(Saciko #2, sambungan)
[caption caption="Ilustrasi"][/caption]Oleh : Emzet Juwiter
Dalam shalat aku berdoa semoga dia dilindungi yang maha kuasa. “Ya Allah, sebentar lagi aku Ujian Nasional. Mengapa Engkau timpakan masalahnya untukku. Ada apa denganku dan bagaimana keadaannya. Apa yang sesungguhnya terjadi dengan dirinya ya Allah,” ujarku meratap
“Ya Allah, baiklah, aku tak akan berdoa meminta rizki hari ini. Aku hanya berdoa untuknya. Selamatkan dia dan pertemukan Aku. Seburuk-buruknya Sachiko, Dia adalah hambamu, jangan biarkan Saciko melupakan-Mu karena dia tidak mampu apa-apa. Sekarang hanya Engkau yang tau dimana dirinya,”
Aku tak takut dimarahin Ibu karena meminjam bajunya. Aku lebih takut dia hilang dan terjerumus karena g’ ada yang pedulikan, lindungi Hambamu itu ya Allah,”pintaku yang berakhir dengan deringan Hape. Aku berharap deringan itu berasal darinya, tapi sayang itu hanya kiriman sms dari operator. Iblis menggodaku agar berhenti berdoa dan Aku-pun tergoda.
****
Jam sudah menunjukkan pukul. Orang Lombok menyebutnya tengari (menjelang siang). Untung hari itu tanggal merah, karena kuperhatikan setiap hari Minggu di semua kalender berwarna merah.
Mengingat warna merah, teringat lokasi dimana Aku kehilangan jejak Saciko. Bergegas kesana membawa Ide baru, seolah menjadi seorang detektif Mabes Polri tapi bedanya gerakanku ini tanpa anggaran tanpa komando. Siapa tau ada bercak darah disekitar lokasi persembunyian Saciko.
Mungkin juga tak jauh dari lokasi itu ada ciri-ciri, sebenarnya apa yang terjadi pada malam sebelum pagi.
“Mungkinkah Sachiko diperkosa?”, tanyaku bertubi-tubi.
“Enggaklah, Kalaupun dia diperkosa, saya berharap dia tetap perawan,” gumamku dalam hati.
“Tapi, yang namanya diperkosa kan?” ujarku bergumam sendiri, sampai roda chekheter yang kutumpangi tak sadar menggilas kerikil dan hampir terpeleset. Tapi untung berkah shalat Dluha membuatku selamat karena kerikil kecil yang berserakan sebab pembangunan pantai mengiringi Dermaga Labuan Haji.