Pola pergaulan di penjara tidak beda jauh dengan di dunia luar, dimana anggapan terhadap orang yang mempunyai jabatan, kekayaan, kekuasaan, lebih dihormati ketimbang kebalikannya. Perbedaan sedikit adalah, jika di dunia luar orang yang alim dan berilmu juga mendapatkan penghormatan yang tinggi, tetapi di penjara hal itu tidak begitu berarti.Â
Seorang ustadz dan guru ngaji, ia menjadi sangat tidak berarti ketika mempunyai kasus hukum pencabulan, ia akan dicaci dan menjadi bulan-bulanan penghuni. Ilmu dan martabatnya akan kembali tinggi apabila diimbangi dengan "kedermawanan" dan banyaknya uang kiriman.Â
Seorang pelaku perampokan atau pembunuhan, ia akan begitu saja mendapatkan tempat tinggi. Pencuri 2 Kg paku bekas, pencuri pisang tetangga, ia akan menempatkan dirinya sebagai debu di penjara. Jelas sekali kehormatan di penjara juga diukur seberapa hebat kasusnya. Olehnya, untuk menjadi tokoh yang ditakuti dan berwibawa, maka seseorang harus pandai membranding kasusnya.
Model pergaulan inilah yang terkadang manipulatif, sehingga kelas-kelas pergaulan terjalin semu dan praktis hanya untuk kepentingan sesaat. Di Penjara, saya mempunyai teman akrab, namanya Erik, yang terpaksa  meringkuk di Penjara gegara mobilnya menabrak orang hingga meninggal. Erik adalah warga asli Jakarta dan seperti lazimnya orang kota, disamping kulitnya putih, ganteng, ia juga sarjana ekonomi dari perguruan tinggi di Jakarta.
Saya dan Erik menjadi akrab karena "kesamaan kelas pergaulan" saja. Ada banyak latar belakang penghuni Penjara baik yang sudah putusan pengadilan maupun masih berstatus terdakwa. Penghuni dengan kasus-kasus kriminal semisal; pencurian, pemerasan, perampokan, begal, ranmor, jambret, rata-rata adalah pemain yang sering keluar masuk penjara. Banyak diantara mereka menganggap tinggal di penjara hanya tempat istirahat saja.Â
Secara umum penghuni dengan kasus seperti ini tidak diurus oleh keluarganya, sehingga corak hidupnya juga hampir sama; kalau tidak melakukan "kriminal kecil-kecilan" di penjara, biasanya mereka bekerja sebagai tukang cuci, tukang ambil air untuk penghuni lain yang membutuhkan. Imbalannya bisa berupa uang, sekedar rokok, atau makan dan jajan.Â
Tidak mengherankan ketika melihat sosok tubuh kekar, wajah sangar dan badan penuh tatto hanya menjadi tukang cuci, tukang pijit, tukang ambil air untuk orang lain karena jika mereka tidak melakukan pekerjaan seperti itu dijamin hidupnya "mblangkrah", kering dan layu.Â
Mereka suka berkelompok dan bahkan merencanakan aksi ketika keluar nanti. Ada juga penghuni dengan kasus "buntut wolu" (sebutan untuk kasus penipuan dan penggelapan 378 KUHP). Orang dengan kasus seperti ini biasanya sangat lincah, mereka tidak mau melakukan kerja-kerja seperti yang lain.Â
Mereka nimbrung pada lingkaran lain yang lebih tinggi, sekedar mencari jajan atau rokok atau sebagai "kulakan bahan" sebagai materi bahasan yang bisa mereka manfaatkan untuk menipu atau mendongeng pada penghuni lain. Lalu ada penghuni kasus kriminal khusus, narkoba, pencabulan, pemerkosaan, yang semua mempunyai kecenderungan untuk berkoloni dengan kelas masing-masing.Â
Dari uraian ini pasti sudah bisa diterka, saya dan Erik masuk pada kelas yang mana. Kami masuk pada kelas penghuni yang diurus oleh keluarga, berpendidikan, dan selalu punya uang. :]
Sisi lain dari penghuni Penjara adalah gossip dan kasak kusuk. Maklum saja ratusan orang berkumpul bersama dengan latar belakang berbeda, tentu gossip dan pergunjingan menjadi bahan yang asyik untuk saling mendongeng membunuh waktu. Pergunjingan antar sesama penghuni Penjara ini terkadang hanya sepele tetapi banyak juga yang menimbulkan perselisihan bahkan pertengkaran.
Kembali kepada Erik dan saya. Kami termasuk bisa dengan mudah bergaul dengan para petugas dan saling memanfaatkan. Biasanya kami memanfaatkan untuk pinjam hape, memesan sesuatu dari luar, atau olahraga bersama. Model pergaulan dan tata nilai di penjara itu berbeda dengan di luar.Â
Di dalam penjara ukuran pengaruh itu seberapa kuat, seberapa berkuasa, seberapa banyak duitnya, seberapa lama hukumannya, seberapa besar yang dicuri, seberapa sadis, dll, sehingga untuk bisa bergaul akrab dengan petugaspun syarat-syarat itupun berlaku. Dari keakraban dengan petugas inilah, cerita-cerita tentang banyak hal terjadi; ada cerita tentang keluarga, cerita tentang kasus yang menimpa, dan bisa apa saja.Â
Hingga menjelang kebebasannya, muncullah cerita bohong yang dilakukan Erik dan disampaikan kepada petugas dan banyak orang, bahwa saya masih punya deposito 500 juta. Ini jelas fitnah dan saya tidak tahu maksudnya. Erikpun saya tegur; apa maksudnya menceritakan sesuatu yang tidak jelas sumbernya. Dengan santai Erik berkata:
      "Tenang, Pak Lehan, ini penjara," katanya santai.
      "Maksudmu biar saya diploroti terus oleh petugas dan warga lain? Kamu jangan ngawur, Rik," sergah saya.
      "Tenang, Pak Lehan, ini penjara," katanya masih dengan sikap santai.
      "Rik, ini bisa menjadi fitnah, lo." Kejar saya.
      "Sudahlah, tenangno pikirmu," katanya berlalu.
Akhirnya sayapun memahami cara Erik menjaga saya. Selanjutnya ketika banyak petugas dan penghuni lain mengatakan bahwa saya masih mempunyai deposito 500 juta, saya hanya tersenyum dan tertawa, tidak mengiyakan juga tidak menolak. Saya tersenyum saja menikmati fitnah yang menjamin keberlangsungan kelas di penjara.
Bukankah lebih indah, memainkan pikiran orang lain hanya dengan senyum dan tawa?
Tenang, ini penjara.... :]
Ngangkruk, 22 Juni 2024
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI