Tepat hari ini tiga puluh sembilan tahun yang lalu, dunia berkabung atas berpulangnya seorang musisi papan atas dunia. Kematiannya yang tragis menyisakan isak tangis dan pilu yang menderu. Vokalis band asal Liverpool tersebut tewas terhempas setelah empat butir peluru menembus tubuhnya.
Mark David Chapman sang pembunuh menarik pelatuk Revolver Colt 38 special miliknya pada jarak 3 meter dari John Lennon. Setelah sebelumnya menyapa dengan sopan "Hallo John", dia tak segan untuk menghabisi ikon The Beatles tersebut.
Tembakan pertamanya melesat, namun keempat peluru selanjutnya berhasil menghujam tubuh John. Nyawanya tak tertolong meskipun dirinya dilarikan ke Rumah Sakit. Rinai air mata penggemarnya berlinang, awanpun mendung dan duniapun berkabung.
"Saya mengambil ancang-ancang, seperti waktu latihan di kamar hotel. Saat dia lewat, saya bidik tepat punggungnya. Lalu saya tekan picu pistol lima kali. Saya masih ingat dia sedang melangkah menuju anak tangga, lalu tubuhnya terpelintir perlahan. Badannya agak tersentak ke depan, lalu dia terjerembab jatuh", ujar Chapman mengingat kejadian yang berlangsung di malam 8 Desember 1980 itu.
Sebelumnya, seorang photographer amatir, Paul Goresh pada hari yang nahas itu mendadak ingin sekali memotret John. Dia bergegas sejauh 13 miles dari tempat tinggalnya di Arlington Utara menuju kediaman John di Apartemen Dakota, New York. Pada sore itu dia melihat Chapman yang saat itu sedang menunggu John sambil menenteng album Double Fantasy yang baru dirilis John dengan isterinya, Yoko Ono.
Sekira pukul 17.00, ketika John datang, Chapman menghampiri dan meminta John untuk menandatangani Double Fantasy. Dengan ramah John membubuhkan tanda tangan dan menggoreskan tulisan "John Lennon 1980".
Photo John dan Chapman pada saat itu adalah photo terakhir John yang diabadikan justru beserta dengan pembunuhnya sendiri. Pada hari itu juga Goresh berhasil mengabadikan photo terakhir John bersama isteri tercintanya.
Setelah John terhempas, Chapman tidak berusaha lari. Ekspresinya tenang dan jauh dari panik. Dia masih berada di tempat itu sambil membaca buku The Catcher in The Rye. Buku yang memberikan inspirasi padanya untuk menghabisi John.
Ketika polisi datang dia menyerahkan revolvernya dan berkata ramah, "Maaf, aku sudah memberi kalian semua masalah ini." Polisi heran dan bingung, tak menyangka bahwa pria berperawakan tambun namun berpakaian rapi dan sopan itu adalah pembunuhnya.
Chapman yang pada saat itu berusia 25 tahun adalah fans sejati The Beatles. Seluruh lagunya hafal diluar kepala, seluruh albumnya dibeli, rajin hadir pada konser The Beatles dan poster John telah menghiasi dinding kamarnya sejak usianya 10 tahun.
Chapman adalah fans The Beatles yang paripurna. Ketika John menikahi wanita Jepang, Chapman pun tidak mau kalah dengan memilih Gloria Hiroko, wanita asal Jepang sebagai pasangan hidupnya.
Statementnya viral di media, ribuan orang turun kejalan, mereka memprotes dan menuntut permintaan maaf dari John. Tak luput masa membakar piringan hitam, album The Beatles serta photo dan poster.
Tak lama kemudian John pun meminta maaf, mengaku salah dan khilaf. Namun kekhilafan John inilah yang kemudian mempengaruhi penilaian Chapman pada John dan merubah cinta menjadi benci. Bagi Chapman, John tetaplah seorang penista agama.
Tentu saja John punya beberapa argumen yang mendasari pernyataannya. John hanya ingin menyampaikan realitas yang ada pada zamannya, bahwa anak-anak muda lebih asyik menonton televisi daripada pergi beribadah.
Popularitas televisi pada zaman itu mengalahkan kekhusyuan beribadah. Televisi menjadi kiblat baru anak-anak muda dan mengalahkan popularitas agama manapun didunia. "Beatles lebih berarti bagi anak-anak daripada Yesus, atau agama, pada waktu itu. Saya tidak bermaksud melecehkan atau merendahkan, saya hanya mengatakan itu sebagai fakta," kilah John.
"Saya mengagumi The Beatles dan memasang foto mereka di kamar. Sejak usia 10 tahun, saya selalu mendengarkan idealisme mereka. Terutama ajaran Lennon, saya sangat kagum dan percaya, namun kemudian saya kecewa, John Lennon harus kubunuh. John Lennon penipu." ujar Chapman.
John memang seperti tidak akrab dengan ajaran agama manapun. Selepas The Beatles bubar, pada tahun 1970 John menulis sebuah lagu "God" yang liriknya menggambarkan ketidakpercayaannya pada agama apapun.
Dipersidangan, hakim mengetok palu setelah sebelumnya mengganjar perbuatan Chapman dengan vonis 20 tahun penjara. Kuasa hukumnya memohon agar hukuman dapat diringankan dengan dalih bahwa Chapman telah menderita gangguan jiwa.
Namun Chapman rupanya tidak setuju, dia justru meminta kuasa hukumnya untuk membuat surat pengakuan bersalah dan mengatakan bahwa pembunuhan itu adalah perintah Tuhan. Chapman merasa bahwa The Beatles mempunyai pengaruh buruk bagi anak-anak muda saat itu, khususnya pemikiran John baik terhadap agama maupun negara.
Apapun alasannya tentu saja radikalisme dan kekerasan atas nama agama tidak dibenarkan dalam ajaran agama manapun. Pada akhirnya jenazah John dikremasi pada tanggal 10 Desember 1980 di taman pemakaman Ferncliff di Hartsdale, New York.
Yoko Ono menerima abu jenazah suaminya dan memutuskan bahwa tidak ada upacara pemakaman bagi suaminya. Namun para penggemarnya dari seluruh dunia tidak pernah berhenti mengunjungi sekitar apartemennya untuk menyampaikan rasa duka cita. Perasaan belasungkawa mereka tunjukan dengan menyematkan bunga atau bahkan menyanyikan karya-karya John.
Suara gemuruh para fans membuat Yoko Onno menginstruksikan agar mereka bersama-sama berkumpul pada hari Minggu, 14 Desember untuk mengheningkan cipta sesaat.
Pada hari minggu, tidak kurang sekira 225 ribu orang datang dan berkumpul di Central Park untuk mengheningkan cipta selama 10 menit. Pada saat yang sama, seluruh stasiun radio di Kota New York menghentikan siarannya untuk mengenang John. Selama beberapa hari kedepan lagu dan karya-karya John tidak pernah berhenti mengalun di radio.
Meskipun hampir empat dasawarna sang legenda telah berpulang, namun karya-karyanya masih lembut terdengar di telinga kita. Tengoklah lagu ciptaanya yang paling termasyhur yang dia garap pada tahun 1971 ketika Perang Dingin sedang berlangsung, "Imagine" yang menggambarkan mengenai sosok John yang cinta damai dan anti perang.
Imagine there's no countries
It isn't hard to do
Nothing to kill or die for
And no religion too
Imagine all the people living life in peace
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H