Mohon tunggu...
Enal Riam
Enal Riam Mohon Tunggu... -

"pena adalah senjata"\r\n\r\nKader HMI MPO (Himpunan Mahasiswa Islam - Majelis Penyelamat Organisasi) Komisariat Tarbiyah UIN Alauddin Makassar# blog pribadi: http://zaenalabidinriam.blogspot.com//\r\n(http://www.facebook.com/enal riam)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Berguru Pluralisme Pada Anak Kecil

24 Desember 2013   08:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:33 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah mendengar istilah pluralisme? Pernah bahkan sering, akan seperti itu jawaban yang muncul dari sebagianbesar anak bangsa tatkala mereka ditanya tentang pluralisme, ada yang mengapresiasi positif namun tak sedikit pula yang memberikan respon sebaliknya, sebuah hal lumrah dalam tatanan diskursus. Terlepas dari pandangan dua kutub dikotomis tersebut, tulisan ini tidak hendak memfokuskan diri pada perdebatan defenisi teknis, akan lebih baik jika kita melihat pluralisme pada aspek manfaat secara nilai, hal ini akan terasa semakin pas tatkala pluralisme dalam segi nilai diperhadapkan dengan realitas keindonesiaan yang begitu majemuk, kemampuan menghargai keberagaman dalam pahaman dan tindakan sangat dibutuhkan.

Pada dasarnya sebagian besar manusia terbiasa berprilaku pluralistik saat ia masih berstatus sebagai anak kecil, terlebih anak kecil yang hidup dalam sebuah komunitas yang kaya keberagaman dari segi keyakinan, budaya dll. Bagi mereka, bergaul dengan orang yang berbeda keyakinan dan kebudayaan bukan suatu masalah, toh mereka tidak pernah ambil pusing, yang utama bagi anak kecil tersebut adalah berkumpul dan bermain bersama, mereka tidak pernah pusing memikirkan perselisihan yang mungkin terjadi di antara orang tua mereka terkait urusan keyakinan dan kebudayaan, kumpulan anak kecil tersebut berprilaku seperti itu bukan karena ia paham konsep pluralisme, bahkan mendengarnya saja belum pernah, kalaupun pernah maka mereka juga tidak pernah ambil pusing dengan urusan defenisinya, anak kecil tersebut merupakan kelompok manusia yang tak pernah terlibat dalam perdebatan pluralisme secara akademik, namun mereka selalu menghidupkan nilai pluralisme dalam prilaku kesehariannya.

Menjelang remaja, bisikan dari orang tua, guru atau siapa saja yang paling berpengaruh dalam hidupnya mulai hinggap di telinga mereka, hati – hati dalam bergaul! Jangan terlalu bergaul dengan si A! Dia itu beragama B, nanti kamu akan terpengaruh pindah agama, hati – hati pula dengan si C, budayanya beda dengan kita, budaya kita lebih baik dari mereka. Apa yang terjadi selanjutnya? Karena bisikan demi bisikan nyaring bersahutan di telinga si anak maka ia mulai bersikap protektif terhadap teman – temannya, lambat laun ia mulai membatasi diri dalam bergaul dengan si A daan si B yang berbeda keyakinan dengannya, ia pun mulai mengurangi intensitas untuk bergaul bersama si C dan si D karena takut terpengaruh oleh budayanya, yang oleh orang di sekitarnya dianggap kurang berbudaya untuk ukuran dirinya, akhirnya terpinggirkanlah dirinya dari ruang pergaulan yang dulunya begitu ramai, semua itu karena bisikan yang belum tentu kebenarannya.

Jika diamati secara lebih kritis maka, kiranya tidak berlebihan bila kita menyimpukan bisikan yangmenjauhkan si anak dari teman sepergaulannya lebih berbentuk “prasangka”, dikatakan prasangka karena kalimat yang tertuang dalam bisikan tersebut lebih didasari faktor kecurigaan , kecurigaan terbangun karena hadirnya kepentingan dalam diri orang dewasa yang membisiki mereka, kepentingan hadir sebagai akibat dari ketidakmampuan untuk menempatkan kebenaran yang diyakini secara proporsional, orang dewasa ini seolah lupa bahwa kita hidup dalam sebuah rumah besar bernama Indonesia, semua orang bisa hidup di dalamnya sepanjang tidak merusak rumah itu, meyakini kebenaran tertentu dari sudut agama atau budaya merupakan hak setiap orang, yang diperlukan adalah tindakan kreatif dal menghargai keberagaman tersebut.

Ada baiknya jika dalam urusan pluralisme, orang dewasa belajar pada anak kecil, belajar menanggalkan kecurigaan, belajar terbiasa hidup bersama dalam perbedaan, atau bahkan belajar mengontrol kepentingan, belajar kepada anak kecil tentu tidak menghinakan martabat orang dewasa, bahkan membantu meneguhkan martabat tersebut, boleh saja orang dewasa menganggap anak kecil sebagai makhluk yang lugu, polos, dan belum paham apapun, akan tetapi perlu untuk sesekali mengevaluasi ulang asumsi tersebut, bukankah ilmu itu bisa datang dari mana saja? Bagi orang dewasa, mendidik anak kecil juga seharusnya dilihat sebagai ajang pembelajaran, hal ini tak boleh sekadar menjadi semboyang, namun mesti hadir dalam bentuk prilaku, tentu dengan catatan egoisme bisa terlebih dahulu diredam, jangan sampai pula selama ini kita sering mendengungkan penghargaan terhadap keberagaman, tapi di sisi lain kita secara tak sadar selalu menaburkan benih intoleransi kepada anak kecil, padahal merekalah yang mewarisi bangsa ini di masa mendatang. Prilaku pluralisme pada anak kecil hanya perlu dikuatkan lewat pendidikan dalam arti luas, sebaliknya, orang dewasa perlu mengenang kembali masa kecilnya yang sangat pluralistik, apabila memang demikian adanya.

ZaEnal Abidin RiAm

Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin Makassar / Kader Himpunan Mahasiswa Islam – Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun