, pasti itu adalah yang terbaik untuk kita, cinta kita karena Dia…” “Kang … “ “Hmmm…” “Aku ingin bersamamu …” “Akupun akan tetap meminangmu…” “Kalau tak sampai Kang….” “Bantu aku untuk mewujudkannya” “Dengan…?” “Ta’at kepada-Nya, agar nanti kita bertemu d itempat yang abadi yang dijanjikan-Nya, di sanalah aku akan meminta kepada-Nya untuk meminang kamu menjadi istriku, maukah….” “Ahhh ….. aku tidak kuasa menolak kehadiran cinta yang sudah diliputi ridlo-Nya” ……… Mahisa menarik nafas lembut. Kenangan yang didalamnya ada getar-getar gelombang yang cukup dahsyat mengoyak energi kasih yang melemaskan sendi-sendi hati untuk membuka pintu baru. Walau kini tinggallah puing-puing, namun tetap koyaknya memberikan estetika keindahan yang dalam, yang hanya dapat terasa dalam bias cahaya keikhlasan. ………. Sore melambai pamit, yang tak lama lagi akan di sambut mesranya malam Burung-burung segera merapikan diri keperaduannya Walau hati lirih, Mahisa merasakan kehadiran nuansa indah ketika hati bersanding dalam Megahnya Cinta. ………… “Ragawi……, nikmatilah…, dan akupun akan menikmatinya” Desah dikedalaman hati

‘Bukit Seribu Cinta” EAR Ciputat Maret’11

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun