Mohon tunggu...
Mahmud Thorif
Mahmud Thorif Mohon Tunggu... karyawan swasta -

_NothingImposible_

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Saat Mata Terpejam

25 Juni 2013   08:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:28 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senja baru saja menyelimuti sore. Tampaklah pemandangan menakjubkan. Yang memaksa para punjangga untuk melepaskan kata-kata penuh makna tentang senja. Kicauan burung-burung yang hendak kembali ke sarangnya membuat suasana begitu indah untuk nikmati. Lalu lalang manusia yang menikmati suasana begitu ramai, menambah keceriaan dunia. Ah, betapa indahnya senja ini apalagi jika orang-orang yang kita cintai ikut bersama menikmati indahnya senja. Bersenda gurau, bercanda ria, berbagi cerita.

Pun tidak begitu dengan Hamdan, ia masih asyik dengan pekerjaannya, sebagai tukang tambal ban. Hari ini dia sudah menyelesaikan 8 pelanggan, iyya hanya 8 pelanggan sampai menjelang senja ini. Sebuah pekerjaan yang memang harus ia kerjakan karena untuk mencukupi kebutuhan istri dan 2 anaknya. Hamdan yang hanya lulusan SMP tidaklah mungkin akan bekerja lebih nyaman berada di kantoran. Beruntung dia punya keahlian bisa menambal ban.

Saat gulita menyelimuti, sang surya telah ditelan gelapnya malam, burung-burung kembali ke peraduannya, mata-mata lelah ingin terpejam, tubuh-tubuh penat ingin dimanja, adalah saat-saat terindah bagi si Hamdan. Ia bisa melupakan sejenak kesibukannya, ia bisa memanjakan penat tangannya yang seharian bekerja. Ah saat mata terpejam, semua masalah hidup bisa dia lupakan. Iya. Walau hanya sejenak.

***

Pun tidak begitu dengan Nenek Fatimah, wanita paruh baya ini juga tidak bisa menikmati indahnya senja. Dia lebih memilih berjualan nasi uduk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Suami tercintanya sakit menahun, sehingga otomatis kebutuhan hidupnya dicukupi oleh wanita paruh baya ini. Dia harus menghidupi suami dan ketiga anak-anaknya. Ah betapa berat hidup wanita ini. Betapa kejam hidup ini. Betapa seorang wanita harus berjuang memenuhi kebutuhan keluarganya. Apakah ini yang disebut keadilan? Apakah ini yang selama ini diidam-idamkan.

Ah, nenek Fatimah akan semakin sakit hatinya, sakit jiwanya, jika dia harus menyesali hidupnya. Dia akan semakin tersiksa, kalau harus meratapi nasibnya. Tentulah semua sudah menjadi suratan dariNYA. Buat apa disesali. Buat apa ditangisi.

Saat senja berganti malam, saat siang telah dikalahkan oleh gelapnya malam, saat tangan-tangan kekar nenek Fatimah mulai melemah, itulah saat-saat terindah. Ah saat mata terpejam, semua beban nenek Fatimah seakan sirna, dia menemukan kebahagiaannya dalam mimpi-mimpi indahnya. Betapa nikmat kehidupannya, walau dinikmati dalam terpejam matanya.

***

Pun tidak begitu dengan Yulianto, pemuda ini tidak bisa menikmati indahnya senja dalam gurauan atau canda tawa dengan teman sebayanya. Dia harus berjuang menghidupi adik-adiknya, membiayai sekolah mereka dan mencukupi kebutuhan mereka. Pemuda yang jebolan SMA ini hanya bisa menjadi juru parkir di sebuah minimarket di kotanya. Keinginannya melanjutkan kuliah kandas di tengah jalan karena tidak ada uang. Boro-boro kuliah, untuk makan sehari-hari saja tidaklah cukup. Kedua orangtuanya telah pergi untuk selamanya. Kini dia harus bisa menghidupi kedua adiknya yang masih usia SD dan SMP.

Ketika senja diselimuti malam, Hamdan hanya bisa terbaring, menatap langit-langit rumah kontrakannya, menerawang jauh melampaui batas angan-angannya, menembus batas-batas khayalannya. Nah saat mata terpejam, Hamdan merasakan betapa nikmatnya hidupnya. Semua beban hidup berasa hilang dari hadapannya, pergi dari pikirannya. Walau hanya sesaat.

***

Saat mata terpejam, mungkin hanya nafas-nafas kita yang memburu. Kita tidak pernah akan tahu, apakah nyawa kita akan kembali ke dalam tubuh kita ketika bangun. Apakah mata kita akan membuka saat pagi menjelang. Saat mata terpejam, kita tidak pernah tahu nyawa kita berada di mana, akankah ia kembali membersamai tubuh lemah kita? Saat mata terpejam, hati kita tidak ikut terpejam, pikiran kita tidaklah terpejam. Hati dan pikiran tetap terjaga.

Saat mata terpejam, yang kulihat hanya keindahan. Walau hanya dalam alam bawah sadar. Saat mata ini terjaga, semua kembali menyapa diri kita. kemunafikkan, keburukkan, kejahatan, ketidakadilan, kebusukkan. Ah betapa benci diri ini saat mata terjaga dan betapa indah saat mata terpejam.

Aku ingin memejamkan mata untuk selamanya dan menemui Tuhanku dengan kebaikanku, bukan dengan amal burukku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun