Mohon tunggu...
Enang Suhendar
Enang Suhendar Mohon Tunggu... Administrasi - Warga sadarhana yang kagak balaga dan gak macam-macam. Kahayangna maca sajarah lawas dan bacaan yang dapat ngabarakatak

Sayah mah hanya warga sadarhana dan kagak balaga yang hanya akan makan sama garam, bakakak hayam, bala-bala, lalaban, sambal dan sarantang kadaharan sajabana. Saba'da dahar saya hanya akan makan nangka asak yang rag-rag na tangkalna.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

September, Bulan Gemar Membaca dan Jejak Para Bapak Bangsa

16 September 2021   13:08 Diperbarui: 16 September 2021   13:09 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bung Karno Membaca (sumber : sejarahlengkap. com) 

Buku dan Ilmu pengetahuan. Adalah dua kata yang selalu melekat pada setiap Bapak Bangsa di negeri ini. Sebutlah Mohammad Hatta, wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama ini dalam kisah-kisahnya tidak pernah lepas dari dua hal tersebut.

Ketika umurnya 19 tahun dan sedang menjadi mahasiswa baru di Rotterdamse Handelshogeschool, pria kelahiran Bukittinggi tersebut harus membeli sejumlah buku. Malangnya, uang yang ia bawa dari tanah kelahirannya tidak seberapa serta dana beasiswa belum ia terima. 

Namun Hatta tetap mendekati sebuah rak buku besar pada sebuah toko buku besar di kota itu De Westerboekhandel dan mengambil beberapa buah buku.

Pemilik toko buku rupanya memahami permasalahan yang sedang menimpa seorang mahasiswa baru dari negara Hindia Belanda itu. Dalam bukunya, Bung Hatta Memoir, beliau menulis "Dengan De Westerboekhandel aku mengadakan perjanjian bahwa buku-buku itu kuangsur pembayarannya tiap bulan f 10. Aku diizinkan memesan buku itu terus sampai jumlah semuanya tak lebih dari f 150".

Bung Hatta adalah negarawan yang memperlakukan buku pada tempat yang luhur. Ketika Bung Hatta dengan Sjahrir diasingkan ke Banda Neira, anak angkat Hatta dan Sjahrir pernah menumpahkan vas bunga di meja hingga airnya membasahi buku-buku sang proklamator yang bergelatakan di meja. 

Masih dalam bukunya Memoir, beliau menulis "Waktu itu terjadi Sjahrir marah kepada mereka dan akupun ikut marah. Kukatakan pada anak-anak itu bahwa mereka harus hati-hati dan menginsafi bahwa buku-buku itu alat pengetahuan dan harus dijaga betul".

Penghormatan Bung Hatta kepada penulis buku beliau wujudkan dengan berpakaian rapi, memakai sepatu dan menyisir rambutnya setiap membaca buku. 

Buku bagi Hatta adalah mahligai yang syahdu yang menemani beliau kemanapun. "Asal dengan buku aku rela dipenjara dimana saja, karena dengan buku aku bebas" adalah ungkapan pria berkacamata ini yang sering kita dengar atau kita baca saat menghadiri kegiatan literasi di berbagai tempat.

Setali tiga uang dengan kompatriotnya, Sukarno adalah seorang bapak bangsa yang gemar membaca buku. Photo Bung Karno yang mengenakan peci hitam sedang membaca buku lengkap dengan baju khas perjuangan ketika diasingkan ke Banda Neira adalah salah satu photo paling ikonik yang menggambarkan tentang kedekatan Bung Besar bersama buku.

Kedekatan Bung Karno dengan buku dimulai ketika beliau mengeyam pendidikan sekolah menengah di Surabaya dan tinggal bersama Sang Guru Bangsa, HOS Tjokroaminoto pemimpin Sarekat Islam yang berkharisma. 

Dalam otobiografinya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Bung Besar menulis "Aku duduk dekat kakinya (HOS Tjokroaminoto) dan diberikannya kepadaku buku-bukunya, dberikan kepadaku miliknya yang berharga". Ikon revolusi nasional tersebut kelak menyebut rumah Tjokroaminoto sebagai "dapur revolusi Indonesia".

Wawasan intelektual Bung Karno terbentuk dan terpoles melalui buku-buku bacaannya. Melalui buku, Si Bung mengenal tokoh-tokoh revolusi dari negara lain serta menyelami alam pemikiran tokoh-tokoh besar yang menginspirasi. 

Pandangannya terilhami pada berbagai buku tentang pergerakan di dunia seberang, sehingga cakrawala pemikirannya semakin hari semakin luas sebagaimana beliau katakan pada Cindy Adams, penulis otobiografinya "Dan disana aku bertemu dengan orang-orang besar. Buah pikiran mereka menjadi buah pikiranku. Cita-cita mereka adalah dasar pendirianku".

Senada seirama dengan pendiri bangsa lainnya, Haji Agus Salim yang juga dikenal sebagai "The Grand Old Man" adalah penggemar buku kawakan. 

Bahkan diplomat ulung dan cendekiawan muslim dari Koto Gadang ini pernah menjabat sebagai pemimpin redaksi beberapa surat kabar pada zamannya. Dengan pengetahuan luas dan menguasai ragam bahasa, tulisan-tulisannya mewarnai sejarah perjuangan bangsa yang terentang dalam periode 1917 s.d 1953.

Haji Agus Salim tercatat pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Hindia Baroe, sebuah surat kabar yang cukup menanjak pamornya pada masa sebelum kemerdekaan. 

Beliau juga pernah menjabat sebagai pemimpin redaksi Neratja, Bendera Islam, Fadjar Asia, dan Mustika. Haji Agus Salim betul-betul memanfaatkan media masa sebagi corong dalam menyuarakan perlawanan terhadap imperialisme dan kolonalisme.

Tak ada yang boleh mendekat jika Sang Pemikir dan Penerjemah ini sudah duduk di meja untuk membaca dan menulis. Agus Salim bisa menghabiskan waktu berjam-jam dan tengelam bersama buku dan mesin ketiknya. Haji Agus Salim adalah tokoh yang tajam, menarik dan tangkas pemikirannya hasil pergolakannya bersama buku-bukunya. 

Saat bekerja di Balai Pustaka pada rentang tahun 1917-1919, Salim menterjemahkan banyak buku, salah satunya buku yang termasyhur Sejarah Dunia karangan E.Molt. "Itu adalah buku-buku yang dibaca di seluruh dunia" kenang anak Salim menirukan kata Ayahnya.

Pemerintah telah mencanangkan bulan September sebagai Bulan Gemar Membaca. Pencanangan tersebut telah dimulai sejak 26 tahun lalu oleh Presiden Soeharto pada 14 September 1995. Maka selayaknya kita menelaah kembali jejak-jejak pada founding fathers yang akrab dengan buku sepanjang hayatnya. 

Para Bapak Bangsa adalah para cerdik cendikia yang terpelajar dan menghayati keterpelajarannya dengan cara yang khas dan berbeda satu dengan yang lainnya. Namun satu hal yang sama adalah kecintaannya kepada buku.

Tokoh-tokoh teladan tersebut adalah sosok yang gemar membaca dengan penuh perhatian, gairah, semangat dan energi. Membaca buku telah membentuk cara pandang, wawasan intelektual, spektrum pengetahuan, dan visi perjuangan yang memiliki determinasi tinggi sehingga terbentuk negara Indonesia yang berkilau dan kaya akan catatan manis dan getir perjuangan mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun