Nah, jadi misalnya suatu hari ada seseorang yang saya sebut Wak Haji. Setelah Wak Haji membaca postingan saya sebelumnya di kompasiana ini seketika Wak Haji berniat memberikan semua hartanya untuk shodaqoh. Tak heran, postingan saya kemarin memang tentang keutamaan bershodaqoh khususnya di Bulan Romadhon.
Lagi-lagi saya perlu kutip penjelasan di dalam kitab al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu karya Wahbah Az-Zuhaily. Kitab yang bisa dibilang komplet karena berisi argumentasi-argumentasi dari empat Imam fiqih yang mu’tabar (sudah teruji kemampuannya) seperti; Imam Hanafi, Imam Malik, Imam as-Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal.
Di situ disebutkan bahwa apabila ada seseorang dan ia sendirian tanpa anggota keluarga lainnya atau dia berkeluarga sehingga mempunyai beban menafkahi keluarga. Kemudian salah satu dari dua tipe orang itu seumpanya ingin menyedekahkan semua hartanya kepada orang lain. Maka apakah Wak Haji itu termasuk ke dalam shodaqoh yang mustahab (dicintai) atau shodaqoh yang makruh (dibenci)?
Jika keadaannya demikian, maka perlu dilihat dan dipertimbangkan dulu keadaan Wak Haji tersebut. Apakah ia mempunyai perolehan atau penghasilan tetap yang bisa diandalkan atau dia mempunyai ‘cagheran’ (harta yang dijadikan sandaran, biasanya bukan berupa uang atau beras, ia bisa berupa tanah, sawah, sapi, dll). Nah, kalau Wak Haji ternyata punya ‘cagheran’, kemudian ia ingin memberikan semua uangnya maka hal ini dalam fiqih dibolehkan bahkan hasanun (baik).
Lalu bagaimana kalau Wak Haji tidak punya ‘cagheran’ akan tetapi ia tetap ingin memberikan semua hartanya untuk shodaqoh. Dalam keadaan seperti ini bisa saja shodaqohnya menjadi suatu kebaikan apabila Wak Haji yakin bahwa dirinya bisa bertawakkal sebaik-baiknya kepada Allah, bisa bersabar menghadapi kemiskinan, dan mampu menghadapi berbagai masalah yang menjadi akibatnya. Namun apabila tidak demikian, maka Wak Haji tidak boleh menyodaqohkan semua hartanya, bahkan makruh baginya melakukan hal itu. Hal ini berdasarkan komentar Nabi Muhammad ketika ditanya tentang shodaqoh yang bagaimanakah yang utama. Beliau menjawab:
سر إلى فقير أو جهد من مقل
“Shodaqoh sembunyi2 kepada orang faqir dan kesungguhan shodaqoh dari seorang yang sedikit harta”.
Shodaqoh secara sembunyi memang lebih utama seperti yang dipaparkan pada postingan sebelumnya. Point ke dua dari sabda Nabi di atas adalah kesungguhan dari seorang yang sedikit memiliki harta. Jadi pernah ada ceritanya orang yang boleh dikatakan pas-pasan akan tetapi ia rela memberikan hartanya di jalan Allah sehingga ia pun hidup dengan kemiskinan, ini boleh2 saja bahkan puncak kebaikan dengan syarat ia mampu hidup sabar dan memiliki kwalitas tawakkal yang tinggi.
Dulu Nabi pernah memerintahkan kepada para sahabatnya untuk bershodaqoh. Perintah itu terdengar oleh Umar bin Khattab. Kemudian Umar segera mengambil separuh harta yang ia punya kemudian diajukan kepada Nabi untuk dishodaqohkan. Melihat hal itu Nabi bertanya, “apa yang kau sisakan untuk keluargamu wahai Umar?”. Umar menjawab, “aku menyisakan separuh dari yang aku bawa ini”. Dengan separuh harta itu Umar berharap bisa mengungguli sahabat Abu Bakar dalam hal kedermawanan. Umar berkata, “untuk hari ini aku bisa mengalahkan Abu Bakar dalam bershodaqoh”.
Kemudian tidak selang berapa lama, Abu Bakar datang dengan membawa harta yang tak sedikit. Setelah diketahui, ternyata Abu Bakar memberikan semua harta yang ia miliki saat itu. Nabi bertanya kepadanya, “apa yang kau sisakan untuk keluargamu wahai Abu Bakar”. Ia menjawab, “aku menyisakan Allah dan Rasulullah (untuk keluargaku). Mendengar hal itu, Umar berkata kepada Abu Bakar, “Selamanya aku tak akan bisa menandingimu!”.
Demikianlah yang tertera di dalam kitab al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu karya Wahbah Az-Zuhaily. Semoga bisa bermanfaat bagi pembaca yang budiman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H