Perebutan kursi legislatif semakin dekat, para petarung politik (caleg) mulai memasang kuda - kuda, beragam jurus telah mereka persiapkan, bagi para caleg, pemilu merupakan ajang pertarungan serius guna menampilkan diri sebagai pemenang pemilu, agar dipilih oleh masyarakat maka usaha sosialisasi diri wajib mereka lakukan, pada dasarnya sosialisasi diri merupakan sesuatu yang diakomodasi dalam sistem demokrasi praktis, jika seorang caleg ingin terpilih tanpa melakukan sosialisasi maka hal itu terbilang naif, siapa pula yang ingin memilihnya jika wajah bahkan namanya tidak pernah terlintas di telinga publik, dalam konteks ini sosialisasi melalui baliho dan alat peraga visual lainnya menjadi salah satu jurus ampuh bagi para caleg guna mendongkrak popularitasnya di tengah masyarakat, secara dasariah penggunaan baliho sebagai media sosialisasi tidak perlu dipersalahkan sepanjang tidak melanggar etika publik, akan tetapi jika regulasi dalam etika publik telah digilas oleh tumpukan baliho yang berserakan disana – sini maka hal tersebut penting disoroti.
Jika kita mengamati model pemasangan baliho dari para caleg maka rasanya tidak perlu ragu untuk mengambil kesimpulan awal bahwa sebagian besar baliho yang bertebaran di tempat umum telah mengabaikan etika publik, dalam titik tertentu massifitas baliho dari para caleg dapat terkategori sebagai tindakan teror, disebut teror karena baliho yang bertebaran disana – sini telah menginvasi area terbuka tertentu yang sebenarnya tidak layak menjadi tempat pemasangan baliho, pohonpun tak lepas dari sasaran amuk baliho, dari sisi pemandangan tentu kondisi ini menyebabkan ketidaknyamanan dan rasa sumpek. Seharusnya para caleg melakukan refleksi diri, apakah intensitas pemasangan baliho yang mereka lakukan di ruang publik akan mengundang simpati dari masyarakat yang melintas, atau sebaliknya, masyarakat justru bisa bersikap antipati terhadap manuver para caleg? Ada baiknya jika kita mengetengahkan sebuah pernyataan penegasan bahwa tampilan citra yang terlalu sering disuguhkan kepada masyarakat akan membuat masyarakat tersebut menjadi jenuh dalam titik tertentu, maukah para caleg melakukan refleksi semacam ini? Pernahkah terpikir dalam benak mereka?.
Pada aspek lain, kecenderungan calon wakil rakyat untuk mengedepankan baliho sebagai jurus terampuh guna meraup suara merupakan indikator kemiskinan kreatifitas dalam memperkenalkan diri ke tengah masyarakat, jika saat masih berkampanye saja nihilisme kreatifitas telah terlihat terlebih lagi jika mereka sudah duduk di kursi empuk rumah rakyat, besar kemungkinan mereka lebih banyak menjadi penonton setia dalam proses perumusan undang – undang (itupun kalau mereka hadir dalam ruang sidang), pernyataan tersebut bukan bermaksud melebihkan karena dalam kenyataannya hal tersebut sering terjadi, kita sering melihat banyak caleg yang terpilih hanya karena modal baliho ditambah kekuatan dibalik kantong. Sudah saatnya masyarakat menganalisa lebih jauh bahwa caleg dengan modal baliho toh merupakan kategori caleg miskin kreatifitas, besar kemungkinan kemiskinan kreatifitas yang mereka pertontongkan akan terbawa pada sikap saat mereka telah sah menjadi anggota dewan, jika hal ini terjadi, maka produk undang – undang akan selesai terbahas tanpa sedikitpun sentuhan pikiran mereka, jangan heran pula bila undang – undang produk legislatif seringkali dimentahkan di MK karena dari semua anggota dewan hanya segelintir kepala yang meramu undang – undang tersebut.
Teror baliho mendatangkan dua implikasi negatif minimal yakni merusak tatanan ruang publik dan memperparah rasa jenuh bagi pengguna ruang publik, efek negatif pertama lahir sebagai konsekuensi tidak dipatuhinya regulasi penempatan baliho, alasan dari para caleg tentang ketidakpastian regulasi penempatan alat peraga kampanye terkesan sukar diterima akal sehat, ini merupakan alasan klasik yang paling sering dilontarkan, terlepas dari jelas atau tidaknya regulasi penempatan alat peraga kampanye maka pertanyaan sederhana yang bisa diajukan adalah siapkah para caleg menaati aturan tersebut jika yang dimaksudkan telah terakomodasi dalam bentuk regulasi? Jika mengacu pada kenyataan, maka tidak salah untuk mengatakan bahwa sepanjang pemilihan langsung dilaksanakan maka sepanjang itu pula penempatan baliho lebih sering salah tempat, disamping itu baliho caleg yang bertebaran disana – sini bisa dipastikan tidak memperoleh izin pemasangan dari institusi terkait, jika perbincangan lebih diperluas, maka masih ada beberapa kasus dimana baliho bukan hanya merusak tatanan ruang publik tetapi juga mendatangkan masalah baru bagi pengguna jalan, jatuhnya baliho raksasa caleg ke tengah badan jalan atau baliho rubuh yang mengenai kendaraan yang sedang terparkir merupakan contoh kecil bahwa baliho caleg tidak hanya berfungsi sebagai alat sosialisasi namun juga bisa menjadi ancaman keselamatan bagi para pengguna jalan.
ZaEnal Abidin RiAm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H