25 Februari 1964, sejarah tinju dunia mencatat peristiwa yang fenomenal dan sukar dipercaya. Pemegang gelar juara tinju kelas berat dunia, Sonny Liston ditantang oleh seorang atlet tinju yang masih berumur 22 tahun, Cassius Clay.
Sonny Liston adalah petinju yang paling brutal, garang, kuat, pembantai, dan bermental juara. Dia pernah dipenjara karena terlibat perampokan dan belajar tinju dalam jeruji besi. Gelar tinju dunia di rengkuh setelah menghabisi juara dunia sebelumnya hanya dalam tempo satu ronde.
Nyaris tak ada yang menjagokan Cassius. 59 dari 62 pakar tinju di Amerika memprediksi Sonny akan menang dengan mudah. Salah satu jurnalis New York Times bahkan memetakan akses termudah menuju rumah sakit bagi Cassius. Berita hoax bahkan beredar di radio (media informasi paling keren ketika itu) bahwa Cassius telah kabur dan lari terbirit-birit untuk menghindari pertandingan.
Namun ada seseorang yang tidak patah arang menghembuskan semangat optimisme pada Cassius, "Pertarungan ini adalah pertarungan kebenaran. Tidakah kamu percaya Allah punya maksud untukmu keluar dari ring tinju kecuali sebagai juara?"
Dan keajaiban itupun datang pada akhir ronde ke-6, Sonny Liston tidak dapat meneruskan pertandingan karena cedera leher, dia berlutut, seluruh pakar tinju terkejut, suppoter Sonny carut marut, bandar judi kalut alisnya mengkerut, penonton bersahut, wartawan berkerubut meliput, semangat Cassius melecut karena gelar juara dunia berhasil dia rebut.
Dia telah memberikan kesan kebanggaan bagi ras Afrika di Amerika. Dia pun mengobarkan semangat perlawanan ditengah dominasi dan diskriminasi orang kulit putih terhadap orang kulit hitam di Amerika pada saat itu.
Keesokan harinya, sang juara memproklamirkan diri memeluk Islam dan mengganti namanya menjadi Muhammad Ali. Legenda tinju dunia yang tak ada duanya. Kelak ia dijuluki sebagai The Greatest.
Seseorang yang telah menginspirasi Muhammad Ali tersebut adalah Malcolm X. Tokoh Amerika simbol perlawanan terhadap diskriminasi yang dilakukan "orang kulit putih" terhadap "orang kulit hitam".
Tepat hari ini 21 Februari 1965, 55 tahun yang lalu Malcolm X ditembak ketika sedang berpidato oleh anggota Nation of Islam, organisasi garis keras di Amerika. 21 peluru menghujani tubuhnya, dan sang Inspirator pun pulang selamanya.
Malcolm X adalah Api Islam di tanah Paman Sam. Malcolm X adalah magnet yang kuat bagi orang Amerika untuk mengenal Islam yang damai yang mengakui persamaan hak tanpa sekat-sekat ras, suku, dan warna kulit.
Pola pikir dan pola hidup Malcolm X berubah drastis ketika dia keluar dari organisasi yang membesarkan namanya, Nation of Islam karena perbedaan prinsip dan cara pandang. Keputusannya tersebut lantas disusul dengan langkahnya menunaikan ibadah haji ke Baitullah pada bulan April 1964.
Pesona Kota Mekah dan pancaran pelita Ka'bah menjadi cakrawala yang mengubah pandangan Malcolm tentang makna hidup dan kehidupan. Sebuah surat yang dia kirimkan dari Mekah menuliskan:
"Aku tidak pernah menyaksikan keramahan yang tulus dan semangat persaudaraan yang sejati seperti yang dilakukan oleh orang-orang dari berbagai warna dan ras, disini, di tanah suci kuno rumah Ibrahim, Muhammad dan seluruh Nabi dalam Kitab Suci. Selama seminggu terakhir aku sungguh terpesona tanpa bisa berkata apa-apa oleh keanggunan yang ditampilkan sekelilingku."
Selama bergabung dengan organisasi Nation of Islam, Malcolm memang menumbuhsuburkan keyakinannya bahwa "orang kulit putih adalah iblis." Namun perjalanan spiritualnya telah mengubah paradigmanya sebagaimana isi suratnya:
"Ada lebih dari 10 ribu jama'ah haji dari berbagai pelosok dunia dari berbagai warna kulit, mulai dari mata biru pirang hingga kulit hitam Afrika, tapi kami semua berpartisipasi dalam ritual yang sama. Menampilkan semangat persatuan dan persaudaraan.Â
"Bahwa pengalamanku di Amerika telah membuatku percaya, hal ini tidak mungkin terjadi. Kalian mungkin terkejut melihat kata-kata ini dariku. Namun dalam perjalanan ini yang kulihat dan kualami telah memaksaku untuk mengatur ulang banyak dari pola pikirku sebelumnya" pungkas pria yang sepulang ibadah haji mengganti namanya menjadi el-Hajj el-Malik Shabazz.
Pria yang lahir  pada 19 Mei 1925 di Omaha, Nebraska, Amerika Serikat tersebut ternyata juga terinspirasi dari Konferensi Asia Afrika yang diselenggarakan pada April 1955 di Bandung. Salah satu pidatonya yang termasyhur "Message to the grass roots", di Detroit pada November 1963 mengatakan:
"Di bandung semua bangsa berkumpul, negara gelap dari Afrika dan Asia. Beberapa dari mereka adalah penganut Budha, beberapa di antaranya beragama Islam, beberapa di antaranya beragama Kristen, sebagian beragama Konghucu, dan sebagian lagi atheis. Terlepas dari perbedaan agama mereka, mereka semua bersatu."
Tepat hari ini (21/02), 55 tahun yang lalu, Malcom pulang keharibaan-Nya. Perjuangan dan pengorbanannya telah mewariskan pelita dan cahaya yang terus merambat menumbuhkan benih-benih kedamaian dan perlawanan pada tindakan diskriminasi dan ketidakadilan di berbagai belahan dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H