www.gettyimages.com "Katanya dia pemarah dan sering main tangan." "Lalu, buat apa dekat-dekat?" "Entahlah..."
***
"Kami sering bertengkar. Aku curiga dia selingkuh." "Kok bisa?" "Aku tak boleh lihat ponselnya lagi. Pasti ada perempuan lain" "Ya sudah, putus saja." "Iya sih. Tapi....."
***
"Aku sedih, aku bodoh." "Dia selingkuh lagi?" "Bukan." "Menamparmu?" "Sebulan ini sudah dua kali sih. Tapi bukan itu." "Gila. Apa yang bisa membuatmu lebih sedih?" "Dia menghilang, marah tak ku pinjami uang." "Biar saja, tak usah diberi." "Sudah kutransfer tapi dia masih tak kembali." "Hah?"
***
"Aku putus." "Syukurlah." "Bodohnya aku dulu." "Iya benar. Tapi yang penting sekarang kamu sudah putus." "Kenapa aku mau saja dibodohi ya?" "Sudahlah, sekarang kamu tidak bodoh lagi." "Aku bodoh... Aku benci diriku."
***
"Kemarin aku bertemunya." "Buat apa sih ketemu lagi?" "Dia datang bersama seorang perempuan. Itu pasti selingkuhannya dulu. Kok dia tega ya?" "Loh dia bukan pacarmu lagi kan?" "Iya, tapi dia kan baru saja putus denganku." "Apa hakmu melarangnya?" "Aku sedih, aku bodoh. Dia jahat."
***
"Dia akan menikah" "Bukan urusanmu, kan?" "Hatiku sakit. Kenapa dia tega?" "Loh, kalian tidak pacaran lagi kan?" "Iya. Tapi harusnya dia bisa menunda pernikahannya." "Kenapa begitu?" "Aku belum bisa melupakannya, setidaknya butuh tiga tahun." "Jadi? Kau akan menikmati luka ini tiga tahun ke depan? Bodoh." "...."
Depok, Â 9 Maret 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H