Perawat dan dokter datang sambil berlari, kemudian memeriksa keadaan Ryan dengan cekatan. Seorang perawat menyuruh Mia dan William menunggu di luar ruangan.Kali ini Mia tidak menangis, ia hanya diam tanpa ekspresi. William memeluknya, mengatakan bahwa semua baik-baik saja dengan ekspresi khawatir. Beberapa saat kemudian seorang perawat menyatakan bahwa Ryan hanya kelelahan, ia butuh istirahat, tidak bisa banyak pikiran dan melakukan sesuatu yang menguras tenaganya.
William  : Jadi bagaimana, Mia? Apa kita harus menunggu disini sampai Ryan bangun.
Mia      : Entahlah, aku bingung.
William : Bingung? Bingung kenapa?
Mia      : Bingung, apa kita harus pulang pagi nanti atau tidak.
William : (Mengernyitkan dahinya) Kita memang harus pulang! (nada tegas)
Mia      : Tapi sayang, ia sedang sekarat disana! Dia sendirian!
William : Terus bagaimana dengan orangtuamu yang akan datang pagi ini?
Mia      : Aku akan mengirimkan pesan agar menunda kedatangan mereka.
William : (Melepaskan pelukannya) Tidak perlu sejauh itu, Mia! Kita bisa kembali lagi kesini sore atau malam hari kan?
Mia      : (Menatap William datar) Kalau kita tidak bisa melihatnya sore atau malam harinya?
William : Kau terlalu berlebihan. (Menggeleng-gelengkan kepala)
Mia      : (Terdiam)
William : Sejujurnya tidak ada tanggungjawab ataupun keharusan kau di rumah sakit ini, Mia! (Menahan diri tidak bicara terlalu kasar pada Mia)
Mia      : Bukan begitu maksudku, sayang!
William  : Aku merasa kau mengabaikan perasaanku disini.
Mia      : Will..
William  : Aku tidak masalah sampai sejauh ini, Mia. Tapi membatalkan Ibu dan Ayah Mertua datang ke rumah kita hanya karena Ryan, rasanya kau terlalu berlebihan. Apa kata mereka nanti tentang ini? Apa kata keluargaku nanti jika mendengar ini?
Mia      : Kenapa kau berpikir sejauh itu. Apa masalahnya akan jadi sebesar itu perkara aku mengundurkan kedatangan mereka?
William  : (Menarik nafas panjang) Karena hal ‘sederhana’ saat menikah berbeda dengan saat masih pacaran. (Mengelus Mia) Aku hanya mengambil jalan alternative yang kuyakini terbaik untuk saat ini. (Sambil menahan diri, menahan emosinya lagi dan lagi)
Mia      : (Terdiam)
William : Kita harus pulang, Mia
Mia      : (Mengangguk)
William dan Mia kembali ke rumah mereka subuh hari. William yang bekerja membersihkan dan membereskan barang-barang mereka yang masih berserakan di lantai, membiarkan Mia tertidur pulas. Seperti dugaan William, Ayah dan Ibu mertuanya datang lebih awal dari yang dijanjikan. Mereka membawa banyak makanan kesukaannya dan juga Mia. Mereka tertawa bersama-sama di ruang tamu yang masih beralaskan tikar. Sesekali memasukkan makanan ke dalam mulut dan kembali lagi bercerita dan tertawa. Hingga sore tiba, ayah dan ibu Mia pamit pulang, mereka pulang lebih awal karena takut kehabisan Bus.
Mia      : Sayang, aku mandi dulu. Baru kita ke rumah sakit, ya?
William : (Diam tak menyahut)
Mia      : (Tidak menghiraukan balasan dari William)
William : (Menyudahi membereskan semua perlengkapan makan yang ada di atas tikar, memegangi kepalanya, meminum pil sakit kepala)
Mia      : (Selesai mandi) Sayang, ayo sana mandi, aku sudah selesai.
William : (Tidak Menyahut)
Mia      : (mengguncang-guncang badan William) Kenapa sayang?
William : Sepertinya aku kurang istirahat, kepalaku pusing.
Mia      : (Diam.)
William : Tidak apa-apa hari ini kita tidak ke rumah sakit ya?
Mia      : Tidak masalah sayang, aku bisa pergi sendiri.
William : (Diam)
Mia      : Bagaimana, kau bisa sendirian di rumah kan?
William : Tidak!
Mia      : Apa kepalamu sangat  pusing?
William : Ia, Mia. (Menggigit bibirnya)
Mia      : Kau sudah minum obat kan? Nanti pasti akan sembuh kalau kau istirahat banyak.
William : (Mengangguk)Â Tapi kau harus menemaniku sampai sakitnya reda. Kau harus disini!
Mia      : (Menangkap ekspresi wajahnya) Baiklah sayang.
William berusaha mengontrol emosinya saat Mia seakan memaksakan diri pergi ke rumah sakit. William merasa Mia salah mengartikan dirinya yang sebelumnya menemaninya bertemu dan menjaga Ryan di rumah sakit.
Keesokan harinya Sindi datang berkunjung ke rumah William, dan ia memberitahu kepada William bahwa Ryan sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Dan itu membuat perasaannya lega. Lega bahwa kondisi Ryan sudah membaik, dan lega tidak perlu membawa Mia menemuinya lagi ke rumah sakit.
Sindi    : Kalian tidak liburan?
William : Hm..mm?
Sindi    : (Menggoda Mia). honeymoon.
Mia      : Oh.. ia, rencananya besok, Sin!
Sindi    : Baguslah. Jangan sibuk terus ngurusin teman (menatap Mia), kalian juga harus menikmati kebersamaan dan sibuk dengan perasaan pasangan kalian masing-masing kan?
William : (Menangkap sinyal negative) Ya..ya.. terima kasih atas sarannya ibu dokter, jomblo. (bercanda)
Sindi    : Apaa?!                        Â
William : (Menggidikkan bahunya)
Mia      : Hahahah.. kau ada-ada saja sayang. (mencubit William). Oh ya Sin, bagaimana kabar Ryan?
William dan Sindi terdiam. Mereka serentak memadang Mia. Sepertinya Mia tidak menangkap perkataan Sindi itu bermakna menyindir. Ia malah balik bertanya tentang keadaan Ryan. Spontan, William langsung memotong pembicaraan. Ia tidak mau Sindi menjawab pertanyaan itu. William tahu, adiknya itu pasti geram sendiri.
William : Kau mau teh?
Sindi    : Tidak. Aku mau pulang saja.
William : Sin?
Sindi    : Hahah (tertawa dengan mengangkat ujung bibirnnya) aku jadi ingat dengan jadwal pertemuan dengan pasienku, Ryan. Syukur Mia menanyakannya tadi. Aku pulang dulu ya!
William : (Menemani Mia sampai ke pintu) Kenapa tiba-tiba pulang?
Sindi    : (Sambil memakai sepatu) Kenapa sekarang kau sering pura-pura bertanya padahal kau bisa menebak jawabannya?
William : (Mendengus pelan)
Sindi    : Sudah ku bilang berapa kali. Aku tak suka kalian menikah terlalu cepat, karena masa lalu pun tak akan bisa terkubur dalam-dalam secepat dia memutuskan menikahimu.
William : Kenapa kau jadi seperti ini! Mereka itu tidak ada apa-apa, Sin! Jangan bertingkah seperti ini, tidak enak sama Mia kan?
Sindi    : Tidak enak katamu, apa dia juga berpikir begitu saat mengajakmu ke rumah sakit seharian? (mengebaskan-ngebaskan celananya) Kau lupa satu hal, Wil. (Menatap Mia) Aku juga perempuan. Aku paham apa yang dilakukan istrimu.
William : Sin!
Sindi    : Sebelum terlambat, kusarankan kau mencuci otak Mia dari nama Ryan!
William : (Terdiam. Menatapnya pergi melewati gerbang tanpa pamit pada Mia)
Mia sama sekali tidak tanggap dengan reaksi Sindi yang nyatanya bisa langsung ditebak.
Mia tahu bahwa Sindi memang kurang menyukai pernikahan mereka yang termasuk cepat.
Mia     : Sindi agak tempramen ya? (candanya) Dia seperti masih anak kuliahan.
William : Maaf Mia, Sindi memang sering kurang sopan.
Mia      : Santai saja. Tidak masalah kok.
William berusaha tidak terpengaruh dengan perkataan Sindi.
Beberapa jam setelah kejadian itu, Mia mendapati pesan masuk dari Sindi yang mengajaknya untuk minum kopi sore nanti, di ujung rumah sakit. Mia dengan cepat membalas, mengiyakan ajakan itu. Mereka bertemu sesuai dengan waktunya.
Mia    : Hi, Sin!
Sindi  : Hai kaka ipar.
Mia    : Tumben mengajakku minum kopi di luar.
Sindi  : Hahahah.. Enaknya bicara serius sambil minum kopi kan, kak ipar.
Mia    : (Mengernyitkan dahi) Bicara serius?
Sindi  : Kaka ipar mau pesan apa dulu?
Mia    : Ha? Hmm.. sama kan saja.
Sindi  : (Memberi isyarat kepada pelayan)
Mia    : Kau mau membicarakan apa, Sin?
Sindi  : (Menatapnya)
Mia    : Ada apa sih, Sin? Kau membuatku takut saja.
Sindi  : Tidak, aku hanya mau bertanya tentang keluarga Ryan.
Mia    : Kenapa? Apa ada sesuatu yang serius mengenai Ryan?
Sindi  : Kenapa kakak langsung cemas begitu? Aku kan hanya mau bertanya tentang keluarganya.
Mia    : Tadi.. (menunggu pelayan meletakkan kopinya) tadi kau bilang mau bicara serius, jadi aku pikir...
Sindi  : Akh, biasa aja kali kak. Kan yang sakit si Ryan, bukan William. (mulai menyerang)
Mia    : (Mengernyitkan dahinya)
Sindi  : Maksudku, bukan seharusnya yang kakak perhatikan itu William? Kaka terlalu sibuk mengurusi pasienku. Cukup aku saja .
Mia    : Jadi kau mau tanya hal penting apa tadi tentang keluarganya?
Sindi  : Bagaimana dengan wanita yang berambut cokelat, dan bermata biru? Itu teman wanitanya atau sepupunya?
Mia    : (Terdiam) Aku tidak tahu. Kenapa?
Sindi  : Aku hanya memastikan saja. Karena pasien tidak mau bicara tentang wanita itu. Aku jadi bingung saat wanita itu menanyakan informasi yang detail tentang penyakit Ryan. Dia sangat peduli dengan kesehatan Ryan, jadi.. (berusaha memancing emosi Mia)
Mia    : Sepertinya dia bukan sepupu Ryan.
Sindi  : Oh ya? Jadi..
Mia    : Karena ia hanya memiliki satu sepupu. Itulah yang datang kemarin menemaninya kemo pertama.
Sindi  : Baiklah. Aku mengerti. Dimana aku bisa mendapatkan nomor telepon sepupunya?
Mia    : (Diam)
Sindi  : Kau tidak punya?
Mia    : (Menggeleng) Apa tidak ada tercantum di biodata walinya?
Sindi   : Sialnya tidak ada. Kau memang tidak punya?
Mia    : (Menggeleng)
Sindi   : Sayang sekali. Kupikir kalian dulunya benar-benar dekat.
Mia    : Tapi, kenapa kau terlalu ekstra untuk pasienmu yang satu ini?
Sindi   : (Menatap Mia)
Mia    : Apa setiap dokter memang seperti itu?
Sindi   : Kalau ku katakan bahwa aku dokter yang selalu berjuang untuk nyawa seorang pasien, itu terlalu dramatis. Kalau ku katakan karena aku mengasihaninya, terlalu lebay bukan? karena banyak pasien yang sakitnya lebih parah. Tapi.., kalau ku katakan karena aku menyukainya, apa kau percaya?Â
Mia    : Hahahah... Mana mungkin
Sindi   : Karena itu aku tidak mau mengungkapnya dari awal. Pasti yang mendengarnya akan tertawa (berpura-pura).
Mia    : Kau serius?
Sindi   : Tidak seserius itu sampai menikahinya (berharap Mia menangkap semua kalimatnya kali ini)
Mia    : Jangan main-main padanya, Sin.
Sindi   : Kenapa kakak ipar berpikir aku sedang bermain-main.
Mia    : Ya ampun, tidak mungkinlah seorang dokter yang cantik dan berbakat menyukai pasien cancer yang kondisi badannya sudah kurus kering begitu?
Sindi   : (Menatapnya tajam) Kalimatmu ini seakan kau tidak menyukai kami bersama.
Mia    : (Tersenyum) Kurasa dia sedang tidak butuh cinta yang seperti itu sekarang ini.
Sindi   : Jadi dia butuh cinta yang seperti apa?
Mia dan Sindi terdiam. Saling berpandangan. Kali ini Mia bisa menerima sinyal laser dari mata Sindi. Sindi dengan silangan kaki dan tangan kiri di lipat sambil tangan kanan memegang cangkir kopi, seperti bos besar yang sedang berusaha tenang melawan emosi di dalam dirinya. Memandang ke arah luar sambil menyirup kopi itu dan meletakkannya kembali. Ia menarik nafas panjang, melipat kedua tangannya dan mengalihkan pandangannya lurus ke arah Mata Mia.
Sindi  : Mia, aku menerimamu sebagai kakak ipar dan menghormatimu disini. Tapi aku kurang menyukai caramu memperlakukan William.
Mia    : (Menunggu Sindi melanjutkan kalimatnya)
Sindi  : Kau bisa memikirkan oranglain tanpa harus mengorbankan perasaan suamimu sendiri. Aku akui William sangat lembut dan tidak mau menyakiti perasanmu, karena itu ia berbaik hati membawamu bertemu dengan Ryan. Padahal itu tidak penting sama sekali! Padahal ia bisa dengan tegas melarangmu kesana. (Dengan ekspresi geram). Baru satu hari, Mia! tapi kau sudah menggoreskan luka di hati William.
Mia    : Maksudmu apa?
Sindi  : Jangan pura-pura bodoh, Mia. Kalau ku balikkan posisi mu dengan William, apa kau sanggup melihat William menangisi mantan kekasihnya di depanmu? (nada meninggi)
Mia    : (Menatapanya sambil menggertakkan gigi)
Sindi  : Ryan itu bukan siapa-siapamu! Dia hanya 'Mantan kekasihmu' yang kudengar kau sendiri yang memutuskannya. Dan William adalah suamimu, S-U-A-M-I-M-U. Aku berusaha menyampaikan ini dengan sebaik mungkin. Aku tidak bisa menyentuhmu atau melukai, karena ada William. William bisa jadi tameng mu dari apapun. Tapi aku ragu kau bisa jadi tameng William atau tidak.. Kalau dia sudah tidak tahan lagi denganmu, ku kira aku yang akan jadi pendukung terdepannya. (menghabiskan semua kopinya)
Mia    : Aku masih tidak mengerti apa sebenarnya maksudmu?!
Sindi  : Lihatlah, bahkan kau terlalu bodoh untuk hal sederhana yang seperti ini.
Mia    : Kalau mengenai Ryan, aku tidak ada apa-apa dengannya. Hanya sebatas teman yang berusaha membantunya.
Sindi  : Ya..ya..ya (nada ragu) Baguslah (Mendengus panjang - mengambil tasnya) Jangan khawatir, kau akan lebih paham kalau sudah mengalami hal yang sama seperti yang William alami (suara berbisik). Jangan lupa honeymoon-nya ya! William pasti sudah tidak sabar (bercanda). Aku pergi dulu, pasienku yang butuh perhatian seorang dokter cantik pasti sudah mengantri.
Mia masih terdiam. Otaknya berusaha mencerna semua kalimat Sindi.
... bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H