MGMP dan KKG, swadaya sampai langit runtuh???
Inti dari celotehan ini sesungguhnya pada persoalan MGMP dan KKG. Tapi saya sengaja tidak menulisnya sebagai judul utama, agar ada renungan terkait apa yang ingin direnungkan. Selama ini saya melihat, MGMP dan KKG masih dipandang sebelah mata, tak mau tau apa sebabnya?. Cuek dan apatis dengan semangat Guru di Kecamatan Sikur, Semangat Guru di Sakra Timur, Keruak, Jerowaru, Sembalun, Sambelia, Suralaga, dan kalau yang dekat-dekat dari kantor dinas, malas (di tulis).
Kembali kepada apa yang pernah disampaikan bersama semangat HLM.Nursalim “anggaran bukan halangan” bisa direnungkan betapa dalam maksudnya. Namun apakah iya, pemegang kebijakan akan terlena dengan semangat itu? Sementara diposisi yang sama peran MGMP dan KKG jauh lebih penting dari “………..” (kebijakan) menjual buku K-13. MGMP, MKKS, KKG jauh lebih penting dari 100 rupiah kali 1000 siswa, Saya dapat berapa?. Jauh lebih penting dari menjual nama Bupati untuk rekomendasi proyek?.
“anggaran bukan halangan” kasian prinsip ini, bersama SPM Dikdas yang sangat lucu tidak dipahami arahnya kemana?, Oleh orang Dikdas sendiri (mengerikan). Dan yang paling kasian adalah pigur-pigur yang berprinsip ini rela mengorbankan waktu, tenaga, pikiran demi pelayanan yang lebih layak untuk generasi Indonesia.
Mungkin Anda tidak percaya, betapa pentingnya peran MGMP dan KKG ini, baiklah saya mengutip dari laman yang juga pernah saya baca di beberapa Koran Lokal dan berita audio/visual ketika opening ceremony MGMP 12 Oktober 2015 silam. Baca saja, salahsatu beritanya seperti yang ada di gambar, karena ada yang lebih penting bunyinya, untuk ditulis lebih lengkap.
[caption caption="Kliping Berita OC MGMP"]
Ini terkait (bukan) tulisan ini saja yang ngome-ngenyang atau pernyataan pendapat dimuka umum, melainkan tulisan ini juga: Menyikapi rendahnya prestasi akademik siswa.
Dikutip dari laman itu “Hambatan klasik lainnya adalah minimnya dana. Dana untuk kegiatan forum KKG/MGMP/MGMD pada umumnya berasal dari APBD. Anggaran ini diusulkan dinas pendidikan melalui pemerintah daerah dan disetujui DPRD. Di tengah rendahnya anggaran pendidikan, pengalaman menunjukkan bahwa anggaran yang disetujui pemerintah dan DPRD untuk forum ini boleh dikata sangat kecil. Sebagai contoh dalam satu tahun anggaran setiap MGMD hanya mendapat anggaran sebesar lima juta rupiah untuk sepuluh kali kegiatan. Itu pun kalau diterima penuh. Bisa dibayangkan satu kali kegiatan dengan anggaran lima ratus ribu rupiah, tentu tidak cukup untuk honor nara sumber, pembelian alat tulis, konsumsi dan uang transpor peserta sebanyak 30 orang misalnya.
Biasanya pengurus berharap pada pihak sekolah. Namun, setali tiga uang. Ada sekolah yang kurang antusias untuk mendukung forum ini dengan berbagai alasan. Misalnya, seringnya mengikuti forum ini membuat guru banyak meninggalkan kelas yang berakibat tidak tertibnya kelas. Akibatnya sering penentu kebijakan sekolah tidak mengizinkan guru mengikuti forum ini, apalagi memberi sumbangan dana. Padahal, kalau mau berpikir jernih dengan bertambahnya kualitas guru, sekolah dan murid bersangkutan akan mendapat manfaat yang cukup besar. Akhirnya perlu disadari bersama bahwa peningkatan profesionalisme guru merupakan kebutuhan berkesinambungan namun memerlukan biaya yang tidak sedikit. Semuanya terpulang pada pihak-pihak yang terkait. Apakah pemerintah mau memberikan dana yang cukup untuk peningkatan profesi guru?.
Apakah penentu kebijakan sekolah mau mendorong para guru untuk berkembang maju? Apakah guru itu sendiri mau mengembangkan profesinya ?. Tentu saja, kita berharap pihak-pihak terkait turut menghidupkan forum ini karena degan meningkatnya kualitas guru akan menguntungkan sekolah dan siswa. Kalau tidak, para guru tak usah kecewa, maju terus karena pengembangan profesionalisme guru merupakan keperluan pribadi. Siapa yang akan mengembangkan profesionalisme guru, kalau bukan dirinya-sendiri.
[caption caption="Juwiter"]