Asy-syi'ru diwanul arab (puisi/syair adalah rumah bagi bangsa Arab). Kalimat diatas tidak lahir secara serta merta, melainkan lahir dari sejarah yang panjang dan tradisi yang tinggi masyarakat di jazirah Arab berabad-abad lamanya.Â
Lima belas abad sebelum Islam lahir, ketika tradisi dan peradaban di wilayah lain masih terbata-bata mengenal huruf, masyarakat padang pasir telah menempatkan syair dan puisi pada maqam tertinggi. Adat dan kebiasaan masyarakat Arab pra Islam telah memberikan penghargaan yang agung dan apresiasi yang tinggi terhadap syair dan puisi.
Para penyair terbaik akan mendapatkan kedudukan yang terhormat di kalangan masyarakat Arab. Tak ayal orang berlomba-lomba dalam menciptakan syair-syair terbaik dengan tata bahasa yang indah, kata-kata yang menggugah, dan pujian yang melimpah.
Dalam sejarahnya, puisi pada masa klasik tersebut memang lebih ditujukan untuk memberikan pujian kepada para pemimpin di kabilahnya masing-masing. Tengoklah salah satu puisi gubahan Nabighah Adh Dhibyany, salah seorang penyair termasyhur pada zaman sebelum pra Islam yang memuji rajanya dengan sangat puitis.
"Sesungguhnya engkau adalah matahari, dan raja-raja selainmu adalah bintangnya.Â
Manakala matahari mulai terbit, maka meredup dan sirnalah bintang dari penglihatan."
Selain itu puisi pada zaman pra Islam juga ditujukan untuk mengungkapkan perasaan pada pedih dan getirnya kehidupan sebagaimana salah satu puisi memikat kutipan Umru Al-Qais, yang disebut sebagai maestronya penyair pada zamannya.
Hai malam percepatlah perjalananmu segera selesaikan tugasmu, agar kegelapanmu sirna, dan beban pikiranku yang gundah gulana cepat berganti dengan kejernihan dan keindahan mentari pagi.
Saya mengira pagi lebih baik daripada kegelapan malam. Namun ternyata perkiraanku keliru, Â pagi tidak membawa kecerahan, ketenangan, dan keamanan, kedukaanku justru terus bertambah siang dan malam.
Puisi adalah simbol kebesaran dan keagungan peradaban masyarakat Arab. Dengan puisi mereka membangkitkan semangat, menghidupkan jiwa, mendobrak kejumudan, dan menyalakan energi.
Warisan sejarah peradaban masa lampau tersebut rupanya telah mengilhami Salahuddin Al-Ayubi (Sultan Salahuddin) untuk menyalakan kembali perlawanan dalam perang Salib demi merebut Yerusalem.Â