Mohon tunggu...
Enang Suhendar
Enang Suhendar Mohon Tunggu... Administrasi - Warga sadarhana yang kagak balaga dan gak macam-macam. Kahayangna maca sajarah lawas dan bacaan yang dapat ngabarakatak

Sayah mah hanya warga sadarhana dan kagak balaga yang hanya akan makan sama garam, bakakak hayam, bala-bala, lalaban, sambal dan sarantang kadaharan sajabana. Saba'da dahar saya hanya akan makan nangka asak yang rag-rag na tangkalna.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Maulid, Wujud Kecintaan pada Nabi dan Penghargaan pada Sastra

28 Oktober 2020   18:30 Diperbarui: 28 Oktober 2020   22:56 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Asy-syi'ru diwanul arab (puisi/syair adalah rumah bagi bangsa Arab). Kalimat diatas tidak lahir secara serta merta, melainkan lahir dari sejarah yang panjang dan tradisi yang tinggi masyarakat di jazirah Arab berabad-abad lamanya. 

Lima belas abad sebelum Islam lahir, ketika tradisi dan peradaban di wilayah lain masih terbata-bata mengenal huruf, masyarakat padang pasir telah menempatkan syair dan puisi pada maqam tertinggi. Adat dan kebiasaan masyarakat Arab pra Islam telah memberikan penghargaan yang agung dan apresiasi yang tinggi terhadap syair dan puisi.

Para penyair terbaik akan mendapatkan kedudukan yang terhormat di kalangan masyarakat Arab. Tak ayal orang berlomba-lomba dalam menciptakan syair-syair terbaik dengan tata bahasa yang indah, kata-kata yang menggugah, dan pujian yang melimpah.

Dalam sejarahnya, puisi pada masa klasik tersebut memang lebih ditujukan untuk memberikan pujian kepada para pemimpin di kabilahnya masing-masing. Tengoklah salah satu puisi gubahan Nabighah Adh Dhibyany, salah seorang penyair termasyhur pada zaman sebelum pra Islam yang memuji rajanya dengan sangat puitis.

"Sesungguhnya engkau adalah matahari, dan raja-raja selainmu adalah bintangnya. 

Manakala matahari mulai terbit, maka meredup dan sirnalah bintang dari penglihatan."

Selain itu puisi pada zaman pra Islam juga ditujukan untuk mengungkapkan perasaan pada pedih dan getirnya kehidupan sebagaimana salah satu puisi memikat kutipan Umru Al-Qais, yang disebut sebagai maestronya penyair pada zamannya.

Hai malam percepatlah perjalananmu segera selesaikan tugasmu, agar kegelapanmu sirna, dan beban pikiranku yang gundah gulana cepat berganti dengan kejernihan dan keindahan mentari pagi.

Saya mengira pagi lebih baik daripada kegelapan malam. Namun ternyata perkiraanku keliru,  pagi tidak membawa kecerahan, ketenangan, dan keamanan, kedukaanku justru terus bertambah siang dan malam.

Puisi adalah simbol kebesaran dan keagungan peradaban masyarakat Arab. Dengan puisi mereka membangkitkan semangat, menghidupkan jiwa, mendobrak kejumudan, dan menyalakan energi.

Warisan sejarah peradaban masa lampau tersebut rupanya telah mengilhami Salahuddin Al-Ayubi (Sultan Salahuddin) untuk menyalakan kembali perlawanan dalam perang Salib demi merebut Yerusalem. 

Pada masanya Sultan Salahuddin menyelenggarakan sayembara penulisan syair dan puisi untuk mengenang kehidupan Nabi Muhammad SAW. Pangeran mengundang para sastrawan, penyair, pujangga untuk mengikuti sayembara ini.

Pemenang sayembara ini adalah Syaikh Ja`far al-Barzanji dengan mahakaryanya yang berjudul 'Iqd Al-Jawahir (kalung permata) yaitu kumpulan syair dengan tata bahasa yang indah dan menggugah yang bernilai estetik tentang sejarah Nabi Muhammad SAW. Karya monumental yang lebih terkenal dengan sebutan al-Barzanji ini sangat populer di seluruh dunia khususnya di nusantara dan sampai saat ini sering dibaca pada peringatan Maulid Nabi.

Sebagian besar riwayat menyatakan bahwa pada masa inilah pertama kalinya peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW digelar, yaitu sekira tahun 1184 M/580 H. Peringatan Maulid tersebut ternyata mempunyai peran yang sangat monumental dalam merebut Kota suci Yerusalem yang telah dikuasai pasukan Salib hampir sembilan dekade lamanya. Tepatnya pada tahun 1187, kota sebagai kiblat pertama umat Islam tersebut dapat direbut kembali.

Alunan puisi dan indahnya syair al-Barzanji ini ternyata mampu membakar semangat, melecut energi, menggugah kesadaran, dan memantik jiwa patriotisme umat Islam pada masa itu. 

Hingga kini pembacaan Kitab al-Barzanji merupakan tradisi yang tidak dapat dipisahkan dari upacara-upacara keagamaan khususnya pada peringatan Maulid Nabi.

Tradisi Maulid dan kesusastraan ternyata dalam sejarahnya mempunyai relevansi yang erat dan saling berhubungan. Kitab al-Barzanji dikenal sebagai karya sastra agung nan fenomenal yang tidak akan lekang ditelan zaman. Kitab al-Barzanji dinilai sebagai karya biografi yang menceritakan sisi-sisi kehidupan Nabi Muhammad secara puitis, sastrawi dan penuh makna.

Dibeberapa pelosok daerah di tanah air, kitab ini sangat familiar, bahkan beberapa orang kerap kali melafalkan al-Barzanji diluar kepala, tanpa harus membaca kitabnya. Memperingati Maulid Nabi dan membaca al-Barzanji adalah wujud kecintaan pada Baginda Nabi sekaligus penghargaan yang tinggi pada karya sastra.

Kitab Al-Barzanji memulai dengan menceritakan Sislilah Nabi Muhammad, beberapa perikan liriknya antara lain:

Aku hamparkan kain yang baik, anggun lagi indah tentang kelahiran kisah Nabi SAW. 

Dengan merangkai puisi mengenai keturunan yang mulia sebagai kalung yang membuat telinga terhias dengannya.

Puisi tentang silsilah Nabi pun ditutup dengan lirik yang menawan.

Inilah untaian nasab yang dengan berhias namanya menjadi tinggi, laksana kecemerlangan bintang Aries di antara bintang-bintang yang membuntuti.

Betapa indah untaian yang sangat mulia dan membanggakan itu, dengan dikau yang laksana liontin berkilau di dalamnya.

Dan salah satu kalimat yang sangat populer dalam al-Barzanji adalah.

Anta syamsun anta badrun
Anta nurun fawqa nuri

(Engkaulah surya, engkaulah purnama. Engkau cahaya di atas cahaya).

Selamat memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, selamat menyelami sisi-sisi kehidupan Nabi dalam beribu limpahan makna, keindahan kata, pesona bahasa, dan berjuta cinta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun